Seperti kuduga di dalam hatiku, sampai jam dua belas siang esok harinya belum ada kabar dari Mas Albi terkait uang Pramuka anak kami. Aku geram dan terpaksa meminjam dulu pada Mbak Dima, salah seorang kerabat yang kebetulan tinggal sekomplek denganku.
Sebenarnya dalam hatiku, ingin sekali kutelpon Mas Albi, tapi sesuai peraturan yang dibuatnya salah seorang istri tak boleh mengusik saat sang suami berada di rumah madu kecuali hal mendesak. Aku khawatir, saat menelpon nanti justru Filza lagi yang mengangkatnya."Assalamualaikum Mbak Dima." Kuucapkan salam di depan pintu rumah Mbak Dima."Iya Dik Aini silakan masuk," jawab Mbak Dima membukakan pintu dengan lebar."Mbak, aku gak usah lama lama, aku ke sini mau pinjam uang dua ratus ribu, insya Allah akhir bulan ini Mas Albi akan memberiku uang jadi aku akan membayarnya berikut aku akan melebihkannya.""Tidak usah seperti itu Dik. Sebenarnya aku juga mau bantu, tapi aku juga sedang tak pegang uang. Kamu tahu kan, kalau sudah di atas tanggal dua puluh kita para ibu rumah tangga mulai mengencangkan ikat pinggang.""Iya juga," jawabku mendesah lemah. "Aku sebenarnya malu tapi diri ini seakan tidak punya pilihan.""Aku prihatin denganmu, dik, sebelum ini kau tak pernah kekurangan. Ada apa dengan sekarang? Bukannya suamimu seorang manager yang memimpin banyak staf di bawahnya, apakah dia sedang tak punya uang?"Sungguh malu diri ini menjawab pertanyaan Mbak Dima. Jika kubilang tidak ada, aku seakan mendustakan nikmat Tuhan, tapi sejujurnya, belakangan ini, aku agak kekurangan Karena ada sesuatu yang darurat kubayar."Bukannya saya mendustakan nikmat Tuhan yang diberikan kepadaku. Tapi, jujur saja, Minggu ini saya kesulitan Mbak. Maaf ya, sudah mengganggu, kalau begitu saya pulang dulu.""Jika aku dapat arisan hari ini,maka aku bisa membantumu sore nanti."Ah, Sebenarnya aku butuh sekarang karena ini hari terakhir kesempatan membayar. Fatimah tak akan bisa mengikuti event sekolah tanpa uang administrasi. Arghh ... Aku benar benar gerah pada Mas Albi.Untuk kedua kalinya Aku memberanikan diri untuk menghubungi ponsel Mas Albi, tersambung sih Iya tapi dia tidak mengangkatnya. Kucoba lagi dan lagi, hingga aku mengirimkan pesan, namun jangankan membalas, centang biru pun tidak.Ya Allah, mas Albi sedang di mana sih, apakah dia begitu sibuknya hingga tak bisa melihat ponsel? Ya Allah kasihan anakku.Setengah jam kemudian Fatimah pulang sekolah, dia nampak lu suruh sedih dan tertunduk lemah. Diletakkannya sepatu di rak sepatu lantas berjalan menuju kamarnya tanpa mengatakan apa-apa padaku."Fatimah umi minta maaf karena ....""Mengapa umi tidak datang untuk membayarkan uang perkemahan saya?""Bukannya tidak mau umi juga sedang berusaha untuk mendapatkan uangnya.""Lalu kenapa dengan ayah?"Kali gini aku galau ingin membalas seperti apa pertanyaan Fatimah. Mustahil aku memberitahu kalau ayahnya tidak merespon teleponku atau menjawab pesan ini. Aku benar-benar bingung Dan panik ditambah Mas Aldi baru akan pulang 2 hari lagi.Hingga pukul 03.00 sore dia tidak kunjung memberiku kabar, sementara dalam hati ini sudah berapi-api, dadaku panas dan telingaku seakan mengeluarkan asap. Terus-menerus ku buka ponsel untuk memeriksa Apakah dia sudah membaca pesan whatsappku tapi percuma saja.Tepat setelah azan asar dia menelponku, terima kasih Tuhan akhirnya dia membaca pesan dan menelpon."Maaf aku baru melihat pesanmu," ucapnya, " apa uangnya masih bisa dibayarkan?""Percuma, sudah terlambat, teman-teman dan guru pemimpin sudah berangkat ke tempat camping, Fatimah sangat kecewa Bi!""Kenapa umi tidak memberitahu Abi dari kemarin-kemarin?""Semalam saya menelpon Abi, mengapa tidak ditanggapi? Bukannya umi sudah menitipkan pesan kepada Ummi gibran?""Tapi Filza tak mengatakan apa apa," jawab Mas Albi dengan ragu.Ya! Tentu saja wanita sok suci dan cantik itu tak menyampaikannya pada Mas Albi. Dia menahan hakku dan anak anak demi egonya, dia sengaja melakukan itu untuk menyakiti diri ini atau membuatku marah.Aku harus memberinya sedikit peringatan!"Astagfirullah Mas semalam aku menelponmu dan mengatakan bahwa filsafat membutuhkan uang Rp.200.000 untuk pembayaran administrasi pergi berkemah, pagi tadi harusnya uang itu dibayarkan Tapi sekarang sudah terlambat karena teman-teman fatimah sudah berangkat.""Ya ampun ...." Mas Albi terdengar terkejut."Fatimah sangat kecewa, dia pulang dengan wajah lesu dan Mata sembab, harusnya ini tidak terjadi.""Aku berjanji akan menebusnya, tolong maafkan aku dan maafkan juga filsa mungkin adikmu itu lupa memberitahuku karena saking repotnya dia mengurus Gibran.""Iya, aku paham, Mas," jawabku sambil menahan rasa jengkel. Aku ingin marah tapi kutahan, rasanya tak baik memprotes apalagi sampai berteriak di telpon, Mas Albi akan semakin menjauh dariku dan kejauhan itu akan mendekatkan dia pada Filza.Ah, dilema sekali hidup ini.*Syittt ....Bunyi ban mobil berdecit di depan rumah, tak sampai tiga puluh menit sejak aku menelpon Mas Albi, pria itu datang. Setelah mengucapkan salam dia langsung masuk dan mencari Fatimah.Tok ..tok."Fatttum, ini Abi," ucap Mas Albi sambil memanggil nama kecil putrinya.Tak lama gadisku yang berumur sepuluh tahun itu keluar dengan wajah yang masih kecewa."Maafkan Abi ya.""Iya tidak apa apa. Sejak ada Gibran, Abi jarang memperhatikan kami," ucap Fatimah dengan jelas. Aku dan suami sampai terkejut dan tak menyangka sekali."Tidak begitu Nak ....""Abi sendiri yang bilang bahwa sekolah itu penting tapi Abi juga yang mengabaikan ...." Anak Perempuanku langsung menangis dan mohon izin masuk ke dalam kamarnya lagi."Fatimah mau belajar," ucapnya dengan wajah kecewa."Tunggu Nak, Abi minta maaf ...."Terlambat, Fatimah terlanjur kecewa, mas Albi mengetuk tapi anak kami tak menanggapinya. Kini giliran Mas Albi berbalik ke arahku dengan wajah penuh tanda tanya mengapa anaknya bersikap seperti itu, sementara aku tak punya jawaban selain mengangkat bahu.Itu baru satu kesalahan, belum yang lain.Setelah kejadian semalam aku sudah tidak mau banyak bicara dan sedikit menjaga jarak kepada Mas Albi. Ingin kutunjukkan protes dan memperlihatkan padanya betapa aku kecewa tentang hal ini. Iya, keluarga kami memang mapan dan dia memberiku uang belanja tapi ada saatnya ketika aku kehabisan uang di dompet dan tidak punya stok lagi, sementara deposito anak-anak yang kusimpan untuk biaya tabungan pendidikan mereka, tentu tidak bisa diganggu.Meski Mas Aldi tetap sudah minta maaf dan tetap berusaha membela istri barunya tetap saja itu membuatku tanpa jengkel"Maafkan aku Dan tolong maklumi filsafat mungkin kesibukannya mengurusiku dan Gibran membuat dia lupa segalanya tolong maafkan dia.""Aku juga sibuk mas tapi aku tidak pernah melewatkan apapun terlebih jika itu menyangkut amanah seseorang, seperti yang terjadi pada Fatimah kau sudah mengecewakan anak kita dan event yang sudah lama dia tunggu terpaksa harus dilewatkan." aku menahan jengkel ketika mengatakan itu."Sekarang Fatimah di ma
Mobil di parkirkan tak jauh dari lokasi acara kami turun dari sana dan langsung berjalan beriringan. Mas Aldi berjalan menggandeng kedua anaknya sementara kedua istrinya berada di belakangnya, yakni aku dan Filsa."Mbak Aini, gak nyangka kita kembaran," ujarnya dengan ramah yang terkesan memaksa."Uh hmm, iya," jawabku dengan senyum yang tak kalah terpaksa. Aku geram dalam hati. Model, Payet, warna, semuanya sama, seakan kami anak kembar. Dasar Mas Albi tak punya akal."Tapi, aku kurang suka modelnya, andai masa lebih membiarkan aku sendiri yang memilihkan model tentu tidak akan seperti ini," sambungku."Uh-hmmm, sama." Wanita itu bergumam sambil tersenyum maklum."Lain kali, katakan pada suamimu itu membagi Uang belanja dan biarkan kita sendiri yang membeli pakaian," ucapku sambil mencarikan diri. Rasanya tak tahan lagi berjalan beriringan seakan aku ban serep yang tak dibutuhkan.Melihatku menjauhkan diri, sontak saja Filza tersenyum tipis, lalu dengan santainya dia menarik Fatimah
Mendengar jawabanku yang seakan menghinakannya wanita itu hanya menggigit bibir sambil mendesis ke arahku. Kelihatannya dia ingin melawan tapi karena takut Mas Albi akan menyalahkannya maka dia tetap diam saja."Ummi, tungggu! Bukan cara dan prinsip hidup ummi, pergi dari pesta dengan cara seperti ini." Ternyata Mas Albi mengikuti diriku dan menarik tangann ini tepat di luar gedung acara."Sudah cukup kebungkaman ini membuat istri mudamu semakin melunjak. Maaf dari hati yang terdalam, ternyata imanku tak setebal itu, Bi.""Astagfirullah, Jangan bicara dalam keadaan di kuasai amarah. Istighfar dan tenangkan hatimu, kembalilah bersamaku ke dalam."Dengar, jika aku kembali maka aku berkesempatan mengejek wanita itu--bahwa Mas Albi tetap menjemputku semarah apapun diri ini-- tapi aku malas membuktikan diri. Kupilih opsi kedua di mana aku tak perlu memupuk sakit hati. Lebih baik pulang dan makan di rumah lalu tidur daripada aku bertahan sementara perasaan ini sakit dan jiwa ini lelah."Ent
Suamiku pulang sebelum pukul tujuh, seperti biasa dia mengucapkan salam, langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. aku yang duduk di depan kaca rias hanya memperhatikan bagaimana dia melemparkan pakaian-pakaiannya ke lantai. kupungut pakaian itu lalu memasukkannya ke dalam keranjang sambil menghela nafas. Seperti biasa, baju kotor akan terlempar padaku dan dalam keadaan tampan dan menggunakan pakaian bersih mas Albi selalu menemui filsa dan berbahagia dengannya.*"Ada apa denganmu sejak tadi sikapmu dingin dan diam saja bahkan kau nyaris tidak menjawab salamku ketika aku masuk ke dalam kamar," tanyanya ketika keluar dari pintu kamar mandi."Tidak ada.""Mengapa kau membisu, Apakah kecemburuan itu sangat besar di hatimu hingga kau lupa untuk menghargai suamimu? Tahukah kamu bahwa dalam hidupku kau tetap istri pertama dan yang utama di hati ini," bujuknya pelan sambil mengusap rambutku "Jangan berdusta!" Aku langsung berdiri mensejajarkan wajahku dengannya."Jika kau lebih
"Aku akan ke tempat Filza sore nanti, apa kau ingin menitipkan sesuatu sepulangnya?"Wow, dia menawariku sesuatu, tumben dia melakukannya."Tidak ada Mas, terima kasih."Bukannya aku sok Sholehah, tapi aku memang sedang tidak membutuhkan apa apa."Yakin, kau tidak mau dibelikan martabak susu keju?""Tidak, Mas," jawabku dengan senyum getir."Baiklah, aku berangkat dulu." Dia mendekatiku lalu mengecup kening ini dengan penuh kasih sayang."Aku harap kau tak akan memupuk kecemburuan lagi. Memang saat wanita cemburu seorang pria harusnya mengalah, karena mereka akan mendebat perasaan dan hati. Aku minta maaf atas kesalahanku yang sudah menuntutmu barusan."Sepertinya luka di hatiku seakan diringankan dengan permintaan maaf darinya. Meski hanya ucapan kecil, aku merasa beban dipundakku berkurang.Kuiringi kepergian Mas Albi berangkat kerja dengan doa dan harapan semoga Tuhan akan menjaganya di mana pun dia berada.*"Ummi, boleh kita ke taman hiburan malam Minggu dengqn Abi?" tanya Fatim
Sekarang dia minta aku tidak menempatkan akal dan pikiranku setara dengan ak dan pikiran anak anak. Subhanallah, kalimat yang benar-benar menyinggung perasaanku. Hampir, hampir 10 tahun Kami bersama, tapi belum pernah dia menyakitiku selain ketika dia telah bersama dengan filza. Aku terkejut dan tidak menyangka hatiku tertusuk dan durinya enggan tercabut dari sana. Jika ditanya tentang air mata aku sudah tidak bisa menangis lagi karena aku sudah lebih banyak meneteskan air mata bahkan sebelum dia resmi menikahi istri barunya."Ummi, izinkan saya menikah, saya ingin meringankan bebanmu dalam mengurusku juga kau akan punya adik madu dalam mengurusi mertuamu yang mulai sakit-sakitan."Seperti reaksi wanita pada umumnya tentu saja saat itu aku menolak, mentah-mentah aku menolak permintaan konyol itu karena aku merasa masih bisa mengurus Mas Albi dengan baik, juga ibunya yang sakit stroke dan ayahnya yang sudah pensiun. Aku tidak mau membagi perasaanku dan juga cintaku yang tulus, Aku ti
Sekarang beginilah aku, terjebak dalam poligami yang kian hari kian menggerus keyakinanku akan janji janji yang diucapkan Mas Albi. Mungkin baginya, dia sudah berusaha adil dengan maksimal, tapi di mataku ... tidak ada yang maksimal, semuanya minimal dan keterpaksaan. Dia lebih bahagia dengan filza sementara kepulangannya ke rumah kami hanya formalitas yang tak bisa dia hindari.Anggaplah kedua putriku yang menahan bahtera ini agar tetap berlayar dan tidak oleng diterpa gelombang, tapi, di sisi lain, bidukku rapuh. Kesedihan dan kecemburuan ini, serta mungkin rasa dengki akan kemesraan mereka perlahan melubangi hati. Aku kehilangan kepercayaanku pada Mas Albi. Aku sangat kecewa padanya.*Minggu pagi dia kembali ke rumah, kembali setelah kemarin mengabaikan permintaan anak anak ke taman hiburan. Dia masuk rumah, mengucapkan salam dan menyapa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Anak anak hanya menatapnya dengan tatapan kecewa, sementara ia terus menyunggingkan senyum, seolah senyum i
Seharusnya aku tak banyak mengeluh tentang hidupku, harusnya aku jalani saja apa yang terjadi dan sisanya kupasrahkan pada Yang Kuasa. Aku akan duduk diam sambil mengukur kemampuan dan sabarku. Jika semua itu sudah diambang batas kemampuan, maka mungkin sudah waktunya untuk mundur dan menyerah.*Setelah menghidangkan nasi goreng dan telur ceplok, aku melanjutkan kembali tugas rumah yang tertunda. Kuantar anak anak ke bis sekolah, setelah mereka naik, aku lalu menutup kembali pintu gerbang rumah. "Ummi, Sepatuku yang warna coklat di mana ya?" tanya Mas Albi."Ada di rak bagian bawah, Bi.""Baiklah. Kemarilah," perintahnya."Ya?""Ummi lupa bahwa setiap pagi um selalu mencium tangan dan merangkulku? Mana ucapan selamat bekerja, yang setiap kali dikatakan pagi hari?""Maaf aku lupa," jawabku asal."Astagfirullah, mana bisa lupa.""Sesekali wanita khilaf itu wajar Mas, asal khilafnya jangan parah," jawabku mencium tangannya."Aku tidak paham," ucapnya sambil mengernyit, aku memang