Share

Bab 3 : Bukan Rumah Mia

"Hah? Obat diare?" kini giliran Al yang mengernyit bingung. Namun, Atha menggeleng.

"Resep diare?" tanya Abi.

Atha masih menggeleng. "Bukan, woy! Ini diare, dear diare."

"ITU DIARY, BUJANG!" Abi dan Al sama-sama berteriak dengan napas mengan yang menggebu kesal.

"Atha ganteng-ganteng bego," cibir Al.

Atha cekikikan. Namun, tak lama kemudian, kembali memeriksa buku itu. "Ini gak boleh dibuka, privasi orang."

"Kalo gak dibuka, gimana caranya kita tau siapa pemiliknya?" sahut Abi. "Buka aja, halaman pertama doang, kek, biar tau namanya."

"Gak boleh! Privasi!" Atha bersikeras, menyembunyikan buku di balik punggungnya.

"Cuma liat alamat, anjir!" Abi tak mau kalah.

"Ini privasi, Bujang!"

"Ath—"

"Oy, oy, ribut aja terus." suara seorang gadis berhasil menghentikan perang kecil mereka.

Ketiga lelaki itu menoleh dan mendapati Mia sedang bersandar ke tembok dengan sekaleng minuman di tangannya. Mia hanya meringis tanpa dosa. Namun, matanya menyipit melihat benda di tangan Atha. "Buku apaan, tuh? Kayaknya gue kenal."

"Ini, tadi ada yang nabrak kami. Terus, gak sengaja jatuhin bukunya," jelas Al. "Lo tau, gak, ini buku punya siapa?"

"Mana, coba gue liat." Mia merampas buku bersampul hitam itu dari tangan Atha dan membuka halaman demi halaman—membuat Athalas melotot. Setelahnya, Mia menutup buku. "Sip, punya temen gue, nanti gue balikin," ujarnya seraya hendak melangkah ke kantin.

Namun, tangan Aldiaz merebut kembali buku itu. Aldiaz tersenyum manis. "Biar gue aja yang kembaliin. Alamatnya?"

Mata Mia menyipit. "Temen gue itu nolep, gak cantik juga. Bukan selera kalian, deh, pokoknya."

"Gue cuma nanya alamatnya, tuh." sahut Al. Ia dan Mia bertatapan cukup lama, kemudian, Mia menghela napas.

***

Shirin duduk sendirian di tempat duduknya. Segelintir murid yang ada di kelasnya sibuk berbincang-bincang. Bosan membaca, ia menutup bukunya dan memerhatikan sekitar. Mia sepertinya belum juga selesai dengan urusan jurnalnya.

"Lo gak bisa bergantung sama gue terus, Shirina Haruki."

Kata-kata Mia tiba-tiba terlintas di kepalanya. Shirin menggigit bibir dan melirik dua kelompok siswa di dalam kelasnya bergantian. Kemudian, ia memantapkan hati dan bergabung dengan salah satu sekelompok siswi yang sedang mengobrol.

"H-hai!" sapanya dengan senyum kaku. Namun, bukannya balas menyapa, para gadis yang disapanya malah melirik sinis lalu berbisik-bisik. Shirin hanya memalingkan wajah canggung.

"Bubar, yuk!" salah satu gadis bersuara dan meninggalkan meja yang tadinya dipakai untuk berbincang. Yang lainnya juga ikut berhamburan ke tempat duduk masing-masing dan meninggalkan Shirin yang masih berdiri sendirian.

Shirin mengusap lengannya pelan, kemudian kembali ke tempat duduknya. Tanpa menyadari, Mia yang melihatnya diam-diam di ambang pintu kelas.

Mia menunggu beberapa detik, sebelum akhirnya menghampiri Shirin. "Rin! Udah makan?" Ia berbasa-basi dengan ceria seperti biasa.

Shirin tersenyum padanya seraya mengangguk.

"Rin, tau gak?" Mia mulai berekspresi serius. Siapa pun tahu, detik berikutnya ia akan mulai bercerita. Namun, Shirin sama sekali tidak penasaran akan hal itu. "Gue diajak jalan sama Kak Atha sama Kak Abi juga!" pekik Mia.

Shirin yang tadinya berekspresi malas pun ikut berbinar. "Oh, serius?" padahal, bukan dia yang diajak jalan.

"Iya!" Mia mengangguk semangat, ia menyikut lengan Shirin pelan. "Tapi, lo ikut, ya? Plis ...."

Shirin mengerutkan kening. "Loh, emangnya … kenapa gue harus ikut?"

"Ya, masak gue jalan sama dua cowok sekaligus? Dikira gue fuckgirl kali." gadis itu mengembuskan napas berat dan kembali memohon. "Makannya, lo ikut, ya? Lo juga bisa jalan sama Kak Abi. Jadi, kesannya kayak kencan ganda gitu, heheh. Pasti asyik, kok."

"Tapi 'kan, lo tau, gue itu—"

"Tenang, nanti gue yang jemput lo di rumah."

Shirin berpikir sejenak. Melihat Mia yang memasang tampang menyedihkan, membuatnya akhirnya mengangguk. "Oke, kapan, nih?"

"Yes!" Mia sumringah. "Minggu sore!"

***

Sampai di rumah, Shirin segera mengganti pakaian dan makan. Setelahnya, ia akan melakukan ritualnya seperti biasa, yaitu menulis di buku harian. Meskipun harinya belum berakhir, gadis itu lebih suka menulisnya setelah sekolah usai, karena dunianya memang hanya tentang sekolah.

Namun, setelah membongkar isi tas sekolahnya, ia tak menemukan buku hitam kecilnya itu. Padahal, Shirin sangat ingat bahwa ia membawa buku itu ke mana pun ia pergi.

"Aduh, mana, nih?" Shirin mulai merengek. Ia memeriksa lemari dan laci meja belajarnya. Namun, nihil. Buku itu tidak ada di mana-mana.

"Jangan-jangan ketinggalan."

Shirin segera mengambil jaket dan bergegas keluar. Namun, baru saja ia membuka pintu, gadis itu dikejutkan dengan tiga lelaki bertubuh tinggi yang berdiri menjulang di depannya.

***

"Yuk, balik!" Abi menyampirkan tas di satu bahu dan bersiap keluar kelas, begitu pun Atha. Hanya tersisa Aldiaz yang masih sibuk merapikan alat tulisnya.

"Eits, kalian berdua temenin gue ke rumahnya cewek itu," ujar Al seraya menyampirkan tasnya di bahu dan berjalan keluar kelas diikuti kedua sohibnya.

Abi dan Atha saling memandang, kemudian Abi menyahut, "Ya, boleh aja, sih … tapi kenapa lo mau repot-repot?"

"Penasaran aja."

Abi mendengus, sementara Atha mengangkat sebelah alis. Eh ... udah ketemu ternyata, pikirnya.

Sampai di mobil, Al kembali membuka suara. "Woy, hari Minggu ke rumah gue, kuy. Mabar."

"Eits, gak bisa begitu." Abi meringis dan memandang Al dengan tatapan meledek. "Gue sama Atha udah ada janji mau jalan sama cewek."

"Hah? Atha? Cewek?" mulut Al terbuka tak percaya dan menepuk bahu Atha yang sedang serius menyetir. "Gue gak nyangka lo normal. Gue pikir, lo suka sama gue."

"Najis!" sembur Atha, "kalo gue gay juga gue bakal milih-milih."

"Eh, tapi gue ganteng, loh." Aldiaz meyakinkan.

Atha melirik sengit. "Tapi gue lebih suka cewek."

Aldiaz dan Abi tak lagi berkomentar karena mobil mereka akhirnya memasuki perumahan kecil, rumah-rumahnya terlihat sederhana, dan tidak terlalu besar.

Atha menghentikan mobilnya di depan rumah berlantai dua dengan cat abu-abu. Pekarangannya kecil, ada tempat parkir yang hanya muat untuk satu mobil di sampingnya. Ketiga lelaki itu turun dan memandangi rumah sederhana yang tampak terawat itu.

"Rumahnya biasa-biasa aja." Abi berkomentar.

Al meliriknya sekilas. "Emang lo pikir rumahnya kayak gimana?"

"Ya kali aja orang kaya."

"Kalo kaya, mau lo apain?"

"Gue kawinin, puas?"

Atha memutar bola mata mendengar celotehan mereka dan melangkah menuju pintu. Baru saja Atha ingin mengetuk, knop pintu sudah dibuka dan muncul seorang cewek berambut gelap.

Melihat gadis itu, Abi refleks nyeletuk. "Eh, temennya Mia—"

"Ini bukan rumah Mia!" gadis yang tak lain adalah Shirin itu sontak menutup pintu, hingga menimbulkan debaman keras.

Shirin bersandar di pintu dan memegangi dadanya yang naik turun. Napasnya tiba-tiba tak terkendali dan jantungnya berdetak kencang saat melihat Abi ada di depan rumahnya.

Shirin meraba pipinya yang dirasa memanas. "Ini bukan mimpi, 'kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status