Share

2. kaget

“Bu, Mas Bayu menceraikan Atira.” Atira menatap kosong ke depan dengan tangan yang terus memukuli dada. Akhirnya, ia bisa mengungkapkan rasa sedihnya.

“Maksudnya apa, Tira? Apa? Hah?” tanya bu Asih sambil menatap Atira dengan penuh tanya.

“Sakit, Bu. Sakit banget!” Keluh Atira sambil menepuk-nepuk dadanya lagi. “Mas Bayu, ia talak Atira, Bu.” Atira kembali menitikkan air matanya, bahkan pukulan tangannya semakin kencang ke dada seolah ia menunjukkan rasa sakit yang sangat.

“Enggak ada, Bayu enggak mungkin melakukan hal itu, Tira. Lagipula, kapan dia mengucapkan ikrar talak? Udah lama Bayu enggak ada kabar. Jangan ngada-ngada!” sanggah bu Asih yang tak mau percaya dengan ucapan Atira. Namun demikian, hati bu Asih merasakan denyut nyeri seolah ia percaya dengan ucapan Atira.

“Barusan mas Bayu telpon dan bilang kalau dia ceraikan Atira dengan talak 3.” Atira menatap manik mata bu Asih yang sudah bersimbah air mata.

Mendengar penuturan Atira itu, bu Asih segera mencari ponsel milik Atira. Ia pun segera mendial nomor asing dari negara Jepang yang ada di riwayat panggilan, negara dimana Bayu bekerja sebagai buruh pabrik.

Tak berselang lama, panggilan itu pun diangkat oleh seseorang.

"Hallo!" ucap bu Asih dengan penuh was-was.

"Ya, hallo!" jawab seorang perempuan di sebrang sana.

"Bu!" panggil Atira. Gegas Atira mengendalikan emosinya. Ia berusaha tegar saat mengetahui kalau sambungan telpon bu Asih diangkat oleh seseorang.

Bu Asih pun mengerti, ia segera mengeraskan suara panggilan telepon.

"Ini dengan siapa? Saya ibunya Bayu." ucap bu Asih to the point.

"Oh, sebentar Bu!" ucap perempuan itu. "Sayang, ini ibumu." terdengar lumayan jelas ucapan perempuan itu.

Bu Asih mengerutkan kening saat mendengar ucapan perempuan itu.

"Tira, ini nomer Bayu?" tanya bu Asih menatap menantunya yang masih berurai air mata.

Atira mengendikkan bahunya pertanda jika ia tak tahu pasti.

"Hallo, Bu? Apa kabar? Bayu rindu ibu sama anak-anak," cerocos Bayu dari sebrang telepon.

Bu Asih terdiam demi mencerna kata demi kata yang diucapkan oleh anak semata wayangnya itu.

"Hallo Bu!" panggil Bayu sekali lagi membuat lamunan bu Asih buyar seketika.

"Siapa perempuan yang barusan angkat telpon Ibu?" tanya bu Asih tanpa menjawab pertanyaan Bayu.

Atira langsung memeluk bu Asih dengan erat. Ia tergugu dalam dekapan bu Asih. Hatinya tak siap jika harus mendengar pernyataan tentang siapa perempuan itu.

"Bu, Bayu sudah mentalak Atira dengan talak tiga. Sekarang Bayu sudah berada di bandara untuk pulang ke Indonesia. Bayu pulang sama istri Bayu, Bu!" ucap Bayu dengan sangat lantang.

Bagai disambar petir, ucapan Bayu tak kalah menyakitkan bagi bu Asih. Ia tercenung tanpa menjawab ucapan Bayu lagi.

Atira semakin tergugu saat mendapati bu Asih tak bergeming dalam diam. Telinganya jelas mendengar apa yang diucapkan oleh Bayu ataupun perempuan yang disebut Bayu sebagai istrinya.

"Bu!" Atira terus mendekap bu Asih. Ia menangis tersedu tanpa menyadari keadaan ibu mertuanya.

“Mamah!” rengek Daffa yang ingin ikut dipeluk oleh Atira.

“Hallo! Davin, Daffa, ini Papah. Besok kita ketemu ya, Papah bawain mainan yang banyak buat Davin sama Daffa.”

“Papah?” tanya Daffa sambil mencari-cari sumber suara.

“Hallo. Davin, Daffa. Hallo! Ibu!”

Bayu terus memanggil-manggil ibu dan anak-anaknya.

Atira sudah benar-benar merasa tersisihkan dan terbuang dari kehidupan Bayu. Padahal selama ini, ia begitu setia menunggu Bayu meskipun dalam keadaan kesusahan.

Setelah merasa cukup Atira menumpahkan rasa sesak di dadanya, ia pun melepaskan pelukannya dan mendapati jika bu Asih bukanlah sedang menangis. Wanita paruh baya itu sedang menahan sesak dadanya. Pantas saja ia tak menjawab panggilan dari Bayu.

"Bu! Ibu!" panggil Atira dengan raut kebingungan yang luar biasa.

Bu Asih tak menjawab panggilan Atira. Ia hanya menekan dadanya dengan telapak tangan kanan sambil berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan pasokan oksigen.

"Tolong! Tolong! Daffa, temenin dulu Nenek ya!” titah Atira tanpa menunggu jawaban dari bocah lelaki berusia 5 tahun itu.

Atira segera berlari keluar rumah untuk mencari pertolongan.

"Bu RT, tolong ibu saya! Tolong bawa ke rumah sakit!" teriak Atira tak karu-karuan.

"Kenapa mbak Tira?" tanya Bu RT yang kebetulan sedang berkumpul dengan geng ibu-ibu lainnya di warung bu Retno.

"Tolong cepat! Ambulance!" teriak Atira sambil menangis tergugu.

Mendengar permintaan Atira, Ibu-ibu itu langsung sigap membubarkan diri. Ada yang ke balai desa yang berjarak sekitar 20 meter dari warung bu Retno untuk meminta ambulance desa. Ada yang bergegas ke rumah Pak RT untuk meminta pertolongan. Sedangkan sebagian besarnya menuju rumah Atira untuk melihat keadaan bu Asih.

***

Atira mondar-mandir di depan ruang ICU, ia tak bisa dengan leluasa menunggui bu Asih yang sedang dalam keadaan kritis.

“Sudah, nak Atira. Duduk dulu!” pinta bu RT yang masih setia menunggui Atira di rumah sakit. Sudah satu jam lamanya sejak bu Asih dibawa ke IGD rumah sakit kota, sampai akhirnya harus dirawat intensif di ruang ICU ini.

“Saya bingung bu RT,” keluh Atira sambil duduk di kursi tunggu dekat bu RT.

“Kenapa?” tanya bu RT sambil mengerutkan keningnya. “Bukankah biaya pengobatan bu Asih sudah dicover pemerintah?” tanya bu RT. Ya, bu Asih yang merupakan janda dari pengabdi negara golongan A, memiliki kartu sehat untuk menjamin biaya pengobatan dengan layanan kelas 1.

“Iya, Bu. Alhamdulillah. Cuma saya enggak tenang dengan keadaan ibu, Daffa sama Davin yang sebentar lagi harus saya jemput dari sekolah. Mas Bayu juga enggak bisa dihubungi.” Atira menyugar rambutnya sambil menarik nafas panjang.

“Doakan saja ibumu biar lekas pulih,lekas sadar dan bisa keluar dari ruang ICU. Kalau Daffa, kan sudah dijagain sama bu Retno. Nah kalau Davin, kamu jemput aja dulu biar saya yang berjaga di sini. Kalau ada apa-apa, nanti saya hubungi kamu!” ucap bu Retno panjang lebar.

“Iya, Bu. Enggak apa-apa saya tinggal dulu?” tanya Atira sambil melihat sendu ke arah wajah bu RT.

“Enggak apa-apa. Yang penting, nanti kamu ke sini lagi soalnya saya enggak bisa nungguin bu Asih terus. Banyak hal yang harus saya kerjakan.”

“Makasih banyak, Bu. Makasih banyak!” ucap Atira sambil mengusap setiap kali air matanya jatuh mengenai pipi.

“Keluarga pasien atas nama Asih Juniarti!” panggil seorang perawat membuat Atira dan bu RT saling berpandangan.

“Sa... saya Sus!” jawab Atira sambil mengangkat tangan kanannya.

“Mari ikut saya!” pinta perawat itu lagi.

Atira menatap wajah bu RT yang sama-sama merasa bingung. Ia bingung harus mendahulukan yang menjemput Davin atau mengikuti perawat.

“Cepat, Bu! Ini kritis.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Muhammad Fares Mu'taz
ada laki kaya gitu!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status