Share

beginilah

Sekarang beginilah aku, terjebak dalam poligami yang kian hari kian menggerus keyakinanku akan janji janji yang diucapkan Mas Albi. Mungkin baginya, dia sudah berusaha adil dengan maksimal, tapi di mataku ... tidak ada yang maksimal, semuanya minimal dan keterpaksaan. Dia lebih bahagia dengan filza sementara kepulangannya ke rumah kami hanya formalitas yang tak bisa dia hindari.

Anggaplah kedua putriku yang menahan bahtera ini agar tetap berlayar dan tidak oleng diterpa gelombang, tapi, di sisi lain, bidukku rapuh. Kesedihan dan kecemburuan ini, serta mungkin rasa dengki akan kemesraan mereka perlahan melubangi hati. Aku kehilangan kepercayaanku pada Mas Albi. Aku sangat kecewa padanya.

*

Minggu pagi dia kembali ke rumah, kembali setelah kemarin mengabaikan permintaan anak anak ke taman hiburan. Dia masuk rumah, mengucapkan salam dan menyapa seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

 Anak anak hanya menatapnya dengan tatapan kecewa, sementara ia terus menyunggingkan senyum, seolah senyum itu bisa mengobati luka anak anakku yang patah hati. Dia bawakan mainan dan boneka seakan benda benda itu bisa mengganti momen bersamanya. Lama lama, kuperhatikan suamiku semakin tidak berperasaan.

"Apa kabar Sayang, kamu terlihat segar habis mandi. Kamu cantik dengan rambut terurai dan basah seperti itu."

Sikap suamiku seperti ciri khas lelaki yang suka berselingkuh. Sikap mereka mendadak baik dan manis untuk menutupi dosa yang mereka perbuat. Bedanya, yang ini sudah menikah. Kemungkinan lain, semalam ia sangat bahagia. Sehingga sisa kesenangan itu lekat di hatinya. Masya Allah.

"Terima kasih atas pujiannya, kau juga tampak semakin tampan, semakin rupawan karena sudah ...." Ah, napasku tertahan. Aku tak ingin melanjutkan ucapanku.

"Ada apa? Sudah apanya?" tanyanya mengernyit heran.

"Lupakan saja," jawabku sambil menjauhinya. Tapi seperti biasa, dia akan meraih pinggangku dan memelukku dengan puluhan ciuman dari belakang.

"Apa kau marah? ya, kau marah, kau kecewa. Aku datang untuk  menebus semua itu."

"Jangan bicara omong kosong. Makanlah," ucapku melepas rangkulan tangannya. Entah kenapa aku tak bergairah untuk bermesraan. Aku kehilangan mood dan keinginan. Aku juga merasa lesu saat bertemu, hampa saat bersama. Aku benar benar  akan kehilangan rasa.

"Mau makan, tapi disuapi Ummi," godanya ambil mencium ujung hidungku.

"Tidak usah, Mas, saya masih banyak pekerjaan," jawabku sambil mendecak kecil, kutinggalkan dia yang nampak kecewa juga. 

Aku tahu mungkin dia mulai kesal dengan sikapku, tapi, apa boleh buat, semakin memaksakan diri bersikap manis, semakin aku merasa terluka. Semakin mendekat pada Mas Albi, semakin diri ini seolah melihat bayang wanita itu di belakangnya. Aku tersiksa dengan perasaan dan hatiku sendiri. Aku benar benar tersiksa.

Kututup pintu balkon dekat kamar setelah selesai menjemur handuk. Tiba tiba Mas Albi datang dan langsung memelukku. Dirangkulnya tubuh ini erat, lalu detik berikutnya dia membopongku ke atas tempat tidur.

"Hei, ada apa?"

"Mengapa sikapmu seakan kau tidak tahu bahwa aku ingin bercinta? Aku merindukanmu Ummi."

Biasanya aktivitas intim antara suami dan istri adalah bagian favorit dan yang paling indah dalam hubungan kami. Aku senang melakukannya, aku bisa bergelayut di dada Mas Albi sepuasnya, aku bisa merasakan hangat tubuhnya tanpa berjarak sehelai benang, bisa  mencium bibirnya dan dipeluk tangan kekar itu tanpa ada yang menganggu kami. Tapi entah kenapa, semuanya beda.

Dia mencumbuku, mencium setiap inchi wajahku dengan penuh kasih, melumat bibir ini tanpa respon dariku. Sesaat ia menghentikan perbuatannya, menatap mataku yang kosong oleh pikiran dan ketidak-tenangan.

"Ada apa Ummi, mengapa aku merasa kalau tubuhmu yang di sini tapi jiwamu entah ada di mana."

"Aku sedang lelah," jawabku sambil mendorong dirinya dari atasku. Dia berguling ke kiri sambil menghela napas kecewa. Dia letakkan kepalanya di bantal sambil menatapku membenahi baju.

"Kenapa kau menghindariku?"

"Kau ingin jawaban bohong atau jujur?"

"Keduanya."

"Aku baik saja," jawabku. Ia mengernyit, menggeleng tanda tak percaya.

"Lalu ...? Kenapa kau begitu?"

"Aku ... entahlah bagaimana caraku untuk menjelaskan Mas, aku sedang tidak bergairah untuk bercinta."

"Bukankah hal itu yang kau sukai?"

"Aku memang suka, tapi, ada saatnya aku merasa lelah."

"Kau sedang lelah atau sedih?" tanyanya yang  coba mengoreksi diriku.

"Mungkin keduanya," jawabku sambil mengangkat bahu. Aku bangun, tapi dia menarik gamisku. Dia memaksaku untuk duduk di sampingnya, di atas peraduan kami yang empuk dan hangat.

"Tolong jujurlah, apa ada hal yang tak kau sukai?"

"Aku harus bagaimana? Jika ke utarakan perasaan dan keharapanku maka kau akan selalu marah aku akan terkesan melawan dan tidak bersyukur juga akan banyak hal lain yang akan membuatmu tidak bahagia."

"Begitukah? Apakah aku seburuk itu?"

"Tidak juga, Aku hanya tidak mau membuatmu tak nyaman."

"Aku tidak mau berada dalam zona nyaman, katakan saja Jika ada hal yang mengganjal di hatimu. Insya Allah aku akan perbaiki diriku."

Mendengarnya aku hanya bisa menghela nafas, aku tidak bisa membahas tentang istri barunya dan bagaimana ketimpangan yang dia lakukan selama ini, jika aku membahasnya tentu itu akan berujung pertengkaran dan hal yang tidak menyenangkan. Dia akan menghindari perdebatan lalu kembali ke rumah filsa dan berbahagia di sana. Jadi, aku sangat dilema dan salah.

"Apa ini tentangku, atau Filza?"

"Tidak perlu dibahas. Aku akan ke kamar anak anak untuk menyiapkan alat tulis dan pakaian sekolah."

"Tidak Aini..." Sekali lagi dia menarik tanganku. "Percakapan ini belum tuntas, kau tidak sedang baik baik saja. Ada hal yang membuatmu tak senang, tolong katakan yang sebenarnya."

"Mas ... Jika aku bilang semuanya baik-baik saja maka percayalah padaku bahwa semuanya baik-baik saja. Jangan memperpanjang pembicaraan yang tidak penting sebab aku tidak mau membahas apapun. Daripada kau berguling seperti itu sebaiknya kau mengajak anak-anak bermain atau pergi ke tempat kesukaan mereka." Aku mulai tak sabar dan marah.

"Kok marah sih?"

"Aku tidak marah, hanya saja, aku tak ingin kau mendesak percakapan yang sama sekali tak  penting. Ketika kau kembali ke rumah aku ingin kau menikmati waktu denganku dan anak-anak bukan menyulut pertengkaran atau mencari perdebatan. Aku lelah Mas! sangat lelah!" Mungkin benar masalah rumah tangga yang membelit perasaanku mulai membuat diri ini depresi dan tidak bisa mengendalikan diri, buktinya, aku mulai berteriak dan memarahi suami. 

Aku harus bagaimana?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status