Share

Bab 04. Kegilaan Gilang

      Saat itu aku merasakan tubuh ku terasa ada yang menindih. Saat ku buka ternyata sosok laki-laki yang sangat ku benci. Dengan refleks ku dorong tubuhnya hingga membuatnya terjerembab. 

     "Brengsek kau Gilang, buat apa kau datang kesini!" bentakku. 

     Bukan menjauh malah semakin mendekat dirinya, tentu saja membuatku kewalahan. 

     "Van, aku sangat merindukan mu. Tolong izinkan aku mencium mu sekali saja." ucapnya lembut dan mencoba merayuku kembali. 

     "Pergi kau dari sini, dasar laki-laki tak punya akhlak." 

     Seketika kami terkejut dengan suara seseorang mengetuk pintu kamar. 

     Tok tok tok, "Non Vania buka pintunya, kenapa Non kok berteriak!" teriak bi Jum memanggilku dari luar kamar. 

      "Tidak ada apa-apa bi, tadi saya cuma terkejut kok!" jawabku setelah membuka pintu. 

      "Memang Non terkejut kenapa," tanyanya lagi. Jelas ini dilakukan bi Jum karena dia takut terjadi apa-apa denganku. 

      Setelah menjelaskan perihal yang terjadi, bi Jum pun kembali ke tempatnya semula. 

      "Pergilah dari ruangan ini. Aku tak ingin kehadiran mu disini membuat bencana buat ku." ketusku. 

     "Van, apa kau tak merindukanku lagi, sepertinya kau sudah mulai mencintai Kakak ku Raja ya!" 

     "Itu bukan urusan mu. Setidaknya dia tak pecundang seperti mu." cerca ku

     "Aku tahu, untuk bisa dekat dengan ku kau rela menikah dengan Kakaku Raja, benarkan itu Vania?" ucapnya lirih. 

     "Cukup Gilang, pergilah kau dari hadapan ku. Aku sudah terlalu muak melihat tingkah mu." tegasku. 

     "Baiklah sayang, kita lihat saja apa kalian berdua akan merasakan kebahagiaan atau kehancuran." bisiknya dan Gilang pun segera berlalu meninggalkan kamar. 

      Sesungguhnya aku tak habis pikir, sebenarnya apa sih maunya laki-laki pecundang itu. 

     "Mas, apa sering adikmu itu datang kesini?" 

     Seketika Mas Raja mengeryitkan kening menatap heran pada ku. 

     "Ada apa sih dek," tanyanya heran. 

     "Gilang tadi datang kesini, dia mencoba merayuku kembali." penjelasan ku tapi tak membuat Mas Raja percaya. 

     "Mungkin dia ingin menjadikanmu teman dek, soalnya istrinya terlalu sibuk." 

     "Maaf tidak bagiku, musuh takkan mungkin bisa menjadi teman. Itu prinsipku. Sudahlah lupakan saja, tak ada guna membahasnya denganmu." ketusku dan segera beranjak dari tempat ku duduk. 

     "Bukan begitu maksud Mas, kamu salah paham sayang!" diraihnya tanganku, dengan cepat ku tepis. 

     Sungguh menjengkelkan buatku, tanpa mempedulikan panggilan Mas Raja. 

      Keesokan paginya setelah kepergian Mas Raja, aku beranjak melangkah masuk ke dalam rumah.  Seketika terdengar olehku suara gawai yang berbunyi. Saat ku hampiri, dan ku buka ternyata panggilan dari nomor tak dikenal. Karena terus berdering, akhirnya ku beranikan untuk mengangkatnya. Ternyata nomor dari Gilang. Secepatnya ku matikan. 

       Siang itu bi Jum pamit untuk belanja ke pasar. Setelah kepergian bi Jum, aku kembali masuk ke dalam kamar. Ditengah lelapnya mata ini terpejam, terdengar oleh ku suara pintu dibuka. Saat mata ku buka, ternyata kulihat Gilang tersenyum lebar tengah menghampiri diriku yang masih berbaring. Melihat kegilaanya tersebut membuat ku takut. Dengan kondisi perut yang membesar, aku mulai kewalahan. 

      Seketika Gilang dengan bringas mengejarku. Tiba-tiba aku merasakan mulas yang sangat. Tak ada kasihan sedikitpun, Gilang mencoba mencumbui ku. Aku coba memberontak. Saat dirinya mencoba membuka gaunku, tiba-tiba seseorang menarik tubuhnya. Seketika Gilang terjerembab jauh disisi ranjang. 

     "Jangan ganggu Non Vania tuan, atau saya laporkan ke tuan Raja!" teriak bi Jum. Melihat kondisi ku yang lemah dan tak berdaya bi Jum membimbing ku untuk tidur diatas ranjang. 

      Seketika Gilang melangkah keluar. Aku masih terus merasakan sakit dan mulas yang tak terkira. Setelah bi Jum menghubungi dokter pribadi dari  keluarga Mas Raja, beberapa menit kemudian tibalah dokter itu di kediaman mereka. 

      Dari hasil pemeriksaannya tersebut, aku merasa bersyukur karena kandungan ku tak terjadi apa-apa. 

     "Bi, ada yang ingin saya tanyakan. Tapi jawab yang sebenarnya ya!" 

     "Ya Non, apa yang ingin ditanyaka sebisa mungkin bibi jawab." 

     "Apa sering Gilang datang kesini bi?" tanyaku penasaran. 

     "Iya Non, tapi saya juga heran. Biasanya tuan Gilang itu ramah dan sikapnya sopan lho. Tapi ntah mengapa setelah melihat kejadian tadi bibi sempat tak percaya." 

     "Dari mana dia mendapatkan kunci rumah ini ya bi?" tanyaku heran. 

     "Bibi juga gak tahu Non," jawabnya. 

     "Lebih baik katakan saja sejujurnya  pada Tuan Raja Non," pinta bi Jum. 

     "Mas Raja lebih percaya dengan adiknya bi dari pada percaya dengan ucapanku, istrinya sendiri." ucapku lirih.

      "Sabar ya Non," ucapnya menyemangatiku. 

      Saat malam menjelang, setelah selesai menyelesaikan makan malam bersama tiba-tiba Mas Raja meminta izin dariku. Karena minggu ini dirinya akan menyelesaikan tugasnya di luar kota. Tentu saja membuatku khawatir. Dia mengatakan untuk sementara bi Jum yang akan menemani selama tiga hari. Ya memang waktu yang cukup lama, sehingga aku pun mengiyakan saja. 

     "Kamu jangan khawatir ya sayang, Mas gak akan lama kok."

      "Iya Mas, selagi bi Jum ada di sisiku aku tidak khawatir kok. Yang terpenting Mas disana jangan lama-lama ya. Soalnya perutku ini sudah membuncit he he he."

       "Iya sayang," seketika tubuhku di bimbing masuk ke kamar. 

****

       Keesokan paginya Mas Raja berangkat dengan mengendarai mobil kesayangannya. Aku yang merasakan susah untuk berjalan dengan perlahan masuk ke dalam rumah. 

      Sejak kejadian itu, Gilang tak berani menampakkan batang hidungnya. Walaupun begitu aku tetap waspada. Sambil rebahan di depan televisi, aku pun akhirnya tertidur pulas. Tiba-tiba gawai ku berdering. Saat kulihat panggilan dari seseorang yang tidak ku kenal. 

      "Halo dengan siapa ini," tanyaku penasaran. 

      "Oh Dina, boleh lah. Baik aku tunggu ya, bay!"

     Akhirnya sore itu Dina datang berkunjung. Dia adalah teman ku semasa masih sekolah. Setelah cukup lama bercengkerama, akhirnya dia berpamitan pulang. Tentunya aku merasa kesepian lagi.

      Karena hari sudah larut malam akhirnya aku kembali masuk ke pembaringan. Rasa kantuk yang kurasakan tak tertahankan lagi. Aku pun tertidur dengan pulasnya. 

     Di tengah malam saat tenggorokan ini terasa kering, dengan perlahan ku melangkah menuju dapur. Saat memasuki dapur aku dikejutkan dengan suara seseorang sedang melangkah mendekati diriku. Dengan cepat ku kembali masuk ke dalam kamar. Entah mengapa saat tubuh ini ingin ku baringkan, seketika ada seseorang yang memelukku dari belakang. Tiba-tiba mulutku ditutup dengan cepat oleh tangannya. Kemudian wajah itu merapat di pipiku, dengan lembut di kecupnya.

     "Sayang," desahnya. Mendengar suaranya aku mulai mengenali siapa gerangan orang itu. 

     "Lepaskan aku Gilang. Aku tahu kalau--" ucapanku terputus karena dengan bringas di lumatnya bibirku ini. 

      "Nikmatilah Van, kau pasti menyukainya." ucapnya yang diiringi dengan desahan. 

      "Buat apa kamu pikirkan Raja, belum tentu dia disana setia pada mu. Marilah kita bersenang-senang sayang."

      "Tidak Gilang, tolong jangan lakukan itu," ucapku memohon. 

       "Aku masih mencintai mu Van, aku ingin memiliki apa yang dimiliki Raja!" ucapnya dengan tatapan tajam. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status