Share

Bab 9 : Tidak Baik

Shirin meneguk ludah memandang punggung Aldiaz yang menjauh. Padahal, ia tepat berada di samping Al saat cowok itu melewatinya. Kekecewaan tercetak jelas di wajahnya. Namun, ia cepat-cepat mengatur ekspresinya saat suara cempreng Mia terdengar di belakang.

Shirin terlonjak hampir melompat dari tempatnya saat Mia tiba-tiba berseru dan merangkulnya dari belakang. "Pagi, Rin!"

"Astagfirullah!" Shirin ber-istigfar seraya mengelus dada.

Mia cekikikkan. Namun, dengan cepat tawanya memudar kala menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu. "Lo gak papa, Rin? Gue gak kekencengan, 'kan?"

Shirin menggeleng cepat dan mengibaskan tangannya. "Enggak, enggak apa-apa. Ayo, ke kelas aja."

Mia tidak merespons dan langsung mengikuti langkah Shirin menuju kelas XI IPS 2. Sampai di kelas, Mia duduk dan langsung menghadap Shirin, matanya berkilat-kilat. Shirin menduga bahwa Mia memiliki banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan kepadanya. "Gimana hubungan lo sama Al?"

Shirin refleks mengembuskan napas dan berpaling. "Ya, baik."

"Sebaik apa?" pertanyaan Mia kelewat antusias.

Shirin melirik teman semejanya itu. Mata Mia penuh binar—seolah ia ingin mendengar hal yang bisa ia gosipkan ke seluruh sekolah. Dasar anak jurnal, cibir Shirin dalam hati. "Ya, gitu." hanya itu jawaban Shirin.

Mia merotasikan bola mata seraya mendesak. "Ceritainlah!"

Sekarang Shirin yang memutar bola mata malasnya. "Ya, well, Kak Al cukup baik. Dia sopan, orangnya menghargai gue banget. Gue sama dia ketemu di taman kemarin. Kami dengerin musik bareng. Terus, dia tiba-tiba ngajak gue ke Monas. Pokoknya ... dia baik banget."

Shirin tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya, seolah ia sama sekali tidak mengalami peristiwa terabaikan beberapa menit lalu … tetapi tentu saja ia tak mengatakan tentang sikap dingin Aldiaz itu.

"Oke, fix. Lo harus kasih cokelat ke Kak Al besok." Mia memutuskan dan terdengar tak ingin dibantah. Shirin hanya menatapnya aneh dan membuatnya kembali memutar bola mata. "Besok itu Valentin, Shirin! Valentin!"

Shirin mengecek ponsel dan melihat tanggal. Benar saja, hari ini 13 Februari, dan besok 14 Februari—hari Valentin. Setidaknya, ia harus memberikan cokelat wajib untuk seseorang. Tradisi SMA Generasi Bangsa setiap hari kasih sayang adalah bertukar cokelat.

Shirin kembali memandang Mia yang matanya berkilat-kilat. Sepertinya, gadis itu sangat bersemangat. Entah karena tak sabar menunggu hari Valentin tiba, atau menunggu momen romantis yang akan terjadi. Namun, tanpa berpikir dua kali, Shirin akhirnya mengangguk setuju. "Oke juga."

Mia mengacungkan jempol seraya berdiri. "Sekarang, ikut gue." tanpa menunggu respons, Mia menarik pergelangan tangan Shirin dan keluar kelas. Mereka menyusuri koridor dan masuk ke kantin yang masih sepi.

Hanya ada dua orang lelaki yang duduk di sudut kantin. Athalas dan Abizart, mereka duduk berhadapan di salah satu warung mie yang masih belum buka. Mia melambaikan tangannya, kemudian menarik Shirin menghampiri mereka.

Dua gadis itu pun duduk di hadapan Athalas dan Abizart. Mereka hanya dihalangi meja. Mia cemberut dan menyapu pandang ke sekitar kemudian memandang Atha. "Aldiaz mana?"

Atha hanya mengangkat bahu acuh. Ia melirik Shirin yang hanya menunduk seraya berkata, "Lo suka sama Aldiaz?"

Merasa pertanyaan itu untuknya, Shirin mendongak dan matanya langsung bertumbuk mata dengan mata obsidian yang tajam milik Athalas. Ia menggeleng perlahan dan membuat Atha mendengus.

"Rin, gue kasih tau aja. Al gak baik buat lo." kali ini Abizart yang berbicara di sela-sela kegiatannya memakan roti. "Dia gak kayak yang lo bayangin, dia gak sebaik keliatannya."

Shirin hanya menatapnya dan menyembunyikan raut kesal pada lelaki itu. Padahal, Shirin sempat menyukai Abi. Namun, hanya dengan mendengarnya menjelek-jelekkan Aldiaz membuatnya begitu kesal.

Mia menyadari raut kesal Shirini. Ia meraih tangan Shirin dan menggenggamnya erat di bawah meja. "Emangnya kenapa, Bi?" tanyanya pada Abizart.

Namun, bukannya menjawab, Abizart malah mendelik dan menjauh dari Mia. "Gue senior, loh. Panggil gue 'Kak', kek. Lo pikir gue bibi lo?"

"Ya elah, Bang." Mia memutar bola mata dan membuat kedua lelaki itu tertawa.

Abizart mengangkat bahu dan mengulang perkataannya yang tadi. "Ya pokoknya, Al itu gak sebaik keliatannya."

Pandangan Shirin melunak kala mengingat raut dingin Aldiaz pagi ini. Mungkin Abi benar, Al tidak sebaik itu. Buktinya, lelaki itu mengabaikannya. Berikutnya, Shirin tidak menyahuti ketiga orang yang sedang berbicara itu. Ia terus menunduk dan berpikir dengan perih yang entah mengapa menjalar dalam dadanya.

Padahal, baru kemarin ia dibuat bahagia sekali, tetapi sekarang, kesedihannya tak kalah besar. Seakan dibuat terbang tinggi, lalu dijatuhkan keras-keras. Menyakitkan.

***

Lagi-lagi Mia disibukkan oleh kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik. Shirin terpaksa berjalan sendirian ke halte bus. Tak ingin terburu-buru, Shirin melangkah pelan menuju gerbang. Namun, suara tawa dari sebuah ruangan di gedung utama membuatnya menghentikan langkah.

Shirin bisa melihat Aldiaz dan seorang gadis berambut pirang sedang mengobrol ria sambil mengerjakan sesuatu melalui celah pintu ruang BK yang sedikit terbuka. Obrolan mereka tampak menyenangkan dan sesekali Aldiaz tertawa.

Setelah itu, barulah Shirin mendengar bisik-bisik para siswa.

"Eh, itu Kak Al sama Kak Willa, ya? Mereka gak jadi putus?"

"Ih, jangan sembarangan. Kayaknya, kemarin-kemarin, mereka cuma berantem aja. Bukan berarti putus, 'kan?"

"Iya, bener. Sayang kalo mereka putus, padahal serasi banget."

"Bener, tuh."

Bahu Shirin merosot dan tatapannya nanar meski senyum tercetak di wajahnya. Senyumnya muram dan bibir tipisnya lantas bergumam, "Oh ... udah punya pacar dia ...?" detik berikutnya, setetes air lolos dari kelopak mata. Shirin menutup mulutnya seraya menahan isak tangis dan bibirnya bergetar. Hanya perlu satu sentuhan lagi sebelum segala pertahanannya pecah.

"Eh, cewek itu siapa?" kali ini, siswi yang sedang bergosip dengan teman-temannya memelankan suara, tetapi tentu saja Shirin bisa mendengar. "Gue gak sengaja liat dia sama Kak Al di Monas kemarin."

"Jangan-jangan korban pelampiasan lagi."

Shirin sontak berlari, pergi, menjauh sejauh-jauhnya dari sana. Tangisnya sudah pecah meski tanpa suara dan air matanya berderai. Shirin membiarkan kakinya sendiri yang membawanya hingga ke atap sekolah. Ia berjongkok sambil menutup mulutnya yang terisak dan bahunya sudah berguncang.

Shirin memukul-mukul dadanya yang sesak. Sakit, sangat sakit. Sampai-sampai Shirin ingin berteriak.

"Aku janji, gak akan kasar sama kamu lagi."

"Bisa kamu kasih aku kesempatan sekali lagi?"

"Aku bisa menunggu lebih lama lagi, bahkan selama yang kamu mau."

Isakan Shirin semakin keras. Kini, perkataan Adliaz dan sikap lembutnya terngiang-ngiang di otak Shirin. Mengendap dan tenggelam dalam sudut hati yang gelap, menjadi sebuah kenangan paling menyakitkan.

Kemudian entah bagaimana, sebuah jaket jatuh dan tersampir tepat di punggungnya menimbulkan kehangatan. Disusul seseorang yang berkata santai. "Udah sore, loh. Di atap dingin."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status