Share

Bab 7 : No Friends

Aldiaz berbaring di kasurnya. Tubuhnya penuh keringat, sementara napasnya menderu tak beraturan. Rahangnya mengetat, giginya bergemertak setiap mengingat wajah sedih itu. Di dalam kamarnya, yang barang-barangnya sudah hancur dan berantakan akibat tinjunya sendiri, Aldiaz meledak karena kefrustasian.

Lalu, dering ponsel membuyarkan lamunan.

"Apa?" tanya Al setelah mengangkat panggilan.

Dan suara Mia menyambut dari ujung telepon. "Al, lo bisa gak dateng ke sini?" suaranya seperti berbisik.

"Ke mana? Ngapain?"

"Egamart."

Setelah mendengarkan penjelasan singkat Mia, Aldiaz bangkit dan merapikan penampilannya. Wajahnya kembali cerah, karena pagi ini ternyata dia masih memiliki kesempatan.

Ternyata benar kata orang bijak, jika malam terlalu kelam untuk menggantungkan harapan, kau harus percaya kepada pagi.

***

Sial, benar-benar sial. Rutuk Shirin dalam hati. Ia menyendok makanan di piring tanpa selera. Mia ada di sampingnya bersama Atha, sementara Abi dan Valen ada di sisi lainnya. Mereka makan di sebuah restoran siap saji dan duduk melingkari meja bundar.

Shirin merasa salah tempat. Bayangannya berjalan-jalan dengan Abi tak terwujud. Karena begitu ia dan Mia turun dari taksi online, bukan hanya Atha dan Abi yang menyambut mereka di Mal, tetapi juga gadis berambut pendek bernama Valen.

"Ni cewek kenapa ikut?" saat itu Athalas meledek disusul tawa. Mia memukulnya pelan dan Shirin hanya menunduk dalam. Sejak saat itu, ia tahu bahwa ia sudah salah memutuskan.

Usai makan, dua pasangan itu berencana untuk menonton film. Shirin memilih kabur diam-diam saat berjalan menuju bioskop. Gadis itu malah duduk di taman di luar Mal sambil mendengarkan lagu melalui earphone. Baginya, menyendiri lebih baik daripada melihat orang yang dicintainya bahagia bersama orang lain.

Seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya dan merebut satu earphone di telinga kanannya.

Shirin menoleh kaget begitu melihat sosok lelaki bermata onyx duduk di sampingnya sedang mendengarkan lagu dari sebelah earphone miliknya. Mulutnya terbuka, lidahnya kaku. "K-Kak Al?"

Al hanya tersenyum memandang lurus ke depan sambil bersenandung mengikuti lagu yang didengarnya.

People say i try to hard

People say i come off really awkward.

You know i don't mean no harm.

I just trying to be myself but.

Sometimes i get confused.

Cause i can't read social cues.

Threw my inhibitions out the door.

I don't have an excuse.

Im just living in my youth.

Don't know why people don't like me more.

I have no friends but thats okay.

I don't need them anyway.

I do my best all on my own.

And i just rather be alone.

Rather be alone.

Shirin hanya mampu terperangah melihat wajah Aldiaz yang sedang bernyanyi dari samping. Suaranya merdu dan ia juga tampan.

Al menoleh dan melayangkan senyum manisnya pada Shirin. "Suka lagu ini?"

Shirin tersadar, kemudian mengangguk cepat.

"Kenapa?"

"Liriknya sesuai sama pikiran aku." Shirin menjawab pelan.

"Bagian mana yang sesuai?" seolah tertarik, Al bertanya lagi.

Shirin diam dan menatap Al tanpa ekspresi. Ia berusaha mencari tahu apa tujuan lelaki ini.

Sebelah earphone Shirin masih tersangkut di telinga Aldiaz. Ia menatap lurus ke depan dan tersenyum samar kala Shirin tidak menjawab. "Maaf," lirihnya kemudian. Ia menoleh dan memerlihatkan ekspresi menyesal yang membuat siapa pun yang melihatnya tak tega. "Bisa kamu kasih aku satu kesempatan lagi? Aku janji, gak akan kasar sama kamu lagi."

Shirin masih diam dan menunduk untuk beberapa menit yang terasa sangat lama. Ia ingin bersiul karena Aldiaz tidak menyerah dan tetap pada posisinya semula. "Hampir semuanya," ucap Shirin pada akhirnya, "hampir semua lirik lagu itu sesuai sama pikiran aku."

Aldiaz menoleh dan menyembunyikan senyum sumringah-nya seraya menunggu kelanjutan ucapan Shirin.

"Mereka bilang aku datang dengan canggung. Padahal, aku gak bermaksud jahat," lanjut Shirin. Ia tersenyum samar sambil meremas jeansnya. "Aku cuma berusaha jadi diri sendiri, tapi kadang aku bingung karena aku gak ngerti isyarat sosial. Aku cuma mau menikmati masa muda seperti orang lain, tapi gak tau kenapa mereka lebih gak menyukaiku. And ... i have ni friends ... kecuali Mia." Shirin terkekeh di akhir kalimatnya.

Rasanya lucu, sementara Al terdiam mengamatinya. Tatapannya santai, tidak mengasihani apalagi mengejek. Ia bertopang dagu. "Ngerasa kesepian, gak?"

Pertanyaan Al berhasil membuat Shirin kembali diam. Shirin mengusap lengannya seraya menjawab pelan. "K-kadang."

"Kalau ada aku, masih ngerasa kesepian, gak?" Al menunjuk dirinya sendiri.

Shirin hanya mengerutkan dahi. "H-hah?"

Lagi-lagi Al dibuat terkekeh. "Aku cuma tanya, kalau aku jadi temen kamu, apa kamu masih ngerasa kesepian?"

Shirin menggeleng lalu menjawab. "Gak tau."

"Kalau gitu ...." Al berdiri menghadap Shirin dan mengulurkan jari kelingkingnya. "Ayo temenan."

Shirin mendongak dan memandang tubuh tinggi yang menjulang membelakangi matahari itu. Dadanya menghangat. Ia manatap jari kelingking dan wajah Aldiaz bergantian. Padahal, kemarin rasanya Shirin sangat membenci lelaki itu.

Di menit berikutnya, Aldiaz masih setia menunggu. Hingga akhirnya, dengan ragu Shirin menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking lelaki itu.

Al tertawa. "Kamu terlalu lama mikirnya."

"Maaf." Shirin meringis.

"Tapi aku bisa menunggu lebih lama lagi. Bahkan, selama yang kamu mau." Shirin tercenung mendengar kata-kata Al yang tenang. Sementara Al sendiri memandang ke sekitar seraya menoleh pada Shirin lagi. "Ke Monas, yuk."

***

Mia, Atha, Abi, dan Valen sudah sampai di aula bioskop. Mereka mengamati sekitar, Mia menggandeng lengan Atha sambil berceloteh. "Enaknya nonton film apa, ya? Lo mau nonton film apa, Rin?"

Merasa tak ada respons dari temannya itu, Mia menoleh. Namun, tak ada siapa pun di belakangnya. "Loh, Rin? Shirin?"

Alhasil, Mia celingukan di tengah keramaian.

Atha mengangkat sebelah alis. "Kenapa?"

"Shirin gak ada, Ath, dia hilang!" Mia panik. "Aduh, kalo dia kenapa-napa bisa mampus gue sama mamanya."

Atha berdecak. "Ck, nyusahin banget, sih, udah gede juga."

"Coba telepon," ujar Abi dan membuat Mia langsung mengeluarkan ponselnya.

Panggilan terhubung dan Mia langsung bersuara. "Rin! Lo di mana? Kenapa tiba-tiba gak ada di belakang gue?"

"Di Monas."

Mendengar jawaban Shirin, membuat keempat orang itu tersedak. "Hah?!"

"Gila, dari sini ke Monas 'kan, lumayan jauh." Valen berkomentar tak habis pikir.

Sementara Atha lagi-lagi berdecak, ia merebut ponsel dari tangan Mia dan berujar pada gadis di ujung telepon. "Woy, lo kenapa bisa sampe sana? Sama siapa lo?"

"Sama gue." kali ini, bukan Shirin yang menjawab, melainkan suara berat seorang lelaki.

Atha dan Abi kenal betul suara siapa itu. "Al?! Lo kenapa bisa sama dia?" Abi ikut heran.

"Tadi kebetulan ketemu di taman. Ya udah, gue ajak main aja," ujarnya santai.

Mia kembali merebut ponselnya dari Atha seraya mengomel, "Main bawa-bawa anak orang aja lo! Bawa balik ke sini! Awas aja kalo Shirin sampe lecet."

Al terdengar berdecak. "Iya, bawel."

***

Aldiaz memutus sambungan telepon dan mengembalikan ponsel ber-casing anime girl itu kepada pemiliknya seraya berujar, "Yuk, balik ke Mal. Pawang kamu marah-marah."

"Pawang?"

"Mia." Al terkekeh. "Yuk."

Namun, bukannya mengikuti langkah Al, Shirin masih memandang pemandangan kota di bawah sana. Ia kini berada di puncak Monas tanpa berniat pulang.

"Nanti ke sini lagi." ucapan Al membuat Shirin menoleh penuh binar. "Sekarang pulang."

Akhirnya, Shirin mengangguk dan mengikuti langkahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status