Share

mendengar

Mendengar jawabanku yang seakan menghinakannya wanita itu hanya menggigit bibir sambil mendesis ke arahku. Kelihatannya dia ingin melawan tapi karena takut Mas Albi akan menyalahkannya maka dia tetap diam saja.

"Ummi, tungggu! Bukan cara dan prinsip hidup ummi, pergi dari pesta dengan cara seperti ini." Ternyata Mas Albi mengikuti diriku dan menarik tangann ini tepat di luar gedung acara.

"Sudah cukup kebungkaman ini membuat istri mudamu semakin melunjak. Maaf dari hati yang terdalam, ternyata imanku tak setebal itu, Bi."

"Astagfirullah, Jangan bicara dalam keadaan di kuasai amarah. Istighfar dan tenangkan hatimu, kembalilah bersamaku ke dalam."

Dengar, jika aku kembali maka aku berkesempatan mengejek wanita itu--bahwa Mas Albi tetap menjemputku semarah apapun diri ini-- tapi aku malas membuktikan diri. Kupilih opsi kedua di mana aku tak perlu memupuk sakit hati. Lebih baik pulang dan makan di rumah lalu tidur daripada aku bertahan sementara perasaan ini sakit dan jiwa ini lelah.

"Entah apa yang kuminum saat itu hingga aku manut saja ketika suami minta kawin lagi. Entah apa yang merasuki otakku hingga aku setuju seperti kerbau dicocok hidungnya," gumamku seraya tetap menekan tombol di ponsel dan memesan taksi online.

"Tidak, Mas! Kamu masuk saja. Saya mau pulang" jawabku tegas.

"Jika kau marah atas kekurangan dan sikapmu yang tidak membahagiakanmu, maka aku minta maaf," bujuknya sambil memegang bahuku.

"Sebetulnya kau suami yang baik, sayang kau pilihkan untukku adik madu yang suka pamer dan melunjak. Tidakkah kamu sadari bahwa sedari tadi wanita itu terus mengejekku?"

"Astagfirullah, Filza tidak demikian, dia wanita baik dan penurut."

"Ya bela saja dia. Dia memang wanita cantik yang bisa membutakan lelaki dengan pesonanya. Aku pamit, Mas."

"Ummi, jangan menyebut Filza seperti itu, dia istriku, sama sepertimu, aku juga harus menjaga kehormatannnya."

Benar juga, apa yang buruk Dimata istri belum tentu buruk di mata suami. Sebaliknya apa yang baik dan bijak bagi suami ternyata belum tentu sesuai dengan pemikiran dan harapan istri. Bagaimana pun ia berusaha untuk memadukan kami berdua tetap saja, rasanya ada yang berbeda. Cemburu itu seperti api yang disulut perlahan, pelan pelan menjalar lalu membakar dengan cepat, sampai habis lalu cinta berubah jadi kecewa dan benci.

Mungkin ada beberapa orang yang merasa bahwa aku adalah wanita yang hidup bahagia dengan suami sempurna, hanya saja aku kurang bersyukur dan tak pandai mengukur nikmat. Tulis saja begitu, sebut seperti apa yang kalian mau. Namun kalau benar benar ingin menyelami perasaan ini, coba jadi aku sehari saja.

**

Keesokan Hari.

Tit ...

Notifikasi m-banking dari ponselku berdering. Biasanya di awal dan tengah bulan kami dapatkan uang belanja dan tunjangan jalan jalan dari suami. Sebenarnya itu sudah lebih dari cukup, aku tak mempermasalahnya. Tapi, kadang hati ini berandai-andai, berangan, coba saja semua uang itu ada padaku, mungkin rumah ini sudah direnovasi ke bentuk dan tampilan yang lebih kekinian. Anak anak bisa sekolah di sekolah modern terpadu, atau aku bisa beli pakaian dan perhiasan yang banyak. Ya! Jiwa serakah dan haus seseorang seperti dahaga yang tak bisa dipuaskan. Sampai di sini aku hanya mengkhayal, tidak memaksa Mas Albi untuk mengubah kembali takdirnya. Dia sudah poligami, sudah punya anak, sudah kadung terjadi.

"Ah, ya Allah, mengapa kau gariskan takdir sedemikian rupa?"

Memang tidak dibenarkan dalam hadist atau alquran seorang wanita meminta pada suaminya untuk menceraikan adik madunya lantaran ia ingin mencukupi piringnya sendiri. Itu dosa! Wanita harusnya jangan sedikitpun menentang apa yang sudah disyariatkan agama meski hatinya terluka dan jiwanya terbebani wanita harusnya patuh pada suratan takdir dan apa yang menjadi bagiannya dalam hidup. Bukankah reseki, jodoh dan maut sudah ada hitungannya? Lagipula, bukankah, dengan kelapangan hati dan kesabaran seseorang akan meraih surga?

"Alangkah sulitnya jalan Hamba meraih surgamu ya Allah. Tolong bimbing hamba dan lapangkan hati ini untuk menerima keberadaan Filza." Tanpa terasa, air mata ini menetes, meleleh di sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah kuminta anak anak untuk ganti pakaian dan berangkat tidur. Kututup pintu lalu masuk ke kamarku. Kududukkan diri di depan kaca rias sambil memandangi pantulan wajahku dengan hati remuk redam dan iba pada diri sendiri. Kubenamkan wajah di antara kedua belah tangan lalu perasaan yang tak sanggup kutahan sejak tadi akhirnya meledak. Aku menangis, menangis di malam sepi tanpa sepasang tangan yang akan sukarela merangkul atau bibir yang mengucapkan kalimat sejuk yang menenangkan hati ini.

Mustahil malam ini Mas Albi akan datang, dia pasti lebih memilih berbahagia dengan istri barunya alih alih pulang denganku.

"Ah, mengapa aku ditakdirkan jadi pecundang, mengapa ...!"

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status