Share

Kecolongan

Dengan tergesa-gesa Heru turun dari mobilnya, berlari masuk kedalam rumah dan mencari Silvia.

Saat pintu kamar terbuka, Heru menemukan Silvia yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Sayang, kamu kenapa? Sakit?" tanya Heru khawatir.

"Cuma sedikit agak pusing Sayang, dan yang penting aku punya sesuatu buat kamu." Silvia memberikan benda pipih yang ada ditangan sejak tadi.

"Apa ini?" tanya Heru sedikit bingung?

"Mas beneran nggak tahu itu apa? Aku hamil Mas," jawab Silvia sumringah.

Heru pun membelalakkan matanya, mencoba mencerna ucapan Silvia.

"Kamu hamil, Sayang." Heru tak dapat menahan rasa bahagianya, kecupan pun mendarat di seluruh wajah Silvia.

"Aku akan menjadi seorang ayah, akan ada seorang yang memanggil aku ayah," ucapannya terharu. Seharusnya kebahagiaan itu ia rasakan dengan Anya. Tapi, sampai saat ini Anya belum juga hamil.

Silvia tersenyum melihat Heru yang terlihat sangat bahagia.

"Mas, saat hamil muda aku nggak bisa terlalu capek, jadi aku mau mas carikan assiten rumah tangga untukku."

"Iya Sayang, aku akan mencarinya." Heru memeluk istrinya.

"Mas kit—"

"Minggu depan kita akan menikah."

Senyum Silvia melebar saat mendengar Heru menjawab pertanyaannya yang masih menggantung.

"Terimakasih Mas." Silvia mempererat pelukannya.

"Iya Sayang, sekarang kamu siap-siap kita akan belanja kebutuhanmu."

***

Pukul sembilan pagi, Anya baru selesai mandi, kini dirinya berada di depan meja rias memandang dirinya didepan cermin. Ia merasa bingung, sebab Heru tadi pagi sudah tidak ada dirumah.

Ting.

Sebuah pesan W******p masuk. Anya pun langsung membacanya setelah tahu itu pesan dari Luna.

[Anya, emangnya dompet Heru yang kamu temukan, masih ada pada lo kan?]

"Luna mempertanyakan soal dompet, pasti ada sesuatu," gumam Anya. Dengan cekat jari-jari membalas pesan Luna.

[Iya masih aku simpan, emangnya kenapa Lun?]

[Yakin lo, coba deh lo cek lagi. Siapa tahu Heru mengambil ATM-nya.] Membaca balasan dari Luna, Anya pun langsung memeriksa dompet yang sudah ia simpan rapi.

[Iya beneran ada, ini lagi aku pegang dan isinya juga masih lengkap. Emangnya kenapa sih?]

[Ya, aku curiga, sekarang aku melihat Heru dan gundiknya berbelanja dimall dan jelas banget tadi Heru yang membayar semua belanjaannya. Kalau dompet itu ada padamu, berarti Heru punya uang simpanan lain dong.]

[Oh, ya. Itu pasti Lun, soalnya selama ini dia tidak perna memeriksa dompet ini, dia masih nggak tahu kalau dompetnya sudah ku simpan.]

[Ya sudah, itu intinya kita harus mencari tahu dari mana lagi dia mendapat uang.]

[Oke Lun, aku juga akan cari tahu sekarang. Kamu pantau mereka terus ya.]

Anya meletakkan ponselnya kembali setelah mendapatkan jawab Oke dari Luna. Ia pun langsung bersiap-siap untuk pergi memeriksa sendiri ke perusahaan almarhum ayahnya yang akan dikelola oleh Heru.

Taksi yang ditumpangi oleh Anya berhenti tepat didepan sebuah gedung 10 lantai itu. Perusahaan yang seharusnya sudah lama menjadi miliknya, tetapi karena ia lebih memilih pergi dengan Heru maka perusahaan itu di kelola oleh dulu oleh Angga.

Sudah sangat lama ia tidak menampakkan kakinya di sini, terakhir sebelum ia menikah dengan Heru.

"Selamat pagi Bu" sapa resepsionis dengan ramah, karena ia masih mengunggah siapa yang datang itu.

"Selamat pagi, Thalia. Suami saya ada didalam?" tanya Anya langsung.

"Maaf bu pak Heru belum masuk kantor."

'Belum ke kantor juga, masih senang-senang dengan gundiknya. Dasar!'

Anya melangkah masuk, semua karyawan yang melihat kedatangan anak pemilik perusahaan menyapa hormat dan dibalas senyuman oleh Anya.

Dilantai 10 Anya melihat Siska sekertaris Heru, ia sudah sangat lama mengenal Siska jauh sebelum ia menikah dengan Heru.

"Selamat Pagi, Bu." Siska langsung menyapa ketika menyadari siapa yang datang.

"Pagi, Sis boleh kita bicara sebentar." Anya masuk kedalam ruangan Angga yang kini ditempati oleh Heru.

'Tidak ada yang berubah,' batinnya. Setelah memperhatikan kondisi ruangan itu.

"Apa suami saya sering tidak masuk kantor?' tanya Anya to the point.

"Hmm, Aa—anu Bu, I—itu." Siska ragu, ia tak tahu harus menjawab apa.

"Siska, ceritakan saja apa yang kamu tahu."

"A—anu Bu," Siska mulai gemetaran.

"Siska, jawab!" Anya mengeraskan sedikit suaranya.

"Iya Bu, bapak sering tidak masuk kerja."

"Apalagi yang kamu tahu."

Siska diam, sebenarnya ia ingin menceritakan semuanya hanya saja rasa takutnya lebih mendominasi.

"Kami tidak mendengar pertanyaan saya Siska?" tanya Anya lembut, namun penuh penekanan.

"Bapak juga sudah mengambil uang perusahaan, Bu. Tapi tolong jangan pecat saya Bu, saya di ancam bapak, jika melapor saya akan di pecat Bu."

Mendengar itu Anya menggelengkan kepalanya, ia tidak menyangka kalau Heru benar-benar tega berbuat seperti itu. Tidak tahu bagaimana ia berusaha untuk menyakinkan ibu dan kakaknya.

Penyesalan pun menghampirinya.

"Siapa pemilik perusahaan ini?"

"Ibu Anya."

"Iya benar, saya adalah pemilik sah perusahaan ini, lalu mengapa kamu takut di pecat oleh suami saya? Dia tidak punya hak untuk memecat siapapun disini." ucapan Anya berapi-api.

"Dan kamu! Kamu sudah sangat lama bekerja di perusahaan ini, ayah maupun kak Angga sudah memberi kepercayaan kepadmu. Tapi, kamu malah memilih diam melihat kecurangan suami saya tanpa memberi laporan." lanjut Anya.

"Saya minta maaf, Bu." Siska memohon.

"Saya sangat benci pengkhianat dan kamu sudah berkhianat, atau jangan-jangan kamu juga mendapatkan percikkan dari uang itu."

"Tidak Bu, saya tidak diberi apa-apa sama bapak, hanya diancam akan di pecat Bu," jelas Siska membela diri, sementara air matanya terus mengalir deras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status