Share

Dilamar Tuan Duda
Dilamar Tuan Duda
Penulis: Zidney Aghnia

Part 1

"Maya, apa jadwal saya selanjutnya?" tanya Rain.

"Jam sebelas siang meeting dengan pemilik lahan Raharja dan notaris, di Star Break Coffee, mungkin anda makan siang disana kalau meeting-nya berlangsung lama."

"Tolong siapkan berkas-berkas yang akan dibawa," tukas Rain.

"Baik, semuanya sudah disiapkan, Pak Hendra sepuluh menit lagi sampai." Sambil menengok jam tangannya dengan strap yang terbuat dari kulit, memberikan kesan elegan dan stylish, terutama dipakai oleh Maya yang cenderung berkulit putih.

"Oke maya, kamu tunggu di mobil, saya mau ke toilet dulu."

"Baik, Pak."

[Di Star Break Coffee.]

"Baik kalau begitu, semua surat-suratnya sudah ditanda-tangani, dananya sedang di urus oleh asisten saya ya, Pak Raharja."

"Iya terima kasih, Pak Rain, lain waktu mampir ke rumah saya, Pak."

"Pasti, Pak, sampai bertemu lagi."

Pak Raharja bangun dari tempat duduknya dan berlalu pergi.

"Maya, jam makan siang sudah lewat, sebaiknya kamu makan dulu sebelum kembali ke kantor."

"Iya, Rain, kamu juga makan, 'kan?" tanya Maya. Rain dan Maya akan memanggil santai jika tidak sedang di kantor dan tidak ada urusan pekerjaan.

"Saya cuma mau makan snack," ujar bos itu, sembari memainkan gawainya.

"Toast or french fries?" tanya sekertaris yang di sebrangnya.

"Toast and macchiato, please."

"Ok, wait."

Setelah makan camilan mereka kembali ke kantor untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan. Rain ingin segera pulang, entah kenapa hari itu ia sangat merindukan dan ingin bertemu keluarga kecilnya.

🌵🌵🌵

"Yee, Paapaa pulaang, mama mana, Pa?" tanya Cyra putri pertamanya dengan Hanna.

"Mama? Papa gak bareng Mama, Sayang."

"Bii ...? Bi Ina ...?"

"Iya, Pak, sudah pulang toh, Pak? Maaf saya baru selesai di dapur. Ibu mana, Pak?" tanya asisten rumah tangga yang sudah dipercayanya.

"Loh, kok nanya saya, Bi, saya kan baru pulang kerja," tanya Rain bingung.

Ia coba menerka-nerka kemana kiranya Hanna pergi, tanpa memberi kabar pesan ataupun telepon. Karena kemana pun ia pergi pasti selalu meninggalkan pesan. Ku kira ia baik-baik saja di rumah seperti biasanya.

"Tadi, ibu pamit mau ke ketemuan sama Bapak, seperti biasa mau antar makan siang untuk Pak Rain."

"Gak ada, Bi! Saya nggak ketemu Hanna hari ini, lagi juga saya udah kasih tau ke Hanna untuk nggak menyiapkan dan mengantar makan siang ke kantor, karena saya mau meeting diluar.

"Lah terus ibu kemana, Pak, sampe sekarang belum pulang?" tanya Bi Ina yang bergantian kebingungan.

Rain terlihat berpikir sambil membolak-balikkan bola matanya dan jemarinya berpaut di antara dahinya.

"Cyra sayang udah makan?" Rain mengalihkan perhatiannya sebentar.

"Udah, Pa, Cyra ngantuk, Cyra mau bobo sama mama." Cyra merajuk sambil memeluk kaki sebelah kanan Rain.

"Cyra, Cyra bobo dulu sama Bi Ina, ya? Papa mau cari Mama dulu ke rumah Oma."

"Iya, Pa." Cyra berjalan ke kamar dituntun Bi Ina sambil mengerucutkan bibirnya dan berjalan dengan malas.

Malam itu hujan turun sangat deras, diiringi dentuman petir yang menggelegar. Rain mondar-mandir di ruang kerjanya sambil sesekali memandangi jam di dinding. Ia tak melepas ponselnya barang sebentar saja. Sudah jam delapan malam Hanna belum juga pulang, hujan sudah reda, hanya tinggal rintik-rintik dan dentuman kecil.

Ting

[Pa, Mama ke rumah Ibu dulu, Papa gak usah nyusul, besok Mama pulang].

Tiba-tiba ada pesan masuk dari nomor Hanna. Ketenangan mulai merasuki Rain, ketika mendapatkan sebuah pesan dari seseorang yang ditunggunya sejak tadi.

[Oke, Sayang, besok pulang ya, Cyra kangen kamu, love Hanna].

Balas Rain di akhir kalimat pesannya. Akhirnya ia bisa tertidur lelap, pikirnya.

Rain berjalan pelan mengintip ke kamar berwarna pink di samping kamarnya, Cyra sudah tertidur. Bi Ina masih duduk di sampingnya, bersenandung lagu nina bobo, menunggu sampai Cyra benar-benar terlelap dalam mimpinya. 

🌵🌵🌵

Esok paginya, setelah sarapan bersama Cyra, dan sebelum pergi ke kantor. Rain sempatkan membuka ponselnya mencari kontak Elly, mertuanya untuk menanyakan kabar Hanna.

"Halo, Bu, bisa Rain bicara dengan Hanna, Rain telepon ke hp-nya gak aktif, Bu."

"Hanna? Hanna gak ada disini Rain?" jawab Elly. Ia bingung pagi-pagi menantunya sudah menelepon untuk mencari Hanna yang tidak ada disana.

"Yang bener, Bu? Dari kemarin Hanna gak ada di rumah ... Hanna bilang kemarin ada di rumah ibu dan mau pulang hari ini."

"Benar, Rain, Hanna belum nelepon ibu lagi sejak dua hari yang lalu."

'Ya ampun ada apa ini?' batin Rain dengan perasaan cemas, gelisah, dan tak karuan.

"Ya udah, Rain cari Hanna dulu, Bu."

"Iya kabarin ibu secepetnya ya, ibu bantu tanyakan ke saudara-saudara dekat," sahut ibu mertua di ujung sambungan telepon.

"Ya, Bu," jawab Rain seraya memutus sambungan teleponnya.

"Pak, Maya sama Hendra udah nunggu di depan," sela Bi Ina.

"Ya, Bi," katanya dengan perasaan cemas, dan akar pikirannya bercabang kemana-mana.

"Bi tolong jaga Cyra baik-baik ya, hubungi saya secepatnya kalau ada kabar apapun tentang Hanna," pinta Rain dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

"Baik, Pak, hati-hati di jalan."

Rain melangkah masuk ke mobilnya sambil memegang ponsel yang sejak tadi belum dilepasnya. Ia coba menghubungi semua keluarga, saudara, dan teman-teman Hanna. Tapi masih belum menemukan hasil.

"Ada apa, Pak?" tanya Maya.

"Hanna hilang," sahutnya dengan irama datar dan ekspresi sedih.

"Astaga, sejak kapan, Pak?

"Kemarin siang kata Bi Ina."

"Udah hubungi keluarganya Bu Hanna, Pak?" tanya Hendra.

"Udah, tapi nggak ada satu pun yang tahu."

"Duuuh, Hana kamu kemana, please pulanglah, semoga kamu baik-baik aja dimana pun," Rintih Rain dengan suara parau dan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Semoga Ibu Hanna cepat pulang ya, Pak," ujar Hendra.

Rain tidak menjawab karena sibuk memegang ponselnya.

Sampai di kantor, Rain berjalan dengan sangat cepat untuk masuk ke ruangannya tanpa menoleh ke sekitar, dan tak menyapa karyawan lain seperti biasanya.

Ia menjatuhkan diri di kursi kebangsaannya, bersandar sembari menengadahkan kepalanya dengan mata terpejam. Berpikir kemana lagi Hanna akan pergi kiranya.

Belum ada lima menit Rain merebahkan dirinya di kursi. "Pak, coba liat di tv ada berita," sahut Maya sembari meraih remote tv dan menyalakan tombol power-nya. Ia memindahkan saluran tv ke berita terkini.

"Telah ditemukan seorang wanita di lokasi proyek Willy Group, wanita itu berusia sekitar 28 tahun, dan dipastikan jenazah adalah Hanna, menantu dari Willy Group, jenazah diperkirakan—"

Rain spontan berlari ke lokasi di berita tadi, yang kini menjadi lokasi proyek Hotel yang sedang digarapnya. Mobil sedan berwarna putih dengan lambang empat cincin saling bertautan itu dipacu dengan kecepatan 80-100 km/jam.

Rain membunyikan klakson bagi siapapun yang menghalangi jalannya. Lampu merah pun diterobosnya. Matanya mulai memerah dan membendung air mata. Dadanya terasa sesak, napasnya tersengal, ia menangis terisak sambil memacu kencang mobilnya.

Sesampainya di lokasi, ia bergegas keluar dari mobil, dan berlari menghampiri jenazah yang tadi diberitakan di tv untuk memastikan kebenarannya.

"Hannaa!" teriaknya, Rain menghampiri tubuh istrinya, sontak menyusupkan tangan kirinya di bawah punggung Hanna, ia menahan tubuh istrinya yang sudah dipastikan tak bernyawa itu, tangan kanannya mengelus wajah Hanna yang sudah membiru kedinginan dan dipenuhi darah, ia meratapi wajah wanita yang sangat ia cintai.

"Hanna ...."

"Hanna, Sayang ... bangun!" Suaranya merintih.

"Hannaaaa ... jangan tinggalin aku ... Hanna please!" rintihnya sambil memeluk tubuh Hanna yang dingin.

"Hannaaaa ...!" Ia menangis sesenggukkan sambil memeluk, kemudian menciumi wajah istrinya yang pucat pasi.

"Hanna pasti kedinginan, Hanna sejak kemarin disini, semalaman hujan, dan Hanna sendirian disini. Maafin aku Hanna, maafin ...."

"Siapa orang bodoh yang berani menyakiti Hanna, akan berurusan langsung denganku," geramnya.

🌷 Bersambung 🌷

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status