Heru tahu Silvia pasti akan marah besar bikin Silvia meleleh.Urusan dompet yang tidak ditemukan juga sudah ia selesaikan dengan Anya.Sesampainya di rumah Silvia, Heni alias Luna membuka pintu. Sedangkan Silvia tidak kelihatan batang hidungnya."Silvia kemana?" tanya Heru datar."Ibu belum keluar kamar sedari tadi, Pak.""Jadi Silvia belum sarapan sudah jam segini?""Belum Pak, tadi sudah saya bujuk tapi tetap saja Nyonya nggak mau keluar.""Kamu itu manggilnya Ibu atau Nyonya? Aneh, kadang Nyonya kadang Ibu kemarin Non.""Maaf Pak, saya lupa. Ibu nyuruh panggilnya Nyonya, saya belum terbiasa."Mendengar penjelasan pembantunya membuat kepala Heru menjadi pusing. Ia pun bergegas meninggalkan Heni dan menuju kamar Silvia.Beberapa kali Heru mengetuk pintu kamarnya, Silvia tidak mau membuka dan malah mengusirnya."Sayang, aku sudah bawakan berlian yang kamu inginkan." Heru yang tadinya mau kasih surprise untuk Silvia, terpaksa ia katakan untuk membujuk Silvia.Tak perlu menunggu waktu la
"Aku tidak bercanda, Silvia. Makanya aku juga sangat bingung. Ini masalah perusahaan yang akan menjadi masa depan kita. Kalau maa tidak pergi semuanya akan gagal.""Apa tidak bisa diwakilkan? Apa gunanya kamu punya bawahan?" Silvia meninggikan suaranya."Nggak bisa Silvia, aku harus turun tangan sendiri.""Aku tahu ini pasti kerjaan istrimu! Tidaj mungkin waktunya yang sangat bersamaan seperti ini.""Tidak usah menyalahkan Anya, dia tidak tahu apa-apa.""Tapi Mas! Coba kamu berpikir pakai logika. Mana mungkin pekerjaan penting mendadak selalu hadir saat kita sedang bersama, aku sangat yakin semua ini pasti ada hubungannya dengan wanita itu.""Stop Silva! Kamu juga harus mengerti.""Apa Mas? Terus, belain dia, kamu lupakan bagaimana perasaanku. Kamu akan meninggalkan aku sendiri, menanggung malu. Bagaimana cara aku menjelaskan pada orang-orang besok. Nggak lucu Mas.""Bukan begitu Silvia, aku juga tidak mungkin tega. Tapi mau bagaimana lagi? Okey, aku lanjutkan pernikahan kita besok, ta
*Berhubung suami sedang keluar kota, Anya memutuskan untuk tidur di rumah ibunya.30 menit kemudian Anya pun tiba dirumah Ibunya, setelah membayar taksi, Anya melangkah memasuki rumah dimana dulu ia di besarkan."Aunty ...!" Gadis kecil berusia tiga tahun itu menghambur ke pelukannya. Anya pun kaget sekaligus bahagia langsung memeluknya erat, melepaskan kerinduannya pada keponakannya itu.Sudah sangat lama mereka tidak bertemu, karena selama ini Laila ikut ke kampung merawat neneknya, ibu dari Rianty istri Angga."Sayang, kapan kalian pulang? Kenapa tidak memberi tahu Aunty?" Tanya Anya terus menghujani Laila dengan ciuman."Kemalin.""Terus kenapa nggak ngasih kabar ke Aunty?" "Nggak! Soalnya Laila mau kasih kejutan untuk Aunty, tapi Aunty nya sudah sini.""Oh, kalau begitu Aunty pulang sekarang ya." Anya berpura-pura memutarkan badannya. Seketika dicegah oleh sang pemilik tangan mungil itu."Jangan Aunty, kan disini Aunty juga telkejut.""Yups! Kamu benar, Aunty sangat terkejut se
Sesampainya Angga dan Heru di luar kota, tepatnya di Bandung. Mereka tidak langsung ke perusahaan melainkan ke apartemen Angga. Bukan untuk istirahat melainkan untuk bergulat dengan berkas-berkas penting yang akan mereka bawa.Heru begitu galaunya karena tidak berkesempatan untuk memberi kabar kepada Silvia jika ia sudah sampai. Entah mengapa hatinya begitu buta tidak memikirkan Anya, istri yang beberapa tahun ini menemaninya dengan setia.Ia tetap mencoba mencuri-curi waktu agar bisa mengirimkan pesan, namun ia tidak mempunyai nyali dikarenakan kakak iparnya selalu berada disampingnya. Angga hanya tersenyum getir melihat kegelisahan Heru, meski dia sibuk dengan tumpukan kertas didepannya. Tapi, ekor matanya selalu menangkap kegelisahan Heru.Dia tahu Heru galau bukan karena tidak memberi kabar kepada adiknya melainkan pada wanita lain."Fokus Heru, ada ratusan kertas yang harus diperiksa, kenapa dari tadi ponselmu yang kau perhatikan." Suara Angga mampu membuat jantung Heru bergetar
"Apa maksudmu?" tanya Bude lagi kali ini dengan kening mengerut."Lah tadi saya berak dikatakan jorok."Mata Bude mendelik tajam, ingin sekali rasanya dia meremas mulai Heni."Pembantumu kurang ajar sekali, Silvia.""Sudahlah Bude, Heni. Masalah kecil aja diributkan. Heni bikinin minum untuk bude." "Kenapa masih berdiri di situ, nggak dengar keponakanku ngomong apa? Sana bikinin minum," titah Bude dengan sombong."Bude nggak sabar melihat kamu menikah besok, bersanding dengan lelaki kaya." Mendengar celoteh Bude, yang bangga Silvia menikah dengan orang kaya, membuat Heni menahan tawanya agar tidak lepas.Dengan penuh rasa malas Heni melangkah ke dapur untuk membuatkan minuman sesuai perintah.Diruang tamu Bude masih terus mengagumi rumah dan isi perabotan keponakannya itu."Memang nasibmu begitu beruntung Silvia, belum menikah saja sudah diberikan rumah yang super gede ini. Apalagi kalau sudah menikah hartanya bisa kamu kuasai." Hasut Bude."Iya dong Bude, pokoknya Bude tenang saja
Suasana di kediaman Silvia orang-orang pun mulai ramai berdatangan. Hal ini pun mengundang protes Bude. "Katanya orang kaya, kok acaranya enggak dibikin di hotel saja."Silvia menjelaskannya walaupun tidak secara detail. Dia tidak mengatakan tentang kehamilannya dan dirinya yang menjadi istri kedua, karena bisa-bisa Bude menggagalkannya.Seharusnya dia bahagia hari ini adalah hari yang sudah sangat lama ia nantikan, namun wajahnya tampak kusut walaupun sudah di rias oleh MUA.Kini tinggal Silvia dan Heni yang dikamar, membantu Silvia mengenakan baju kebaya pengantin mewah sudah dibelikan oleh Heru. "Nyonya, sepertinya baju ini agak sempit, apa Nyonya tidak mencobanya dulu?" tanya Heni yang mencoba mengancing kebayanya."Iya memang tidak kucoba, semuanya sudah disiapkan oleh mas Heru, tapi mas Heru tahu semua ukuran pakaianku." Silvia terus memaksa kancing kebayanya. Kemudian ia menatap tubuhnya didepan cermin.'Apa mungkin ini pengaruh kehamilanku? Tapi kan baru satu bulan, belum ju
Bisik-bisik para tamu pun mulai berkicau ria, Silvia terlihat tetap tegar walaupun didalam hatinya bergemuruh hebat."Maaf Bu Silvia, sampai kapan kami harus menunggu? Sudah berapa jam namun pengantin prianya tak kunjung tiba," kata pak penghulu mereka."Saya mohon Pak, tunggu sebentar lagi. Aku yakin calon suamiku sekarang sedabg diperjalanan. Saya sangat memohon, Pak." Silvia terus menyakinkan pak penghulu dan orang-orang yang ada disana.Setelah dipertimbangkan, mereka pun masih mau menunggu sebentar lagi."Hey, Jeng. Katanya calon istri orang kaya. Tapi kok kebaya nya seperti jaman nenek saya dulu ya," ujar salah satu tetangga terkenal sebagai tukang gosip di komplek itu."Iya, warnanya sudah hampir pudar lagi." Tawa mereka memenuhi seluruh ruangan.Tangan Silvia mengepal, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang dikatakan oleh orang-orang itu benar adanya.'tunggu saja pembalasanku, kalian akan dibuat melongo setelah aku menikah dan harta mas Heru menjadi milik seutuhnya.'Ne
Ketika hendak berjalan ke arah pintu, Silvia keluar dari kamarnya dan mencegahnya.Mau tak mau Heni kembali melanjutkan tugasnya yang tertunda. Sebenarnya hatinya sangat penasaran dengan siapa yang ada didepan mengobrol dengan Silvia.Tak lama kemudian pintu terbuka lebar, Silvia masuk mengandeng tangan seorang pria asing yang perawakannya hampir sama dengan Heru. Hanya saja pria ini tidak terlalu tampan.Silvia tanpa malu bergelayut manja di lengan pria itu seolah lupa beberapa saat ia mengamuk hampir merusak seisi rumah. Keduanya berjalan santai menuju kamar Silvia melewati Heni begitu saja."Siapa orang itu? Kok mereka ...." Heni benar-benar bingung dengan apa yang dilihatnya.'Jelas-jelas tadi dia histeris mendapati foto suaminya pelukan dengan wanita lain dan sekarang dia pun berbuat demikian bahkan tidak hanya pelukan malah membawa masuk pria asing ke kamarnya.'Heni melamun memikirkan pria asing yang bersama Silvia, bahkan tanpa segan mereka masuk kedalam kamar berdua seakan h