Share

4. Tak Mengenalnya

“Siapa yang jemput anak saya, Mang?” teriak Atira yang mulai histeris.

“Kamu beneran lihat Davin dijemput pakai mobil, Rul? Kamu enggak salah ngenalin orang?” tanya pak Ari ingin memastikan.

“Enggak atuh. Saya memang suka sama Davin, anaknya ganteng, ramah, sopan, pinter lagi. Jadi, saya suka nyapa kalau ketemu. Biasanya kan saya datang ke sekolah enggak telat kaya hari ini.” Mang Sahrul meyakinkan bahwa dirinya tak salah mengenali orang.

“Tadi lihat orang yang bawa Davin nya siapa?” tanya pak Ari lagi.

“Enggak, soalnya tadi Davin naik sendiri ke mobil. Enggak tahu orang yang bawanya udah masuk duluan pas saya belum lihat. Pokoknya, pas dia mau masuk mobil saya tanya, Davin pulang sama siapa? Dia jawab sama mamah. Tadi saya berdiri di agak jauh di belakang mobil, jadi enggak lihat ke dalam mobil.” Mang Sahrul terdiam untuk mengingat sesuatu.

“Mang, saya belum jemput Davin. Saya baru dari rumah sakit.” Atira terduduk di atas trotoar. Dunianya serasa berhenti di detik ini juga.

“Bu, mari saya bantu berdiri!” ucap pak Ari saat melihat Atira terduduk di atas trotoar depan sekolah, sungguh dia tak sampai hati.

“Davin!” ucap Atira lirih. Air matanya pun kini menganak sungai lagi.

“Kamu kenapa enggak larang?” tanya pak Ari kesal.

“Loh, mana saya tahu. Davin nya aja terlihat santai dan enggak seperti terpaksa.” Mang Sahrul membela dirinya saat ia disalahkan. Ia memang senang dengan Davin, tapi ia juga tak mau jika disalahkan karena ia tak menemukan kejanggalan apapun saat Davin menaiki mobil hitam itu.

“Saya mau hubungi pak kepala sekolah dulu.” Ucap pak Ari seraya mengeluarkan ponsel jadulnya.

“Pak, tolong saya Pak! Tolong bantu cari anak saya!” ucap Atira yang kini berdiri di hadapan pak Ari dan mang Sahrul. Ia bertekad untuk tak menjadi lemah sebelum semuanya terlambat.

“Saya usahakan Bu. Barusan Bapak kepala sekolah juga sedang dalam perjalanan, langsung putar balik lagi.”

“Bukannya kepala sekolahnya Bu Mira ya?” tanya Atira yang sudah mengenali bu Mira dari semenjak memasukkan Davin ke sekolah ini.

“Baru ganti tadi, Bu!” jawab pak Ari.

“Iya, baru sertijab tadi, alias serah Terima jabatan.” Mang Sahrul menimpali.

“Saya minta akses cctv pak. Barangkali ada petunjuk dari sana,” pinta Atira.

“Oh, iya. Mari Bu!” ujar pak Ari seraya berjalan ke dalam sekolah.

Atira mengekori pak Ari dan mang Sahrul, OB sekolah itu tak melaksanakan tugasnya demi membantu menemukan Davin.

“Silakan masuk Bu!” ujar pak Ari saat mereka memasuki ruang keamanan. Ia pun segera mengotak-atik rekaman CCTV yang berada di beberapa sudut ruangan sekolah.

“Dimulai dari jam bubar sekolah aja, Pak!” pinta Avira yang diangguki oleh pak Ari.

“Nah, itu Davin!” ucap Atira seraya menunjuk seorang anak lelaki yang hendak keluar gerbang.

“Iya, itu Davin,” sahut mang Sahrul.

Pak Ari menghentikan rekaman dan memperbesar gambar Davin. Meskipun rekaman itu tak sejelas gambar bluray, tapi pak Ari cukup bisa mengenali.

“Oooh, ini namanya Davin. Saya tahu kalau ini, cuma namanya lupa lagi,” ucap pak Ari.

“Tadi lihat, Pak?” tanya Atira sambil memfokuskan pandangannya pada gambar CCTV yang kini telah di play lagi oleh pak Ari.

“Seperti biasa, tadi Davin lewat dan ngucapin selamat siang. Habis itu saya enggak memperhatikan lagi. Dan... tadi enggak ada anak yang terlambat dijemput.”

“Davin naik mobil pas anak-anak masih ramai. Saya tadi lewat ke sekolah.” Mang Sahrul menguatkan pendapat pak Ari.

Atira tak begitu menghiraukan obrolan pak Ari dan mang Sahrul. Ia lebih fokus dengan gambar CCTV yang memperlihatkan Davin. Ia fokus dari satu titik CCTV, berpindah ke titik yang lain.

“Pak, itu Davin kaya ngobrol sama seseorang. Tapi orangnya enggak kelihatan. Ada cctv di sebelah kanan gerbang, Pak? Pinggir jalan,” ucap Atira yang merasa kehilangan jejak Davin.

“Enggak ada, Bu. Ini yang terakhir.” Pak Ari menunjuk monitor dari rekaman CCTV di depan gerbang sekolah.

“Assalamu’alaikum. Selamat siang!” suara bariton memecahkan kebingungan mereka.

“Waalaikumsalam.” Jawab mereka serempak.

“Pak Zafran!” panggil pak Ari saat Zafran, kepala sekolah masuk ke dalam ruangan.

Manik mata Zafran menatap lekat ke arah Atira. “Anda?” tanya Zafran seraya menunjuknya.

“Iya pak Kepala. Tolong bantu temukan anak saya!” pinta Atira tanpa basa-basi.

“Mbak enggak ngenalin saya?” tanya Zafran sambil mengerutkan keningnya.

“Mohon maaf Pak, saya belum tahu kalau bu Mira digantikan oleh Bapak. Saya mohon bantu temukan anak saya!” pinta Atira memohon dengan berurai air mata.

“Baik.kita hubungi polisi.” Zafran segera mengeluarkan ponsel bernilai motor miliknya.

“Tapi Pak, belum 1x24 jam, apa bisa?” tanya Pak Ari.

“Tadi kamu bilang ada rekaman CCTV dan saksi? Sahrul jadi saksi. Iya kan?” tanya Zafran sambil memicingkan matanya.

“Iya, Pak.” Jawab pak Ari dengan tegas.

“Berarti bisa. Lagipula, polisinya kan Pak Syamsul. Kalian kenal?” tanya Zafran seraya mendial nomor yang akan dihubunginya.

“Kenal pak. Suaminya bu Mira, paman anda.” Jawab pak Ari dengan gaya pasukan.

Zafran segera berlalu keluar dan melaporkan penculikan yang menimpa anak didiknya.

***

“Mbak pulang saja, tunggu kabar di rumah! Kasus ini sudah berada di bawah penyelidikan polisi, percayakan kasusnya sama mereka!” ucap Zafran panjang lebar.

“Saya belum tenang, Pak! Saya belum tenang kalau belum tahu keadaan anak saya.” tangis Atira kembali pecah.

“Mbak yang sabar! Orang sabar disayang Tuhan!” ucap Zafran berusaha menenangkan hati Atira.

“Hehh, masih ada Tuhan buat saya?” ungkap Atira yang membuat Zafran mengelus dada.

“Mbak harus sabar, semua pasti ada jalan keluarnya. Yakinlah itu, jangan sampai kehilangan arah karena hal ini!” nasihat Zafran yang mulai khawatir melihat keengganan Atira untuk bersandar pada Tuhan.

“Sudahlah Pak, Bapak Zafran tidak tahu permasalahan hidup saya. Yang pasti, saya minta tolong jika ada kabar dari kepolisian saya minta dikabari. Saya harus pergi dulu.” Atira bangun dari duduknya dan melangkah pergi.

Atira betul-betul putus asa, terlebih permintaan sekolah yang ingin kasus ini diselidiki tapi bersih dari media. Mereka tak ingin sekolah mendapatkan penilaian buruk dari khalayak umum. Tak apa, yang penting Davin kembali tanpa kurang satu pun.

Atira melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Ia teringat dengan keadaan bu Asih yang saat ini dirawat di ruang ICU. Tak ada kabar dari bu RT membuat Atira bimbang memikirkan keadaan bu Asih.

Berkali-kali Atira kembali menghubungi Bayu, tapi selalu gagal. Nomornya sudah tak bisa dihubungi.

“Aku lelah!” ucap Atira lirih sambil terus melaju. Ia tak menyadari bahwa ada seseorang yang mengikutinya menggunakan motor koopling merah.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Muhammad Fares Mu'taz
semoga Zafran jodoh aslinya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status