Malam ini langit tidak menunjukkan bintang-bintangnya, aku kesepian, putriku tidur memeluk kedua putriku dan memperhatikan wajah mereka yang nampak begitu pulas dan damai. Sejujurnya aku sangat gelisah karena di seberang sana Mas Albi sedang bersama Filza, mereka pasti sedang menghabiskan waktu berdua dengan penuh romantisme dan kemesraan tanpa gangguan atau jeda dari siapapun.
Sekarang dan semakin hari aku semakin merasa merana, meski mas Albi tinggal 4 hari lebih banyak berada di rumah tapi aku tetap merasa hampa dan kesepian, entah karena hatiku sudah kecewa atau Mas albinya yang kusadari sudah berpindah ke lain hati.Dia berbeda, cara hidup bahkan pola makannya juga berubah. Biasanya dia tidak akan keberatan dengan menu lezat seperti apapun yang aku sajikan, tapi sekarang, dia sangat pemilih hanya makan sayur yang dikukus sebentar, dagingnya tidak dibumbui dengan santan atau minyak, serta masih banyak lagi hal dan aturan yang membuatku muak.Sungguh, Filza sudah merubah suamiku yang dulu apa adanya menjadi laki laki yang punya banyak kriteria. Bahkan cara aku menyetrika pakaiannya. Tidak boleh lagi ada garis panjang di bagian depan celana, semuanya harus disetrika licin dan gantung dengan gantungan sutra. Hah, aku benar benar melihat Mas Albi sebagai sosok lain, bukan Albi yang kukenal.Lantas kenapa aku bertahan, apakah alasan klasik nan klise yang jadi penahan. Iya. Aku mencintainya, masih sedikit cinta. Cinta-cinta benci, masih berharap dan numpang hidup, begitu pun anakku yang sangat bergantung pada Abinya, cinta pertama dalam hidup mereka. Ah, andai anakku tahu bahwa ayah mereka sudah menduakan cinta ibunya. Andai mereka paham rasanya, akankah Fatimah dan Fatin membelaku. Entahlah."Ummi, besok guru meminta uang kumpulan untuk perlombaan dan kemah," ucap Fatimah yang duduk di kelas empat SD. Dia mengikuti kegiatan Pramuka sebagai ekstra kulikuler di sekolah, aku mendukungnya karena hal itu akan membangun mentalnya menjadi lebih disiplin dan pemberani juga membuatnya lebih bertanggung jawab pada diri sendiri."Baiklah, berapa?""200.000."" Akulah,ummi akan menelpon Abi dan memberi tahunya.""Terima kasih Ummi.""Sama sama."Akhir bulan ini sisa uang belanjaku tinggal menipis maka aku putuskan untuk menelpon Mas Albi yang kini berada di rumah istri mudanya."Halo assalamualaikum, Bi," ucapku ketika ponselku diangkat."Ya, Ada apa ya? Abang lagi di kamar mandi," jawab wanita dari seberang sana. Dia memanggil Abi dengan sebutan Abang sayang.Cuah!"Aku ingin bicara," jawabku."Ukhty, Abang sedang ada di rumah saya, tidak bisakah ukhty untuk lebih bersabar dan menunggu beliau pulang ke rumahmu?""Bukan masalah itu Filza, aku ada hal darurat.""Kalau begitu katakan saja pada saya, saya akan menyampaikannya, sehingga panggilan telepon ini akan berakhir dengan cepat karena kami harus memanfaatkan waktu dengan sempurna."Sial sekali, ucapannya sangat membakar hatiku, menghabiskan waktu. Hmm, sumpah, aku kesal sekali."Fatimah membutuhkan uang untuk perkemahan Sabtu Minggu, tolong sampaikan pada Mas Albi bahwa itu urgent dan tak bisa ditunda.""Sepertinya abang sedang tidak punya uang, tapi Kalau ukhti tidak keberatan maka ukhti bisa gunakan uangku dulu," ujarnya. Aku tahu dia sedang berusaha bersikap baik agar Mas Albi mengagumi kebaikan dan semakin mencintainya, rencana yang sempurna.Aku berdiri dalam dilema sekarang, jika aku tidak menerimanya ... tapi ku akan butuh sekali, tapi jika, arrrrgggg.... wanita itu dia belum tentu memberitahu Mas Aldi tentang teleponku sekarang, jadi, aku harus bagaimana? Aku benar benar kacau dengan pikiran yang juga kacau."Kalau begitu aku akan menelponnya nanti setelah dia selesai dari kamar mandi.""Sepertinya suamiku lupa membawa charger ponselnya sehingga ponsel ini sudah lowbat, Mungkin beberapa menit lagi akan mati total jadi katakan saja apa ukhti mau menerima uangku atau tidak?"Keterlaluan sekali, aku ingin menjambak wanita ini."Ya, baiklah, terserah kau saja.""Aku berharap ukhti lain kali jangan terlalu boros agar kebutuhan ukhti dan anak-anak selalu terpenuhi. Kita tidak bisa selalu mengandalkan Mas Albi karena beliau punya banyak tanggung jawab dan beban di pundaknya."Oke, sekarang dia mulai menceramahi dan mengajariku padahal umurnya jauh lebih mudah dariku. Masya Allah. Aku benar benar gemas.Seperti kuduga di dalam hatiku, sampai jam dua belas siang esok harinya belum ada kabar dari Mas Albi terkait uang Pramuka anak kami. Aku geram dan terpaksa meminjam dulu pada Mbak Dima, salah seorang kerabat yang kebetulan tinggal sekomplek denganku.Sebenarnya dalam hatiku, ingin sekali kutelpon Mas Albi, tapi sesuai peraturan yang dibuatnya salah seorang istri tak boleh mengusik saat sang suami berada di rumah madu kecuali hal mendesak. Aku khawatir, saat menelpon nanti justru Filza lagi yang mengangkatnya."Assalamualaikum Mbak Dima." Kuucapkan salam di depan pintu rumah Mbak Dima."Iya Dik Aini silakan masuk," jawab Mbak Dima membukakan pintu dengan lebar."Mbak, aku gak usah lama lama, aku ke sini mau pinjam uang dua ratus ribu, insya Allah akhir bulan ini Mas Albi akan memberiku uang jadi aku akan membayarnya berikut aku akan melebihkannya.""Tidak usah seperti itu Dik. Sebenarnya aku juga mau bantu, tapi aku juga sedang tak pegang uang. Kamu tahu kan, kalau sudah di atas tangg
Setelah kejadian semalam aku sudah tidak mau banyak bicara dan sedikit menjaga jarak kepada Mas Albi. Ingin kutunjukkan protes dan memperlihatkan padanya betapa aku kecewa tentang hal ini. Iya, keluarga kami memang mapan dan dia memberiku uang belanja tapi ada saatnya ketika aku kehabisan uang di dompet dan tidak punya stok lagi, sementara deposito anak-anak yang kusimpan untuk biaya tabungan pendidikan mereka, tentu tidak bisa diganggu.Meski Mas Aldi tetap sudah minta maaf dan tetap berusaha membela istri barunya tetap saja itu membuatku tanpa jengkel"Maafkan aku Dan tolong maklumi filsafat mungkin kesibukannya mengurusiku dan Gibran membuat dia lupa segalanya tolong maafkan dia.""Aku juga sibuk mas tapi aku tidak pernah melewatkan apapun terlebih jika itu menyangkut amanah seseorang, seperti yang terjadi pada Fatimah kau sudah mengecewakan anak kita dan event yang sudah lama dia tunggu terpaksa harus dilewatkan." aku menahan jengkel ketika mengatakan itu."Sekarang Fatimah di ma
Mobil di parkirkan tak jauh dari lokasi acara kami turun dari sana dan langsung berjalan beriringan. Mas Aldi berjalan menggandeng kedua anaknya sementara kedua istrinya berada di belakangnya, yakni aku dan Filsa."Mbak Aini, gak nyangka kita kembaran," ujarnya dengan ramah yang terkesan memaksa."Uh hmm, iya," jawabku dengan senyum yang tak kalah terpaksa. Aku geram dalam hati. Model, Payet, warna, semuanya sama, seakan kami anak kembar. Dasar Mas Albi tak punya akal."Tapi, aku kurang suka modelnya, andai masa lebih membiarkan aku sendiri yang memilihkan model tentu tidak akan seperti ini," sambungku."Uh-hmmm, sama." Wanita itu bergumam sambil tersenyum maklum."Lain kali, katakan pada suamimu itu membagi Uang belanja dan biarkan kita sendiri yang membeli pakaian," ucapku sambil mencarikan diri. Rasanya tak tahan lagi berjalan beriringan seakan aku ban serep yang tak dibutuhkan.Melihatku menjauhkan diri, sontak saja Filza tersenyum tipis, lalu dengan santainya dia menarik Fatimah
Mendengar jawabanku yang seakan menghinakannya wanita itu hanya menggigit bibir sambil mendesis ke arahku. Kelihatannya dia ingin melawan tapi karena takut Mas Albi akan menyalahkannya maka dia tetap diam saja."Ummi, tungggu! Bukan cara dan prinsip hidup ummi, pergi dari pesta dengan cara seperti ini." Ternyata Mas Albi mengikuti diriku dan menarik tangann ini tepat di luar gedung acara."Sudah cukup kebungkaman ini membuat istri mudamu semakin melunjak. Maaf dari hati yang terdalam, ternyata imanku tak setebal itu, Bi.""Astagfirullah, Jangan bicara dalam keadaan di kuasai amarah. Istighfar dan tenangkan hatimu, kembalilah bersamaku ke dalam."Dengar, jika aku kembali maka aku berkesempatan mengejek wanita itu--bahwa Mas Albi tetap menjemputku semarah apapun diri ini-- tapi aku malas membuktikan diri. Kupilih opsi kedua di mana aku tak perlu memupuk sakit hati. Lebih baik pulang dan makan di rumah lalu tidur daripada aku bertahan sementara perasaan ini sakit dan jiwa ini lelah."Ent
Suamiku pulang sebelum pukul tujuh, seperti biasa dia mengucapkan salam, langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. aku yang duduk di depan kaca rias hanya memperhatikan bagaimana dia melemparkan pakaian-pakaiannya ke lantai. kupungut pakaian itu lalu memasukkannya ke dalam keranjang sambil menghela nafas. Seperti biasa, baju kotor akan terlempar padaku dan dalam keadaan tampan dan menggunakan pakaian bersih mas Albi selalu menemui filsa dan berbahagia dengannya.*"Ada apa denganmu sejak tadi sikapmu dingin dan diam saja bahkan kau nyaris tidak menjawab salamku ketika aku masuk ke dalam kamar," tanyanya ketika keluar dari pintu kamar mandi."Tidak ada.""Mengapa kau membisu, Apakah kecemburuan itu sangat besar di hatimu hingga kau lupa untuk menghargai suamimu? Tahukah kamu bahwa dalam hidupku kau tetap istri pertama dan yang utama di hati ini," bujuknya pelan sambil mengusap rambutku "Jangan berdusta!" Aku langsung berdiri mensejajarkan wajahku dengannya."Jika kau lebih
"Aku akan ke tempat Filza sore nanti, apa kau ingin menitipkan sesuatu sepulangnya?"Wow, dia menawariku sesuatu, tumben dia melakukannya."Tidak ada Mas, terima kasih."Bukannya aku sok Sholehah, tapi aku memang sedang tidak membutuhkan apa apa."Yakin, kau tidak mau dibelikan martabak susu keju?""Tidak, Mas," jawabku dengan senyum getir."Baiklah, aku berangkat dulu." Dia mendekatiku lalu mengecup kening ini dengan penuh kasih sayang."Aku harap kau tak akan memupuk kecemburuan lagi. Memang saat wanita cemburu seorang pria harusnya mengalah, karena mereka akan mendebat perasaan dan hati. Aku minta maaf atas kesalahanku yang sudah menuntutmu barusan."Sepertinya luka di hatiku seakan diringankan dengan permintaan maaf darinya. Meski hanya ucapan kecil, aku merasa beban dipundakku berkurang.Kuiringi kepergian Mas Albi berangkat kerja dengan doa dan harapan semoga Tuhan akan menjaganya di mana pun dia berada.*"Ummi, boleh kita ke taman hiburan malam Minggu dengqn Abi?" tanya Fatim
Sekarang dia minta aku tidak menempatkan akal dan pikiranku setara dengan ak dan pikiran anak anak. Subhanallah, kalimat yang benar-benar menyinggung perasaanku. Hampir, hampir 10 tahun Kami bersama, tapi belum pernah dia menyakitiku selain ketika dia telah bersama dengan filza. Aku terkejut dan tidak menyangka hatiku tertusuk dan durinya enggan tercabut dari sana. Jika ditanya tentang air mata aku sudah tidak bisa menangis lagi karena aku sudah lebih banyak meneteskan air mata bahkan sebelum dia resmi menikahi istri barunya."Ummi, izinkan saya menikah, saya ingin meringankan bebanmu dalam mengurusku juga kau akan punya adik madu dalam mengurusi mertuamu yang mulai sakit-sakitan."Seperti reaksi wanita pada umumnya tentu saja saat itu aku menolak, mentah-mentah aku menolak permintaan konyol itu karena aku merasa masih bisa mengurus Mas Albi dengan baik, juga ibunya yang sakit stroke dan ayahnya yang sudah pensiun. Aku tidak mau membagi perasaanku dan juga cintaku yang tulus, Aku ti
Sekarang beginilah aku, terjebak dalam poligami yang kian hari kian menggerus keyakinanku akan janji janji yang diucapkan Mas Albi. Mungkin baginya, dia sudah berusaha adil dengan maksimal, tapi di mataku ... tidak ada yang maksimal, semuanya minimal dan keterpaksaan. Dia lebih bahagia dengan filza sementara kepulangannya ke rumah kami hanya formalitas yang tak bisa dia hindari.Anggaplah kedua putriku yang menahan bahtera ini agar tetap berlayar dan tidak oleng diterpa gelombang, tapi, di sisi lain, bidukku rapuh. Kesedihan dan kecemburuan ini, serta mungkin rasa dengki akan kemesraan mereka perlahan melubangi hati. Aku kehilangan kepercayaanku pada Mas Albi. Aku sangat kecewa padanya.*Minggu pagi dia kembali ke rumah, kembali setelah kemarin mengabaikan permintaan anak anak ke taman hiburan. Dia masuk rumah, mengucapkan salam dan menyapa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Anak anak hanya menatapnya dengan tatapan kecewa, sementara ia terus menyunggingkan senyum, seolah senyum i