"Hah? Obat diare?" kini giliran Al yang mengernyit bingung. Namun, Atha menggeleng.
"Resep diare?" tanya Abi.
Atha masih menggeleng. "Bukan, woy! Ini diare, dear diare."
"ITU DIARY, BUJANG!" Abi dan Al sama-sama berteriak dengan napas mengan yang menggebu kesal.
"Atha ganteng-ganteng bego," cibir Al.
Atha cekikikan. Namun, tak lama kemudian, kembali memeriksa buku itu. "Ini gak boleh dibuka, privasi orang."
"Kalo gak dibuka, gimana caranya kita tau siapa pemiliknya?" sahut Abi. "Buka aja, halaman pertama doang, kek, biar tau namanya."
"Gak boleh! Privasi!" Atha bersikeras, menyembunyikan buku di balik punggungnya.
"Cuma liat alamat, anjir!" Abi tak mau kalah.
"Ini privasi, Bujang!"
"Ath—"
"Oy, oy, ribut aja terus." suara seorang gadis berhasil menghentikan perang kecil mereka.
Ketiga lelaki itu menoleh dan mendapati Mia sedang bersandar ke tembok dengan sekaleng minuman di tangannya. Mia hanya meringis tanpa dosa. Namun, matanya menyipit melihat benda di tangan Atha. "Buku apaan, tuh? Kayaknya gue kenal."
"Ini, tadi ada yang nabrak kami. Terus, gak sengaja jatuhin bukunya," jelas Al. "Lo tau, gak, ini buku punya siapa?"
"Mana, coba gue liat." Mia merampas buku bersampul hitam itu dari tangan Atha dan membuka halaman demi halaman—membuat Athalas melotot. Setelahnya, Mia menutup buku. "Sip, punya temen gue, nanti gue balikin," ujarnya seraya hendak melangkah ke kantin.
Namun, tangan Aldiaz merebut kembali buku itu. Aldiaz tersenyum manis. "Biar gue aja yang kembaliin. Alamatnya?"
Mata Mia menyipit. "Temen gue itu nolep, gak cantik juga. Bukan selera kalian, deh, pokoknya."
"Gue cuma nanya alamatnya, tuh." sahut Al. Ia dan Mia bertatapan cukup lama, kemudian, Mia menghela napas.
***
Shirin duduk sendirian di tempat duduknya. Segelintir murid yang ada di kelasnya sibuk berbincang-bincang. Bosan membaca, ia menutup bukunya dan memerhatikan sekitar. Mia sepertinya belum juga selesai dengan urusan jurnalnya.
"Lo gak bisa bergantung sama gue terus, Shirina Haruki."
Kata-kata Mia tiba-tiba terlintas di kepalanya. Shirin menggigit bibir dan melirik dua kelompok siswa di dalam kelasnya bergantian. Kemudian, ia memantapkan hati dan bergabung dengan salah satu sekelompok siswi yang sedang mengobrol.
"H-hai!" sapanya dengan senyum kaku. Namun, bukannya balas menyapa, para gadis yang disapanya malah melirik sinis lalu berbisik-bisik. Shirin hanya memalingkan wajah canggung.
"Bubar, yuk!" salah satu gadis bersuara dan meninggalkan meja yang tadinya dipakai untuk berbincang. Yang lainnya juga ikut berhamburan ke tempat duduk masing-masing dan meninggalkan Shirin yang masih berdiri sendirian.
Shirin mengusap lengannya pelan, kemudian kembali ke tempat duduknya. Tanpa menyadari, Mia yang melihatnya diam-diam di ambang pintu kelas.
Mia menunggu beberapa detik, sebelum akhirnya menghampiri Shirin. "Rin! Udah makan?" Ia berbasa-basi dengan ceria seperti biasa.
Shirin tersenyum padanya seraya mengangguk.
"Rin, tau gak?" Mia mulai berekspresi serius. Siapa pun tahu, detik berikutnya ia akan mulai bercerita. Namun, Shirin sama sekali tidak penasaran akan hal itu. "Gue diajak jalan sama Kak Atha sama Kak Abi juga!" pekik Mia.
Shirin yang tadinya berekspresi malas pun ikut berbinar. "Oh, serius?" padahal, bukan dia yang diajak jalan.
"Iya!" Mia mengangguk semangat, ia menyikut lengan Shirin pelan. "Tapi, lo ikut, ya? Plis ...."
Shirin mengerutkan kening. "Loh, emangnya … kenapa gue harus ikut?"
"Ya, masak gue jalan sama dua cowok sekaligus? Dikira gue fuckgirl kali." gadis itu mengembuskan napas berat dan kembali memohon. "Makannya, lo ikut, ya? Lo juga bisa jalan sama Kak Abi. Jadi, kesannya kayak kencan ganda gitu, heheh. Pasti asyik, kok."
"Tapi 'kan, lo tau, gue itu—"
"Tenang, nanti gue yang jemput lo di rumah."
Shirin berpikir sejenak. Melihat Mia yang memasang tampang menyedihkan, membuatnya akhirnya mengangguk. "Oke, kapan, nih?"
"Yes!" Mia sumringah. "Minggu sore!"
***
Sampai di rumah, Shirin segera mengganti pakaian dan makan. Setelahnya, ia akan melakukan ritualnya seperti biasa, yaitu menulis di buku harian. Meskipun harinya belum berakhir, gadis itu lebih suka menulisnya setelah sekolah usai, karena dunianya memang hanya tentang sekolah.
Namun, setelah membongkar isi tas sekolahnya, ia tak menemukan buku hitam kecilnya itu. Padahal, Shirin sangat ingat bahwa ia membawa buku itu ke mana pun ia pergi.
"Aduh, mana, nih?" Shirin mulai merengek. Ia memeriksa lemari dan laci meja belajarnya. Namun, nihil. Buku itu tidak ada di mana-mana.
"Jangan-jangan ketinggalan."
Shirin segera mengambil jaket dan bergegas keluar. Namun, baru saja ia membuka pintu, gadis itu dikejutkan dengan tiga lelaki bertubuh tinggi yang berdiri menjulang di depannya.
***
"Yuk, balik!" Abi menyampirkan tas di satu bahu dan bersiap keluar kelas, begitu pun Atha. Hanya tersisa Aldiaz yang masih sibuk merapikan alat tulisnya.
"Eits, kalian berdua temenin gue ke rumahnya cewek itu," ujar Al seraya menyampirkan tasnya di bahu dan berjalan keluar kelas diikuti kedua sohibnya.
Abi dan Atha saling memandang, kemudian Abi menyahut, "Ya, boleh aja, sih … tapi kenapa lo mau repot-repot?"
"Penasaran aja."
Abi mendengus, sementara Atha mengangkat sebelah alis. Eh ... udah ketemu ternyata, pikirnya.
Sampai di mobil, Al kembali membuka suara. "Woy, hari Minggu ke rumah gue, kuy. Mabar."
"Eits, gak bisa begitu." Abi meringis dan memandang Al dengan tatapan meledek. "Gue sama Atha udah ada janji mau jalan sama cewek."
"Hah? Atha? Cewek?" mulut Al terbuka tak percaya dan menepuk bahu Atha yang sedang serius menyetir. "Gue gak nyangka lo normal. Gue pikir, lo suka sama gue."
"Najis!" sembur Atha, "kalo gue gay juga gue bakal milih-milih."
"Eh, tapi gue ganteng, loh." Aldiaz meyakinkan.
Atha melirik sengit. "Tapi gue lebih suka cewek."
Aldiaz dan Abi tak lagi berkomentar karena mobil mereka akhirnya memasuki perumahan kecil, rumah-rumahnya terlihat sederhana, dan tidak terlalu besar.
Atha menghentikan mobilnya di depan rumah berlantai dua dengan cat abu-abu. Pekarangannya kecil, ada tempat parkir yang hanya muat untuk satu mobil di sampingnya. Ketiga lelaki itu turun dan memandangi rumah sederhana yang tampak terawat itu."Rumahnya biasa-biasa aja." Abi berkomentar.
Al meliriknya sekilas. "Emang lo pikir rumahnya kayak gimana?"
"Ya kali aja orang kaya."
"Kalo kaya, mau lo apain?"
"Gue kawinin, puas?"
Atha memutar bola mata mendengar celotehan mereka dan melangkah menuju pintu. Baru saja Atha ingin mengetuk, knop pintu sudah dibuka dan muncul seorang cewek berambut gelap.
Melihat gadis itu, Abi refleks nyeletuk. "Eh, temennya Mia—"
"Ini bukan rumah Mia!" gadis yang tak lain adalah Shirin itu sontak menutup pintu, hingga menimbulkan debaman keras.
Shirin bersandar di pintu dan memegangi dadanya yang naik turun. Napasnya tiba-tiba tak terkendali dan jantungnya berdetak kencang saat melihat Abi ada di depan rumahnya.
Shirin meraba pipinya yang dirasa memanas. "Ini bukan mimpi, 'kan?"
Aldiaz mengernyit heran. "Lah, kenapa, tuh, cewek?"Atha menggedik. "Gue juga gak tau.""Bi, tadi lo bilang dia temennya Mia? Mia kelas XI IPS 2?" tanya Al."Iya, gue juga baru kenalan sama dia tadi pagi." Abi mengangguk, kemudian mendelik menjauh dari pintu. "Gak sopan banget, tuh cewek. ""Udah-udah." Atha menengahi. Ia maju selangkah seraya mengetuk pintu pelan. "Permisi, gue sama temen gue cuma mau balikin buku lo," ucapnya. Namun, tak ada respons dari dalam rumah. Ia pun mengetuk lagi. "Ini buku diary lo."Mendengar kata 'diary', mata Shirin membola. Ia segera membuka pintu dan matanya berkeliaran mencari keberadaan buku bersampul hitam miliknya. Melihat bukunya ada di tangan Atha, gadis itu maju hendak meraih buku itu. Namun, tanpa diduga, Atha mengangkatnya ting
"Kasihan," ucap Aldiaz dengan senyum mengejek. Ia menyadari kesedihan Shirin yang tertolak sebelum berjuang. Shirin perlahan mendongak dan menatap Aldiaz sebal. Padahal, matanya berkaca-kaca. Pipi tembamnya semakin mengembung. Aldiaz membuang muka seraya menyembunyikan tawa. Lalu mengulurkan tangan dan mengelus puncak kepala Shirin. Shirin refleks mundur saat mendapat perlakuan itu. Aldiaz kembali berusaha menyembunyikan tawanya. Namun, berbeda dengan Abi, Aldiaz malah merampas kotak bekal di tangan kanan Atha. "Oy, Al—" Atha menghentikan protesnya kala Al maju beberapa langkah menghadap Shirin. Atha mendengus ketika gadis itu tidak mundur seperti saat ia mendekatinya tadi. Al membungkuk untuk menyejajarkan tingginya dengan gadis itu, seraya menyodorkan kotak bekal yang dipegangnya. "Makasih, ya. Ini buat lo aja, sisanya buat gue sama Atha." Meski enggan, Shirin teta
Saat sampai di kelas, Bu Dewi menyambut Shirin dengan tatapan datarnya. Meski diizinkan masuk untuk mengikuti pelajaran, istriahat kali ini harus Shirin habiskan untuk mengepel lantai lobi gedung utama. Mia sendiri sudah pergi ke kantin sejak bel istirahat berbunyi, dan semua ini, karena lelaki sok ganteng yang memaksanya membicarakan hal tak penting. Shirin mengembuskan napas sambil mulai mengepel dan menggerutu dalam hati. Apa hanya karena mereka tampan, terkenal, dan menjadi most wanted sekolah membuat mereka bisa melakukan hal seenaknya? Seperti menarik Shirin ke sana-kemari, hingga akhirnya disuruh pergi. Shirin sendiri yakin setelah ini, baik Aldiaz atau Athalas pasti akan bersikap seolah tak mengenalnya. Seolah Shirin ... barang sekali pakai saja. Namun, segala pemikiran Shirin terpecah, seolah dun
Aldiaz berbaring di kasurnya. Tubuhnya penuh keringat, sementara napasnya menderu tak beraturan. Rahangnya mengetat, giginya bergemertak setiap mengingat wajah sedih itu. Di dalam kamarnya, yang barang-barangnya sudah hancur dan berantakan akibat tinjunya sendiri, Aldiaz meledak karena kefrustasian. Lalu, dering ponsel membuyarkan lamunan. "Apa?" tanya Al setelah mengangkat panggilan. Dan suara Mia menyambut dari ujung telepon. "Al, lo bisa gak dateng ke sini?" suaranya seperti berbisik. "Ke mana? Ngapain?" "Egamart." Setelah mendengarkan penjelasan singkat Mia, Aldiaz bangkit dan merapikan penampilannya. Wajahnya kembali cerah, karena pagi ini ternyata dia masih memiliki kesempatan. Ternyata benar kata orang bijak, jika malam terlalu kelam untuk menggantungkan harapan, kau harus percaya kepada pagi.
"Lo, tuh, udah kayak anak kecil aja, njir!" Atha mengomel begitu Shirin sampai di Mal bersama Al. "Kesasar di Mal, terus diculik om-om. Nyusahin, dah, asli. Bikin orang khawatir aja!" Al memandang jengkel, tetapi kemudian ia tersenyum mengejek. "Eum, Ath ... lo ... khawatir sama Shirin?" "Bukan gue, tapi Mia." Atha menjawab cepat. Namun, Al dan Mia malah tertawa cekikikan-membuatnya mengumpat.Sementara Shirin sendiri hanya diam seperti anak kecil yang polos-memandang teman-temannya bergantian. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. "Udah sore, gue duluan, ya, Mia." Mia mengangguk membuat Shirin segera berbalik. "Mia, gak usah anter. Gue bisa sendiri." Shirin cepat-cepat menambahkan kala Mia ingin mengikuti langkahnya.
Shirin meneguk ludah memandang punggung Aldiaz yang menjauh. Padahal, ia tepat berada di samping Al saat cowok itu melewatinya. Kekecewaan tercetak jelas di wajahnya. Namun, ia cepat-cepat mengatur ekspresinya saat suara cempreng Mia terdengar di belakang. Shirin terlonjak hampir melompat dari tempatnya saat Mia tiba-tiba berseru dan merangkulnya dari belakang. "Pagi, Rin!" "Astagfirullah!" Shirin ber-istigfar seraya mengelus dada. Mia cekikikkan. Namun, dengan cepat tawanya memudar kala menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu. "Lo gak papa, Rin? Gue gak kekencengan, 'kan?" Shirin menggeleng cepat dan mengibaskan tangannya. "Enggak, enggak apa-apa. Ayo, ke kelas aja." Mia tidak merespons dan langsung mengikuti langkah
Shirin meraba jaket di punggungnya, lembut, dan hangat. Kemudian, suara dehaman seorang lelaki terdengar. Seorang lelaki berambut cokelat melangkah melewati dan memunggunginya. Tersadar akan sesuatu, Shirin berdiri dan segera menghapus air matanya. Ia meraih jaket di punggungnya dan menyodorkannya pada lelaki itu. "M-maaf, ini jatuh." Lelaki yang tak lain adalah Athalas Fernan itu menoleh seraya mengerutkan dahi. "Hah?" "Ini jatuh." Shirin mengulangi, sambil menggoyangkan tangannya yang memegang jaket hitam itu. Atha masih mengernyit dan tatapan bingungnya berubah menjadi aneh. Ia menuding Shirin. "Lo pikir gue gak sengaja jatuhin jaket itu tepat di punggung lo?" Shirin mengangguk.
"Jangan deket-deket!" Shirin mengingatkan dengan suara yang seharusnya lantang dan berani, tetapi ia benar tentang tenggorokan yang kering—tak ada suara yang keluar dari mulutnya. "Kenapa, Manis?" tanya lelaki itu, dan suara tawa liar menyusul. Shirin memasang kuda-kuda, kaki terbuka, dengan panik berusaha mengingat-ingat jurus beladiri yang ia tahu. Kepalan tangan siap dilayangkan, semoga bisa mematahkan hidung atau menghantam kepala dua lelaki itu. Namun, sebelum sempat menyerang, sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar dan melemparnya ke trotoar. Shirin berlari ke tengah jalan—mobil ini akan berhenti atau malah menabraknya? Mobil hitam itu tak disangka-sangka menukik, lalu berhenti dengan salah satu pintu terb