Share

8. Tertangkap

“Bu, ketemu pencurinya!” ucap Atira senang, seolah-olah ia lupa akan rasa sedihnya yang lain.

“Iya.” Bu Retno terus berusaha menggunting tali rapia yang mengikat Atira, namun sayang guntingnya tumpul sehingga ia harus lebih berusaha lagi.

“Mah, bisa enggak?” tanya pak Ramli sambil menghampiri mereka.

“Ah, susah Pah. Harus pakai pisau kayanya.” Bu Retno segera meletakkan gunting di hadapan pak Ramli, sedangkan ia segera ke dapur.

Pak Ramli meraih gunting itu dan segera mengakali untuk membuka tali yang mengikat Atira.

“Perempuan!” ucap pak Ramli dengan tatapan tetap fokus pada usahanya memotong tali rapia.

“Tuh kan. Tadi juga Tira dengar dia nelpon orang, emang suaranya suara perempuan,” cetus Atira membenarkan ucapan pak Ramli.

“Sudah.” Pak Ramli segera memberikan gunting itu kepada Atira, tali pun terlepas semua. “Ayo, kita lihat ke depan!” ajaknya tanpa menunggu Atira.

“Loh, kok udah lepas aja? Ini Ibu bawa pisau,” ucap bu Retno di ambang pintu tengah.

“Udah lepas, Bu. Ayo, kita lihat malingnya!” ajak Atira yang segera menarik tangan bu Retno. Ia benar-benar butuh sandaran.

“Sebentar! Ibu taruh dulu pisaunya di meja.” ucap bu Retno sambil menuju meja ruang tamu.

“Loh, kok? Berantakan banget?” bu Retno baru ngeh jika meja sofa ruang tamu penuh dengan bekas makanan.

“Tira kira bekas ibu, Daffa kali main-main.” Atira menanggapi ucapan bu Retno.

“Enggak, semalam ibu bebenah dulu sebelum pulang ke rumah,” sangkal bu Retno dengan yakin.

“Berarti maling itu, Bu!” geram Atira.

“Ya sudah, ayo lihat siapa malingnya. Kok bisa-bisanya ada maling enggak kedengeran ngerusak pintunya.” Bu Retno melangkahkan kakinya melewati Atira. Ia benar-benar ingin melihat seperti apa sosok maling yang sudah tertangkap itu.

“Ampun! Aku bukan maling!” teriak seorang perempuan yang kini sedang disidang warga.

Wajahnya cukup memprihatinkan karena tadi sempat dipukuli warga sebelum akhirnya ada yang melerai emosi warga.

“Halah, mana ada maling yang mau ngaku,” celetuk seseorang diantara mereka.

“Aku berani sumpah, aku istrinya Bayu, nyonya di rumah ini. Wanita tadi...”

“Huuuu...!”

Atira menelan salivanya saat mendengar pengakuan wanita yang entah seperti apa rupanya itu. Ia tertegun, mengingat Bayu yang sedang berada di rumah sakit sedangkan ia sempat bilang bahwa ia akan membawa istri barunya pulang. Apakah wanita itu yang telah menjadi istri barunya Bayu?

“Hey, mana ada maling dilepasin kaya begitu!” ucap wanita itu sambil menunjuk-nunjuk ke arah Atira.

“Hey, diam! Kita bawa aja ke kantor polisi!” teriak pak Ramli yang sudah sangat geram dengan tingkah wanita itu.

“Iya, kita bawa aja ke kantor polisi.”

Warga pun kompak menyuarakan hal yang sama.

“Bagaimana, Atira?” tanya pak Ramli meminta pendapatnya.

“Baiknya gimana warga aja. Kebetulan pundak saya sakit banget karena dipukul sama dia. Saya mau melakukan visum untuk memberatkan penjahat ini, Pak,” sahut Atira dengan tegas.

“Hey, sembarangan. Bagaimana ceritanya nyonya rumah dihukum karena ada...”

“Huh... “

Seseorang menempeleng kepala wanita itu saking kesalnya. Bagi warga, hanya ada satu nyonya Bayu yaitu Atira. Kalimat apapun yang diucapkan oleh wanita itu, tak ada satupun yang bisa ia ucapkan sampai selesai.

Atira tersenyum smirk melihat kondisi wanita itu. Kalau memang dia murni pencuri, maka sudah sewajarnya dia dijebloskan ke penjara. Jika dia istrinya Bayu, maka pukulan-pukulan warga akan menjadi obat sakit hatinya.

“Tira, apa benar dia istri barunya Bayu?” tanya bu Retno sambil mendekati Atira.

Atira mengendikkan bahunya tanda ia tak tahu. “Tira enggak pernah tahu, Bu.”

Bersamaan dengan fajar yang mulai menyingsing, wanita itu pun diseret oleh warga dengan maksud untuk digiring ke kantor polisi yang jaraknya hanya berkisar setengah kilo meter dari sana. Meskipun ia berontak, tapi semuanya tak berarti sama sekali.

“Tumggu!”

Suara bariton menginterupsi mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status