Share

Part 5

"Ya, kakakku bekerja di Kejaksaan Pusat," sahut Sea.

"Antar kami kesana!" tegas Rain.

Sea berlenggang ke mobil yang di parkir di depan rumah peristirahatan Rain sambil meracau, "Huh, dia yang minta tolong dia yang judes!"

Mereka bertiga meluncur ke kantor Kejaksaan Pusat tempat kakak lelaki Sea bekerja. Hari sudah sore, matahari sudah turun ke barat. Jalanan sore itu sedikit padat, dikarenakan jamnya orang-orang yang baru pulang setelah seharian bekerja.

Suara klakson kendaraan bermotor terdengar saling bersahutan di sana-sini, ditambah arus lalu lintas yang tidak teratur, membuat wajah Rain memerah, karena meredam kesal.

Mobil sudah diparkir di halaman Kejaksaan. Rain keluar dengan tergesa-gesa.

"Kamu jalan duluan, tunjukkan jalannya!" tegas Rain yang wajahnya terlihat emosi bercampur kesedihan itu berbicara pada Sea.

Sea mengetuk pintu ruang kerja Angkasa, seraya membukanya, dan duduk di sofa tanpa diperintah Angkasa.

"Selamat sore, saya Angkasa, silahkan duduk.

"Terima kasih." Rain dan Andy memperkenalkan diri masing-masing.

"Sea, ini buruh bangunan yang kamu maksud?" tanya Angkasa pada adiknya yang sedang bermain hp.

Sea mengangkat kedua alisnya, membenarkan pertanyaan Angkasa dengan sungkan.

Angkasa terkekeh, disusul Andy yang terbahak. Lain dengan Rain yang bingung dengan apa yang mereka obrolkan.

"Baiklah, kita lanjutkan. Saya sudah dengar sekilas dari Sea mengenai apa yang terjadi denganmu," ujar pria yang mempunyai badan tinggi kurus, dengan rambut dibelah pinggir.

"Bisa anda bantu saya, Pak Jaksa?" tanya Rain dengan lesu.

"Saya harus menyelidikinya dulu ke lokasi TKP."

"Saya mau secepatnya kasus ini diungkap, karena saya yakin sekali istri saya dibunuh."

"Apa istri anda punya masalah atau musuh sebelumnya?"

"Saya yakin tidak, Hanna orang yang sangat baik, dia berasal dari keluarga sederhana dan tidak banyak bergaul." Rain mencoba menjelaskan.

"Atau-anda yang mempunyai musuh?"

"Sepertinya ... tidak?" jawab Rain ragu-ragu dengan tatapan kosong.

"Coba pikirkan baik-baik!" Angkasa mencoba meyakinkan Rain, sementara Rain membisu dan terpaku memikirkannya.

Bagaimanapun dipikirkan, dia tidak mempunyai masalah dengan orang lain.

"Saya akan survey lokasi dulu," imbuh Angkasa sembari berdiri dan mengambil jas hitam yang menggantung di sudut ruangannya.

Andy menegur Rain yang masih melamunkan pertanyaan Angkasa tadi, karena pertanyaan itu cukup mengganggu baginya.

"Anda tidak akan ikut?" Pertanyaan Angkasa membuyarkan lamunan Rain. 

Rain hanya diam mengekori Angkasa dan Sea. Andy mencoba merangkul dan menghibur Rain.

"Kau ikut mobil Angkasa!" pekik Rain pada Sea yang sedang membuka pintu mobil belakangnya.

Sea menutup pintu mobilnya dengan keras. "Numpang mobil temen aja shombong." Gumam Sea.

Rain yang mendengarnya, hanya melirik sinis dan tak ambil pusing.

Sebelum memasuki gedung yang dibatasi police line, Angkasa memakai perlengkapan sterilisasi, untuk memeriksa tiap sudut lokasi proyek. Dia menyelidiki dengan teliti dan tanpa ada yang terlewat.

Lalu ia mengeluarkan cotton bud, mengusap sesuatu yang menempel di ujung kawat bendrat yang masih terangkai di bangunan, yang sedang dalam proses pengecoran.

Lalu Angkasa, menjalankan simulasi sendiri dari tempat sebelum terjatuhnya Hanna sampai ke luar lokasi proyek.

"Pelakunya berlari tergesa-gesa. Bisa jadi dia tersandung sesuatu dan tanpa sadar bagian tubuhnya tergores kawat ini." Angkasa menerangkan sambil menunjuk kawat yang dimaksud.

"Jadi pelakunya pasti punya luka gores di tangan atau tubuh lain bagian atasnya?" tanya Rain.

Angkasa mengangguk membenarkan pendapat Rain.

"Aku akan cek ulang CCTV sekitar, dan mencoba memulihkan CCTV disini. Ada berapa total CCTV di gedung ini?"

"Ada 5 termasuk jalan masuk dan keluar," sahut Rain.

"Semuanya dirusak pelaku?"

"Ya," pungkas Rain.

"Oke, jadi menurut analisaku, pelaku ini adalah orang dalam yang tahu betul setiap sudut gedung ini, dan pastinya sangat dekat denganmu." Angkasa menjelaskannya pada Rain.

Rain terlihat gelisah, sambil berdiri menyilangkan tangan, dan sesekali menggaruk dahinya yang tidak gatal.

Hari sudah semakin gelap. "Kita lanjutkan besok Rain," ujar Andy.

Disetujui oleh Angkasa, "Yah benar, aku akan melakukan penyelidikan ulang bersama tim. Anda sebaiknya menenangkan diri dulu. Jangan terlalu memperlihatkan kegelisahan anda pada orang-orang terdekat."

"Kau benar, mulai sekarang aku tidak akan mempercayai siapapu," katanya dengan yakin.

"Kau harus tegar Rain, aku di sampingmu."

"Dari tadi juga begitu Ndy, ck!" jawab Rain asal.

Andy terkekeh, "Maksudku bukan itu Rain, sudahlah, sepertinya kau sudah tidak sedih lagi," sahut andy sambil melingkarkan tangannya di leher Rain.

"Menyingkir!" tegas Rain yang diikuti Andy melepas tangannya.

šŸŒµšŸŒµšŸŒµ

Rain mengambil cuti kerja selama beberapa hari, untuk menemani Cyra. Rain menatapi putri kecilnya yang belum tau bahwa ia kehilangan sosok mama untuk selamanya.

"Papa, where is mama?" tanya Cyra yang sedari tadi mencari sosok Hanna.

"Hmm, mama was going so far, Cyra. Cyra main sama papa dulu ya."

Cyra mengangguk dengan wajah merengut, karena merindukan Hanna.

Telepon genggam Rain berdering.

"Ya, Maya?"

"Pak, bagaimana dengan meeting hari ini?"

"Tolong pending selama beberapa hari. Saya sedang kurang sehat."

"Baik, Pak"

"Oh ya Maya, (lanjut Rain sebelum Maya memutuskan sambungan teleponnya), tolong kirim file pekerjaan hari ini ke email, saya akan mengerjakannya dari rumah"

"Tapi, Pak, ada banyak hard copy file yang harus ditandatangani hari ini juga."

"Kalau begitu kamu bawa ke rumah saya, setelah itu kamu bisa kembali ke kantor."

"Baik, Pak, saya sedang menyiapkannya."

Call is ended.

"Hun, tolong ambilin minum dong, aku haus."

Suasana rumah hening, tanpa ada jawaban, hanya ada suara Cyra yang bermain dengan masak-masakannya. Rain terlupakan bahwa ia sudah kehilangan sosok yang ia panggil dengan nama kesayangan teersebut. Cyra menghampiri Rain memberikan sebuah gelas dari mainannya kepada Rain.

"This is yours, Papa," kata Cyra dengan senyum riangnya. Rain langsung teringat bahwa mendiang istrinya sudah tiada.

"Thank you sweety," jawab Rain sambil menatap wajah Cyra yang sangat mirip dengan mamanya. Rain menatapnya lekat, ia sangat merindukan wajah yang serupa Cyra, matanya, bibirnya, senyumnya, semuanya dominan Hanna.

Suara mobil memecahkan lamunan Rain, "Selamat siang."

"Tante Maya ...!" seru Cyra berlari mendekati mobil yang dikenalnya.

"Halo, Sayang, apa kabar?" sapanya.

Rain berlalu meninggalkan Maya, masuk ke ruang kerjanya. Disusul oleh Maya yang membawa banyak map penting.

"Halo Cyra, Cyra main sama om dulu ya," sapa Hendra.

"Gak mau!" Ketus Cyra sambil berlari ke kamarnya.

"Ini file-nya, Pak." 

Rain memeriksa file yang sebagian sudah ia pelajari. Dan membubuhkan tanda tangannya.

"Sebagian, sudah saya tanda tangani. Sisanya ditinggal saja, saya harus mempelajarinya dulu."

"Baik. Oh ya, Pak, Sentra Panorama ingin meeting diadakan secepatnya," tutur Maya.

"Saya akan mulai bekerja tiga hari ke depan, kau atur waktunya mulai hari itu." 

"Baik, Pak."

Maya berjalan ke luar, terlihat pintu kamar Cyra terbuka. Maya melongo ke kamarnya, melihat Cyra sedang duduk dengan Ruby (boneka rabbit) di pelukannya.

Rain yang sedang fokus di ruang kerjanya, mendengar suara gelak tawa Cyra, lantas mendekati kamarnya. Mendapati Cyra sedang bermain dengan sekertarisnya, yang ia kira sudah kembali ke kantor.

"Kau belum pergi?" tanya Rain.

Maya yang kaget mendengar suaranya segera berdiri, "Maaf, Pak, saya tadi liat Cyra lagi sedih, jadi saya mengajaknya bermain."

"Boleh saya menemami Cyra hari ini, Pak, Cyra sedang kesepian," tanya maya yang meminta izin Rain.

šŸŒ·BersambungšŸŒ·

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status