Share

5. Belum Siap Berjumpa

Atira berbelok menuju rumah sakit kota. Ia pun segera mencari tempat parkir dan segera turun menuju ruang ICU.

“Atira!” panggil bu RT yang melihat Atira meskipun dari kejauhan.

“Bu, masih di sini? Ini udah mau malem!” ucap Atira yang merasa tak enak hati sudah merepotkan bu RT.

“Enggak apa-apa. Habisnya kamu lama banget, mau ditinggal kasihan, daritadi bu Asih nangis terus.”

Atira membulatkan matanya saat mendengar kabar bahwa bu Asih menangis.

“Ibu nangis? Ibu sadar?” tanya Atira penuh harap.

Bu RT menggelengkan kepalanya. “Bu Asih cuma ngigo, sama kaya tadi waktu kamu masuk. Tadi, karena saya bilang saya keluarga, jadi dibolehin masuk. Saya ngaji dekat bu Asih, dia nangis. Kata dokter, itu respon yang cukup baik.” Atira mendengarkan tanpa menanggapi ucapan bu RT.

“Oya, tadi ada dokter. Katanya ada tindakan yang butuh persetujuan keluarga. Saya bilang harus rembukan dulu sama keluarga yang lain.”

“Tindakan apa, Bu?” tanya Atira yang kini mengalihkan atensinya untuk bu RT.

“Enggak ngerti pasti, maklum saya lulusan SMP, enggak ngerti. Nanti kamu temuin dokternya aja lagi. Kalau enggak salah, operasi atau apa gitu.” ucap bu RT.

“Ya, ini harus atas persetujuan mas Bayu.” Ucap Atira lirih.

“Ya sudah, kamu telepon Bayu aja!” titah bu RT.

“Sudah saya coba Bu, tapi enggak berhasil.” ucap Atira sambil bersender ke senderan kursi.

“Mamah!” panggil seorang lelaki paruh baya ke arah Atira dan bu RT.

“Eh, papah. Untung papah datang, kok enggak bisa dihubungi?” tanya bu RT kepada suaminya yang baru datang.

“Mamah kenapa enggak aktif sih? Enggak bisa dihubungi?” keluh pak RT.

“Ada juga papah yang enggak bisa dihubungi.” Keluh bu RT sambil mencebikkan bibirnya. “Danu enggak bisa dihubungi, Atira juga tadi enggak bisa dihubungi. Mana ibu enggak bawa dompet lagi.” Bu RT meluapkan emosinya kepada pak RT.

“Ibu telpon saya? Kok, enggak ada telpon dari ibu?”

Atira mengotak-atik ponselnya yang kini sudah lowbat. Ia mencoba mencari riwayat panggilan masuk dari bu RT.

“Mah, ini!” Danu yang baru datang segera menyerahkan bungkusan nasi padang kepada bu RT.

“Ya ampun Danu, bukannya dari tadi. Mamah udah mau pingsan karna lapar,” cerocos bu RT sambil membuka bungkusan dan membaginya satu untuk Atira.

“Maaf ya, Tira ngerepotin semuanya!” ucap Atira yang merasa tak enak hati.

“Eh, bukan begitu, Tira. Ibu Cuma sebel sama dua orang lelaki tak karuan ini, punya ponsel keren kok pada enggak bisa dihubungi.”

Bu RT berbicara dengan mulut penuh rendang. Ia makan seolah-olah baru menemukan makanan setelah sekian purnama.

“Mamah, coba lihat deh! Bukan ponsel Danu yang bermasalah, tapi kuota mamah yang enggak ada.” Danu memperlihatkan sisa kuota dari provider milik ibunya.

“Sudah ah, mamah lapar. Makan jangan bersuara!” ucap bu RT yang membuat mereka tergelak karena mengelak akan kesalahannya sendiri, kecuali Atira.

***

“Ah ya, lu langsung masuk aja! Bener, dari situ belok kiri paling ujung, udah kelihatan ICU.”

Danu meletakkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia kembali terduduk dan memandangi Atira, wanita yang sempat menjadi incarannya kala itu.

Atira sudah menceritakan perihal talaknya dan penyebab bu Asih terkena serangan jantung dan koma.

Bu RT merasa geram dan hilang respek terhadap Bayu, sedangkan pak RT hanya manggut-manggut berusaha menutupi kesedihan yang juga ia rasakan.

“Bayu sudah ada di lobby!” ucap Danu seraya menatap penuh rasa iba kepada Atira.

“Mamah mau pites dia!” ucap bu RT menggebu-gebu.

“Sudahlah, Bu. Ini rumah sakit.” Pak RT mengelus punggung bu RT, berharap istrinya tidak tersulut emosi.

“Lihat Tira, Pah! Davin entah dimana, bu Asih koma, sedangkan dia... “

“Bu...!” Danu dan pak RT menegur wanita paruh baya itu agar tak melanjutkan ucapannya.

Atira segera beranjak dari tempat duduknya.

“Tira, mau kemana?” tanya bu RT yang khawatir dengan kondisi mental perempuan muda itu.

“Aku harus mewaraskan pikiran dulu, Bu. Aku rasa tak perlu bertemu mas Bayu.”

“Tira, kamu harus hadapi dan jangan lari! Ada aku dan kedua orang tuaku yang masih dukung kamu!” ucap Danu seraya mensejajari langkah Atira.

“Aku perlu waras dulu, Dan. Sebelum aku memutuskan maju ke medan perang.” Mata Atira berkaca-kaca saat mengatakan itu semua.

“Tapi, izinkan aku menemani kamu ya!” ucap Danu yang tak dijawab oleh Atira. Ia terus melangkahkan kakinya ke arah parkiran motor. Ia pun segera menaiki kuda besi itu.

“Tira, malam-malam begini kamu mau kemana?” tanya Danu yang sangat khawatir dengan keadaan Atira.

“Tolong Dan, jangan cegah. Aku Cuma mau minta kabari kalau ada apa-apa dengan ibu.” Atira langsung menstarter motor bututnya. “Enggak usah khawatir, kamu ingat kan kalau dulu aku juara taekwondo?” kekeh Atira seraya menancap gas dan meninggalkan Danu yang masih setia melihat kepergian Atira. Lelaki itu kini tengah disibukkan lagi dengan kenangannya tentang Atira.

***

Atira menyusuri jalanan malam yang lengang. Ia berniat untuk pergi ke rumahnya, tepatnya rumah Bayu. Ia ingin mengepak semua pakaian miliknya dan milik anak-anak. Tak ada lagi alasan yang membenarkan jika dia harus tetap tinggal di rumah itu. Meskipun ia sangat menyayangi bu Asih, namun bu Asih tetaplah ibunya Bayu. Jika hubungannya dengan Bayu berakhir, maka hubungan mertua menantu mereka pun ikut berakhir. Meskipun kasih sayang diantara mereka tak akan hilang.

“Mas Bayu pulang pasti bawa perempuan itu, aku belum siap, aku belum punya perlengkapan perang,” lirihnya sambil menatap kosong ke depan. “Kamu pulang dari Jepang, tapi... aku enggak mau. Padahal, selama ini aku selalu menanti kepulanganmu, Mas!”

Sepanjang perjalanan, hanya ada nama Bayu di otak Atira. Bu Asih dan Davin masih di dalam hati meskipun kadarnya sedang berkurang.

Sesampainya di kampung Bayu, Atira memarkirkan motornya di depan rumah bu Retno. Ia pun menyalakan ponselnya demi melihat waktu.

“Yah, mati lagi.” Atira berusaha menyalakan ponsel itu namun sia-sia.

Atira terduduk di depan teras rumah bu Retno. Ia ragu untuk mengetuk sang empunya rumah karena khawatir mereka sudah istirahat. Ia khawatir dengan keadaan Daffa yang ia titipkan dengan bu Retno. Terlebih lagi, jika Daffa melihatnya sekarang, balita itu khawatir tak mau ditinggal lagi dengan bu Retno.

Setelah sekitar setengah jam ia berdiam diri di depan teras bu Retno, akhirnya ia pun memutuskan untuk pergi ke rumahnya saja. Berdiam diri di depan rumah tetangganya itu, tak akan merubah apapun. Biarlah Daffa di rumah bu Retno dulu sampai keadaan memungkinkan.

Atira pun segera melangkahkan kakinya ke rumah. Ia memegang satu kunci, sedangkan satu lagi kunci milik ibunya dititipkan pada bu Retno karena khawatir Daffa membutuhkan sesuatu.

Atira membiarkan motornya berada di depan rumah bu Retno yang memang bersebrangan dengan rumahnya.

Atira memasukkan kunci ke dalam lubangnya, kemudian ia putar. Setelah terbuka, ia pun memutar gagangnya dengan berat rasa, berat karena mungkin ini untuk yang terakhir kalinya.

“Alhamdulillah, bu Retno udah nyalain lampu rumah.” Ucapnya saat ia memasuki rumah yang terang benderang, layaknya berpenghuni.

“Kok ada bekas makanan di rumah?” lirihnya pelan saat melihat meja ruang tamu yang penuh dengan makanan. Berantakan. Atira mengira bahwa Daffa dan bu Retno ada di sini. Ia pun segera melangkahkan kaki menuju ruang tengah.

“Daf...!”

Buggg...

Ucapannya terhenti karena tiba-tiba pundak Atira dipukul oleh seseorang dari belakang. Ada rasa sakit yang sangat di pundaknya saat ia melewati pintu ruang tengah dan... semuanya terlihat gelap.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Haydar huzayfa
aduh, niat hati mau begini, apalah jdinya begono
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status