Sekarang dia minta aku tidak menempatkan akal dan pikiranku setara dengan ak dan pikiran anak anak. Subhanallah, kalimat yang benar-benar menyinggung perasaanku. Hampir, hampir 10 tahun Kami bersama, tapi belum pernah dia menyakitiku selain ketika dia telah bersama dengan filza. Aku terkejut dan tidak menyangka hatiku tertusuk dan durinya enggan tercabut dari sana. Jika ditanya tentang air mata aku sudah tidak bisa menangis lagi karena aku sudah lebih banyak meneteskan air mata bahkan sebelum dia resmi menikahi istri barunya.
"Ummi, izinkan saya menikah, saya ingin meringankan bebanmu dalam mengurusku juga kau akan punya adik madu dalam mengurusi mertuamu yang mulai sakit-sakitan."Seperti reaksi wanita pada umumnya tentu saja saat itu aku menolak, mentah-mentah aku menolak permintaan konyol itu karena aku merasa masih bisa mengurus Mas Albi dengan baik, juga ibunya yang sakit stroke dan ayahnya yang sudah pensiun. Aku tidak mau membagi perasaanku dan juga cintaku yang tulus, Aku tidak ingin suamiku yang sangat aku muliakan dan juga menyayangiku kini akan menyayangi wanita lain. Bisa kubayangkan Jika dia memperlakukan wanita baru sama seperti memperlakukan aku, akan sangat cemburu sekali."Tolong pikirkan baik baik, meski poligami bukan dosa, tapi tolong pertimbangkan bisakah kamu berbuat adil, dan membahagiakan kami semua.""Wanita itu pilihan ibu, dia taat beribadah dan pemalu," jawabnya."Kalau palu, dia tidak akan mau merebut suami orang. Mencintai lelaki beristri dan ..."Um, berbagi tidak sama dengan merebut! Aku memohon izinmu bukan untuk mendengar ummi mengolok olok seorang wanita beriman.""Kalau punya iman tidak begitu, Mas." Aku langsung bangkit dan hendak menjauh, sayangnya ia segera meraih pundakku dan memelukku dari belakang."Sayang, ini hanya caraku untuk membahagiakan orang tua. Dia ingin aku punya istri istri yang akan saling menjaga, kompak dan berbakti.""Jadi, ini kehendak orang tua yang tak bisa kamu lawan Mas, saya harus bagaimana, sulit untuk merelakan ini semua," jawabku dengan air mata berderai."Cintaku tidak akan pernah lebih banyak untuknya daripada kamu, juga perhatian dan waktuku, aku janji.""Begitulah pria selalu berjanji di awal namun pada akhirnya semuanya akan diingkari," balasku menghindari tatapan matanya yang seolah ingin meyakinkanku. Sekeras apapun aku berusaha, tetap saja, Mas Albi berhasil mensejajarkan posisi tatapan kami."Lihat ke dalam mataku. Akupun tak berdaya dengan keinginan ibu, siapa tahu itu keinginan terakhirnya.""Aku tahu ibu sangat baik dan bijak, tapi pernahkah ibu meminta pendapat atau bertanya tentang perasaanku, aku sangat tersiksa. Tak bisa dan tak rela Mas.""Bukankah, dengan kesabaran dan cintamu aku akan semakin mencintaimu, aku akan semakin membaktikan diri dan memprioritaskan kamu, juga anak anak kita. Tidak ada yang lebih penting dari kalian," ucapnya tegas. Penuh keyakinan dan berharap kepercayaan."Aku tak bisa menjawab. Izinkan aku berpikir, biarkan aku berpikir," jawabku sambil menjauh darinya.Malam itu kuhabiskan untuk menangis, rasanya meski ingin tidur tapi mata ini tak bisa terpejam. Ingin kupaksa diriku terlena di alam mimpi tapi kesedihan tak tertahan membuatku hanya ingin berurai air mata hingga pagi menjelang. Setelah itu ... Seminggu kami tak saling bicara. Suamiku memang menyapa, tapi kebungkamanku membuatnya segan dan malu. Ketika berjumpa di dapur atau di kamar aku selalu menghindarinya, sikapku dingin dan tak pernah merespon sinyal kemesraan yang coba ia berikan.Namun, yang namanya wanita, aku tak akan berdaya dengan kehendak keluarga dan orang yang derajatnya lebih penting dariku. Sekuat apapun bertahan dan keberatan, tetap saja, pernikahan itu akan terjadi."Hari Minggu acara akan akan digelar. Aku mohon datanglah, tolong izinkan aku.""Apa?"Dia tetap nekat?"Aku kan belum mengizinkan kamu Mas, aku bahkan belum menandatangani persetujuan sebagai istri pertama.""Karena itu ... Aku memberi tahumu sekarang, aku mohon izinkan aku.""Apa kau 'ngebet' sekali Mas? Mengapa kau tega padaku, mengapa?!" Aku mulai menangis, panik dan ingin mencegah, aku meratap dan memukul mukul dada Mas Albi dengan rengekan dan penolakanku."Mengapa kau harus menikah lagi, masih banyak cara untuk berbakti dan meraih surga, mengapa kau harus menikah. Aku tak mengizinkan, aku tak ridho.""Ridho darimu adalah pintu surga untukku dan keluarga kita, Insya Allah setelah ini, kita akan semakin bahagia. Aku akan memperlakukan kalian dengan adil, menjaga kalian seperti berlian berharga yang tidak akan pernah bisa dimiliki orang lain, aku berjanji," jawabnya sambil merangkulku erat dan mencium keningku."Janji itu tak menghiburku, Mas.""Aku akan habiskan 3 hari di sana dan 4 hari bersamamu, bahkan lebih, seperti yang kau mau, Aini.""Apakah wanita itu sangat cantik hingga kau terobsesi sekali?""Tidak ada yang lebih cantik darimu. Kau adalah wanita yang kupilih dan kulamar sebagai istriku karena aku jatuh cinta, sementara filza adalah wanita yang dipilihkan orang tuaku. Kalian tak bisa disamakan.""Aku masih tak bisa percaya dengan ini, aku tak percaya ini nyata Mas. Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk berkepanjangan ini. Tolong Mas ...""Ini bukan mimpi, ini nyata! Tolong restui aku meski restumu akan kuanggap hutang budi seumur hidup. Aku rela menukar jiwa dan raga demi sebuah izin, tolong izinkan aku!" ucapnya tegas.Kalau sudah begini aku tak punya alasan untuk menolak. Sudah dengar tadi? Dia rela menukar jiwanya untuk bisa menikah dengan filza. Kalau sudah senekat itu, aku harus bagaimana selain menyerah. Toh, kalau orang tuanya sudah berkehendak maka apa saja bisa terjadi. Izin dariku bukan hal penting, karena sepertinya dengan atau tanpa persetujuan ku pernikahan itu tetap akan terjadi. Artinya rencana mereka sudah matang dan persiapan pernikahannya sudah dilakukan, aku hanya perlu mengangguk setuju dan menghadiri.Ya Tuhan kejam sekali takdir ini.**Hari itu, kuhadiri pernikahannya. Kudatangi rumah yang sudah semarak dengan dekorasi bunga wisteria dan mawar. Pelaminan dan tempat akad dibuat mewah dengan pencahayaan ungu dan emas. Untuk kedua kalinya aku akan melihat suamiku jadi raja sehari dengan pakaian pengantin dan kursi indahnya. Hatiku nelangsa.Sewaktu akad dilaksanakan aku didudukkan di sebelah kirinya, dekat dengan wanita yang memakai gaun indah dan cadar pengantin yang mewah. Bersama kedua pasangan itu, aku merasa rendah, kupindai penampilanku yang sederhana, hanya gamis warna biru langit dan jilbab panjang, aku terlihat kumuh dan menyedihkan, sedang tatapan orang juga menyedihkan.Ketika ucapan semua orang menyebut, Sah, disitulah aku mengalami patah hati dan kecemburuan yang sebenarnya.Sekarang beginilah aku, terjebak dalam poligami yang kian hari kian menggerus keyakinanku akan janji janji yang diucapkan Mas Albi. Mungkin baginya, dia sudah berusaha adil dengan maksimal, tapi di mataku ... tidak ada yang maksimal, semuanya minimal dan keterpaksaan. Dia lebih bahagia dengan filza sementara kepulangannya ke rumah kami hanya formalitas yang tak bisa dia hindari.Anggaplah kedua putriku yang menahan bahtera ini agar tetap berlayar dan tidak oleng diterpa gelombang, tapi, di sisi lain, bidukku rapuh. Kesedihan dan kecemburuan ini, serta mungkin rasa dengki akan kemesraan mereka perlahan melubangi hati. Aku kehilangan kepercayaanku pada Mas Albi. Aku sangat kecewa padanya.*Minggu pagi dia kembali ke rumah, kembali setelah kemarin mengabaikan permintaan anak anak ke taman hiburan. Dia masuk rumah, mengucapkan salam dan menyapa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Anak anak hanya menatapnya dengan tatapan kecewa, sementara ia terus menyunggingkan senyum, seolah senyum i
Seharusnya aku tak banyak mengeluh tentang hidupku, harusnya aku jalani saja apa yang terjadi dan sisanya kupasrahkan pada Yang Kuasa. Aku akan duduk diam sambil mengukur kemampuan dan sabarku. Jika semua itu sudah diambang batas kemampuan, maka mungkin sudah waktunya untuk mundur dan menyerah.*Setelah menghidangkan nasi goreng dan telur ceplok, aku melanjutkan kembali tugas rumah yang tertunda. Kuantar anak anak ke bis sekolah, setelah mereka naik, aku lalu menutup kembali pintu gerbang rumah. "Ummi, Sepatuku yang warna coklat di mana ya?" tanya Mas Albi."Ada di rak bagian bawah, Bi.""Baiklah. Kemarilah," perintahnya."Ya?""Ummi lupa bahwa setiap pagi um selalu mencium tangan dan merangkulku? Mana ucapan selamat bekerja, yang setiap kali dikatakan pagi hari?""Maaf aku lupa," jawabku asal."Astagfirullah, mana bisa lupa.""Sesekali wanita khilaf itu wajar Mas, asal khilafnya jangan parah," jawabku mencium tangannya."Aku tidak paham," ucapnya sambil mengernyit, aku memang
Setelah kepergiannya meninggalkan rumah sembari membawa amarahnya yang besar, tingallah diriku sendiri. Menangis sambil menyandarkan kepala ke sisi dinding dan memeluk kedua lututku.Aku menyesal, mengapa aku tidak berkuat saat itu, mengapa aku tidak menentang pernikahan Mas Albi dengan segala usaha dan kemampuanku. Mengapa aku begitu lemah dan mau mau saja di madu? Mengapa aku begitu bodohnya.Selaksa asa di dalam jiwaku mengajak diri ini untuk mundur saja dari mahligai yang sudah kami bangun bertahun tahun. Buat apa bertahan dalam luka, buat apa mencintai tapi cinta tidak dibalaskan, buat apa berkorban jika orang yang kita tak tunggu tidak peka dengan perasaan. Semakin hari, bukan bahagia yang akan kudapatkan, tapi derita dan kesengsaraan yang menumpuk.Namun, aku sangat mencintai suamiku, jujur aku tak bisa hidup tanpanya. Membayangkan sehari tanpa dia saja hidupku sudah hampa dan kesepian, bagaimana akan kujalani sisa hidup ini dengan kenangan tentangnya. Aku akan sepanjang wakt
"Aku hanya mengutarakan keheranan dan sedikit keberatanku, entah kenapa aku jadinya seperti pembantu di matamu, Mas," jawabku menangis. Aku terjatuh di sudut ranjang lalu tergugu, kehabisan kata kata untuk meluapkan sisi emosionalku.Pria itu masih berdiri di depanku, Tak seperti dulu, dia selalu tidak tega melihatku menangis dan segera membujuk diri ini untuk tenang dan menghentikan air mata. Berbeda dengan sekarang, dia hanya berdiri saja seperti patung, seakan dia senang menyaksikan diriku yang sedih dan tergugu pilu demi dirinya. Mungkin, rasanya keren sekali jika seorang laki-laki sepertinya diperebutkan oleh dua wanita."Apakah aku harus diperebutkan oleh dua lelaki juga agar bisa merasakan sensasi perasaan yang dirasakan Mas Albi sekarang?" Pikiran garang itu muncul di hatiku tiba tiba."Sudah jangan menangis!" Dia tidak mengatakannya dengan lembut melainkan setengah bentakan."Aku harus pergi, jika kau menangis maka aku akan celaka."Apa hubungannya menangis dengan celaka?
"Astagfirullah, aku tidak bermaksud seperti itu Mas, apa yang dikatakan anak-anak adalah murni pemikiran mereka yang masih kecil dan belum paham apa-apa.""Lihat dia sudah berani mengatakan ayahnya jahat, penilaian seperti itu adalah penilaian yang memperburuk keadaan.""Tapi a-aku ...."Belum selesai ucapanku tiba-tiba pintu rumah kami diketuk seorang wanita mengucapkan salam dan terdengar suara langkah kaki dari hak sepatunya."Permisi, assalamualaikum ...." Suara itu terdengar lembut dan familiar. Benar saja, dari balik dinding seorang wanita dengan kaftan hijau tosca dan menggendong bayi laki laki datang dari balik dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga."Aku kebetulan lewat dan langsung mampir," ucap Filza sambil tersenyum padaku dan Mas Albi."Oh, benarkah."aku menjadi salah tingkah dan setengah tidak nyaman karena wanita itu harus melihat saat kami bertengkar dan aku sedang menangis. Kuhapus segera air mata dan membalikkan badan untuk mengambil tisu."Aku mendeng
"Astagfirullah, aku tidak bermaksud seperti itu Mas, apa yang dikatakan anak-anak adalah murni pemikiran mereka yang masih kecil dan belum paham apa-apa.""Lihat dia sudah berani mengatakan ayahnya jahat, penilaian seperti itu adalah penilaian yang memperburuk keadaan.""Tapi a-aku ...."Belum selesai ucapanku tiba-tiba pintu rumah kami diketuk seorang wanita mengucapkan salam dan terdengar suara langkah kaki dari hak sepatunya."Permisi, assalamualaikum ...." Suara itu terdengar lembut dan familiar. Benar saja, dari balik dinding seorang wanita dengan kaftan hijau tosca dan menggendong bayi laki laki datang dari balik dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga."Aku kebetulan lewat dan langsung mampir," ucap Filza sambil tersenyum padaku dan Mas Albi."Oh, benarkah."aku menjadi salah tingkah dan setengah tidak nyaman karena wanita itu harus melihat saat kami bertengkar dan aku sedang menangis. Kuhapus segera air mata dan membalikkan badan untuk mengambil tisu."Aku mendeng
Seperti kuduga, sehari setelah kepergian kami dari rumah Mas Aldi tiba-tiba menelepon. Agus tidak sengaja mengangkatnya melainkann kureject berkali-kali panggilannya."Biar saja Aku ingin sesekali membuatnya jera," gumamku.Tring.Tring.Ponsel berdering tanpa henti Aku yakin dia tidak akan berhenti menelepon sampai Aku menjawab teleponnya."Halo assalamualaikum.""Waalaikumsalam Aini di mana kamu sekarang kenapa kamu tidak jawab teleponku secepat mungkin"Aku sedang di rumah Ibuku, Ada apa Mas bukannya kamu sudah tahu kalau aku kemari?""Aku tidak tahu!""Bukannya aku mengatakan hal itu kepada filsaApakah dia tidak memberitahumu?!""Tidak, apulang ke rumah dan tidak menemukanmu di sana. Apa yang sedang kau lakukan lama-lama dan mengapa juga kau harus membawa pakaianmu?""Kau sungguh tidak peka Mas, tapi tak mengapa, aku berharap kau bisa menjemputku, itupun kalau kau mau," ujarku dengan nada malas dan kesal.""Apa kau sengaja melakukan ini agar aku dimarahi mertua?" Dia sedang meneba
"Ya ampun Aini, aku mohon, semakin lama kau di sini, aku akan semakin malu kepada ayah mertua. Aku mohon agar kau mengerti posisiku yang sedang sulit seperti ini, tolong jangan buat keadaan yang makin rumit," pintanya sambil menangkupkan kedua belah tangan."Apakah aku tidak berhak tinggal lebih lama di sini, aku juga ingin menghabiskan waktu bersama kedua orang tuaku?""Masalahnya kau sudah datang dengan air mata dan kesedihan. Jadi mereka akan berpikir bahwa aku adalah sumber kesedihanmu. karena itu, aku ingin mengajakmu pulang. Kau bisa kembali nanti kapan kau mau, setelah masalah ini berres."Dasar pecundang, ia ingin segera mengajakku pulang untuk menghindari bertemu ayah yang bisa saja sangat murka padanya. Dia memang takut sejak lama pada ayah. Tapi, entah mengapa, mungkin sudah takdir tuhan juga, entah kenapa kami tersihir untuk membiarkan dia berpoligami."Mengapa kau tidak pergi saja, ke rumah istrimu dan berbahagia di sana? Aku tidak akan melarangmu Mas," ucapku sambil meli