"Lo, tuh, udah kayak anak kecil aja, njir!" Atha mengomel begitu Shirin sampai di Mal bersama Al. "Kesasar di Mal, terus diculik om-om. Nyusahin, dah, asli. Bikin orang khawatir aja!"
Al memandang jengkel, tetapi kemudian ia tersenyum mengejek. "Eum, Ath ... lo ... khawatir sama Shirin?"
"Bukan gue, tapi Mia." Atha menjawab cepat. Namun, Al dan Mia malah tertawa cekikikan-membuatnya mengumpat.
Sementara Shirin sendiri hanya diam seperti anak kecil yang polos-memandang teman-temannya bergantian. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. "Udah sore, gue duluan, ya, Mia."Mia mengangguk membuat Shirin segera berbalik.
"Mia, gak usah anter. Gue bisa sendiri." Shirin cepat-cepat menambahkan kala Mia ingin mengikuti langkahnya.
"Bener?" Mia memastikan, sementara Shirin mengangguk seraya berlalu pergi memunggungi teman-temannya.
Entah mengapa, Al malah menyusul dan berjalan di sisinya. "Pulang naik apa?"
Shirin melirik sekitar sebelum menjawab. Tidak ada taksi di sekitar sini. "Eum, bus."
Al menatapnya menyelidik seraya mencekal tangannya. "Ayo, aku anter!"
"Jangan, nanti kamu ditampar mama." Shirin buru-buru menolak. Namun, Al malah tertawa mendengar penolakannya. "M-maaf."
"Gak papa." Al merespons dengan cepat. Ia berpikir sebentar, lalu menawarkan. "Kalo pulang bareng gimana?"
Shirin diam, berpikir dalam hati, bukankah itu sama saja?
"Aku ikut naik bus," tambah Al dengan seulas senyum.
Shirin menyembunyikan wajahnya yang entah mengapa malah memanas. Ia mengangguk kecil. "Terserah Kak Al aja."
Aldiaz bersorak kecil seraya menarik tangan Shirin menuju halte. Tak butuh waktu lama hingga bus datang dan membawa mereka.
Mia memandang peristiwa itu dari kejauhan dengan helaan napas lega. "Al gercep banget. Iya gak, Ath?"
"Paling cuma iseng," dengus Atha seraya berlalu dari taman Mal diikuti tiga orang temannya.
***
"Kak Al mau ke mana?" Shirin akhirnya bertanya memecah hening. Mereka masih duduk di dalam bus.
"Ke mana-mana." jawaban Al membuat gadis itu mendengus. Al sendiri tertawa kecil. Gadis di sampingnya ini kenapa bisa sangat lucu?
"K-Kak Al ... enggak nonton sama yang lain?" Shirin bertanya lagi, entah mengapa ia bisa berbicara banyak hal dengan lelaki ini.
Al meliriknya dan diam-diam tersenyum. Namun, bukannya menjawab, ia malah mengajukan pertanyaan lain. "Kenapa manggil aku 'kak'?"
"Kak Al 'kan, senpai--"
"Senpai?" Al membeo.
Shirin cepat-cepat meluruskan. "M-maksudnya, Kakak itu--"
"Kamu wibu?" bukannya mendengar penjelasan Shirin, Al malah mengubah pertanyaan.
Alhasil, Shirin memalingkan wajah dan pura-pura menyibukkan diri dengan memeriksa tasnya. "B-b-bukan, aku bukan wibu. A-a-aku cuma s-suka nonton anime aja."
Al mendekatkan wajahnya dan tersenyum usil. "Tau Kuriyama Mirai?"
"Film Kyoukai No Kanata?" Shirin menyahut.
Al mengangguk dan menunjuk pipi Shirin yang tembam. "Iya, kamu mirip sama Kuriyama."
Lagi-lagi wajah Shirin dibuat memanas. Al mengabaikan dan kembali bersandar pada kursi. Shirin kembali melihat ke jalanan. Ternyata, sebentar lagi ia sampai di perumahan. Gadis itu pun berdiri dan menghentikan bus. Baru saja ia ingin melangkah, Al mencekal tangannya-membuatnya kembali menoleh.
Al tersenyum miring, senyumannya sulit diartikan. "Sampai jumpa besok."
Tak ingin tercenung terlalu lama, Shirin mengerjap dan mengangguk singkat seraya buru-buru keluar dari bus. Ia hanya tersenyum kecil pada Al yang melambai dari jendela bus.
Saat bus sudah menjauh, Shirin terduduk di halte meraba dadanya. Ia merasakan jantung yang berdetak tak karuan. Hari ini hatinya membuncah senang. Baru kali ini ada seseorang selain Mia dan ibunya yang berbicara padanya selama itu, dan baru kali ini ada laki-laki yang berhasil membuatnya berbicara banyak hal dan menunggunya sesabar itu.
Ia melempar tas asal di kamarnya dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Beberapa menit berlalu, yang dilakukannya hanya menatap langit-langit kamar yang polos.
Wajah Aldiaz kembali terlintas. Pesonanya, mata onyx-nya yang indah, dan perkataannya yang lembut kembali terngiang di otak Shirin.Shirin merasa perutnya mulas, seakan ada kupu-kupu yang terbang di dalamnya. Hatinya ringan dan berdesir hebat. Ia merasa sangat bahagia.
"Aku bisa menunggu lebih lama lagi. Bahkan, selama yang kamu mau."
Shirin membenturkan kepalanya ke kasur berulang kali, meraih bantal, dan menutupi wajahnya seraya berteriak kencang. Kemudian, deringan ponsel mengalihkan perhatiannya. Nama Mia tertera di layar sebagai penelepon.
"Eh, lo udah sampe? Masih hidup, 'kan?" sembur Mia begitu telepon terhubung.
Shirin memutar bola mata. "Ya, masihlah. Ini gue masih napak di tanah."
"Haah, syukurlah." beberapa detik berikutnya, hening menyelimuti mereka. Kemudian Mia memanggil. "Rin."
Shirin hanya berdeham.
"Lo kenapa bisa seakrab itu sama Aldiaz? Dia gak ramah, loh."
Mendengar kata-kata Mia, Shirin bangkit dan membenarkan posisi duduknya. "Gak ramah gimana?" tanyanya. "Dia murah senyum, kok. Senyumnya juga manis. Terus, cara bicaranya juga ... lembut." Shirin menakup kedua pipinya yang memanas. Hanya dengan membayangkan sikap Aldiaz, membuat hatinya meletup-letup kesenangan.
"Ih, masa lo gak bisa bedain, sih, Rin?" nada suara Mia terdengar tak habis pikir. "Dia ramahnya, tuh, kayak orang yandere. Ramah, murah senyum, tapi psikopat."
"Ngaco!" sembur Shirin mulai kesal.
"Ih, serius, dia itu kalo ramah--"
"Udah-udah," potong Shirin. "Mending lo lanjut nonton film sama Athalas, jangan nelepon gue dulu."
Mia menepuk dahi. "Oh, iya. Gue lagi nonton film psikopat! Udah dulu, ya, Rin!" seru Mia yang disusul suara 'tut-tut' dari telepon.
Shirin menggelengkan kepalanya. Dasar Mia, bisa-bisanya menyebut Aldiaz psikopat.
***
Keesokan harinya adalah hari yang cerah. Meskipun masih pukul 06.00, Shirin setengah berlari memasuki gerbang sekolah. Ia masuk ke lobi gedung utama dan celingukan. Sekolah masih sepi, hanya ada segelintir murid yang baru datang.
Ia memutuskan berdiri di lobi, bersandar ke pilar, dan menyibukkan diri dengan buku. Napasnya terengah, tetapi Shirin tak merasa lelah.Setelah dirasa cukup lama, Shirin menutup bukunya. Ia melihat sekeliling dan ternyata murid-murid sudah banyak yang berdatangan. Kemudian, decitan mobil di lapangan parkir mengalihkan perhatian Shirin.
Seorang lelaki jangkung berambut gelap keluar dari mobil avanza yang berwarna hitam. Aldiaz menyampirkan ranselnya di satu bahu dan berjalan menuju lobi.
Mata Shirin berbinar. Ia hendak melambaikan tangan. Namun, diurungkan kala menyadari ekspresi Aldiaz yang tak seramah kemarin. Tampang lelaki itu dingin, tatapannya tajam, dan lurus ke depan. Tidak memedulikan orang-orang yang bicara di sampingnya, ia terus melangkah dan melewati Shirin tanpa menoleh padanya sekali pun."Kak Al ...." suara Shirin nyaris seperti bisikan. Wajahnya semula cerah bak mentari pagi berangsur-angsur meredup.
Pada akhirnya ... ia ditinggalkan lagi. Pada akhirnya, ia tetap berdiri sendiri-merasa asing di dunia yang ia tempati.
Shirin meneguk ludah memandang punggung Aldiaz yang menjauh. Padahal, ia tepat berada di samping Al saat cowok itu melewatinya. Kekecewaan tercetak jelas di wajahnya. Namun, ia cepat-cepat mengatur ekspresinya saat suara cempreng Mia terdengar di belakang. Shirin terlonjak hampir melompat dari tempatnya saat Mia tiba-tiba berseru dan merangkulnya dari belakang. "Pagi, Rin!" "Astagfirullah!" Shirin ber-istigfar seraya mengelus dada. Mia cekikikkan. Namun, dengan cepat tawanya memudar kala menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu. "Lo gak papa, Rin? Gue gak kekencengan, 'kan?" Shirin menggeleng cepat dan mengibaskan tangannya. "Enggak, enggak apa-apa. Ayo, ke kelas aja." Mia tidak merespons dan langsung mengikuti langkah
Shirin meraba jaket di punggungnya, lembut, dan hangat. Kemudian, suara dehaman seorang lelaki terdengar. Seorang lelaki berambut cokelat melangkah melewati dan memunggunginya. Tersadar akan sesuatu, Shirin berdiri dan segera menghapus air matanya. Ia meraih jaket di punggungnya dan menyodorkannya pada lelaki itu. "M-maaf, ini jatuh." Lelaki yang tak lain adalah Athalas Fernan itu menoleh seraya mengerutkan dahi. "Hah?" "Ini jatuh." Shirin mengulangi, sambil menggoyangkan tangannya yang memegang jaket hitam itu. Atha masih mengernyit dan tatapan bingungnya berubah menjadi aneh. Ia menuding Shirin. "Lo pikir gue gak sengaja jatuhin jaket itu tepat di punggung lo?" Shirin mengangguk.
"Jangan deket-deket!" Shirin mengingatkan dengan suara yang seharusnya lantang dan berani, tetapi ia benar tentang tenggorokan yang kering—tak ada suara yang keluar dari mulutnya. "Kenapa, Manis?" tanya lelaki itu, dan suara tawa liar menyusul. Shirin memasang kuda-kuda, kaki terbuka, dengan panik berusaha mengingat-ingat jurus beladiri yang ia tahu. Kepalan tangan siap dilayangkan, semoga bisa mematahkan hidung atau menghantam kepala dua lelaki itu. Namun, sebelum sempat menyerang, sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar dan melemparnya ke trotoar. Shirin berlari ke tengah jalan—mobil ini akan berhenti atau malah menabraknya? Mobil hitam itu tak disangka-sangka menukik, lalu berhenti dengan salah satu pintu terb
Keesokan harinya, adalah hari kasih sayang. SMA Generasi Bangsa punya tradisi tersendiri untuk merayakannya. Yaitu semua warga sekolah wajib bertukar cokelat untuk orang yang disayanginya. Baik itu teman, sahabat, pacar, ataupun guru.Shirin merasa suasana sekolah lebih riuh dari biasanya. Pagi ini, Mia menemukan laci mejanya penuh dengan cokelat dan bunga. Stevany menolak mentah-mentah tiga orang lelaki yang menembaknya. Joy ikut bernyanyi dangdut di kantin bersama para jomlo. Abi yang diam-diam membuang cokelat dari para fans-nya. Serta Shirin.Shirin menatap cokelat bermerek di tangannya, kemudian menatap pintu kelas XII IPA 2 yang terbuka lebar seolah ingin memakannya hidup-hidup. Shirin meneguk ludah dan kakinya bergerak-gerak gelisah memerhatikan Aldiaz yang duduk di kursi paling belakang.Aldiaz masih asyik membaca buku seolah tidak menyadari Shirin. Beberapa gadis bergantian datang ke meja Al untuk sekedar menyod
Mata Willa memicing menatap Athalas yang masih sibuk dengan ponselnya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Namun, kedua orang itu seakan enggan beranjak."Lo gak pulang?" tanya Atha pada akhirnya.Willa berdecak. "Gue mau ngomong sama lo. Peka, kek.""Yaudah, ngomong aja," jawab Athalas tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel."Lo anak jurnal, 'kan?"kali ini Athalas meletakkan ponselnya dan menatap wajah cantik Willa. Tatapannya datar seolah menusuk. "Lo mau apa?"Willa tersenyum.***Mobil mulai memasuki kawasan yang asing. Jalan aspal tampak usang dan terlihat sedikit retak. Pohon tabebuya kuning terbentang di sisi-sisi jalan. Shirin tidak tahu sudah berapa lama mereka berkendara, pinggangnya terasa pegal, dan sepertinya, ini di luar kota Jakarta.Shirin mencoba merenggangkan tubuhnya dan bersenandung memandang sekitar."Kamu gak takut?" suara
"Kayak kamu bisa ngelawan aku aja." Shirin duduk tak bergerak dan merasa lebih takut pada Al daripada selama ini. Ia tak pernah melihat Al begitu bebas membuka topeng ketenangannya seperti ini. Tak tahu bagaimana caranya Al bisa sekuat dan secepat itu. Siapa dia sebenarnya? "Dia sakit." "Dia bisa bunuh perasaan maupun fisik lo kapan pun." Perkataan Athalas kembali terlintas di otak Shirin. Shirin kembali melirik ponsel, tetapi ia tak bisa bergerak untuk menyalakannya dan menghubungi Mia. Dengan wajah pucat dan mata membelalak, Shirin duduk bagai burung yang siap dimangsa ular. Mata Aldiaz yang indah seolah berkilat-kilat karena perasaan senang yang meluap-luap. Ketika detik demi detik berlalu, percikan itu memudar. Ekspresinya perlahan berganti menjadi kesedihan. "Jangan takut," gumamnya. Suara lembutnya tak disengaja terdengar menggoda. "Aku janji ... aku janji gak akan melukai kamu." Ia kelihatan lebih ingin meyakinkan diriny
"Kak Atha." Shirin kembali bicara. "Sebenernya, Kak Al itu sakit apa?"Athalas diam dan menatap Shirin untuk waktu yang lumayan lama.Namun, saat ia hendak membuka mulut, pintu rooftop dibuka kencang. Aldiaz berdiri dengan sebelah telapak tangan menempel pada pintu, angin berembus menerbangkan helaian rambutnya.Athalas bangkit, mengambil hand bag yang dibawa Shirin, dan berjalan menuju pintu. "Bukan urusan lo," jawabnya. Sebelum pergi, ia sempat menabrakkan bahunya ke Al.Aldiaz masih diam, bahkan saat Athalas sudah menghilang di balik pintu. Cowok itu menunduk dalam.Shirin mengusap lengan, ekspresinya menyesal. "Maaf," bisiknya.Aldiaz menggeleng. Namun, tanpa mengucapkan apa pun, lelaki itu berbalik dan melenggang pergi.Bahu Shirin merosot dan tak habis pikir. Aldiaz bahkan tidak menatapnya sama sekali. Apa kali ini ... Al benar-benar marah padanya?***S
"Gue gak bisa pura-pura lagi." suara Mia sedikit bergetar.Willa menepuk-nepuk bahunya. "Tenang aja, Mia. Lo cuma harus lakuin apa yang gue suruh. Habis itu, semua bakal baik-baik aja.""Lo mau gue ngelakuin apa?" tanya Mia, dan kali ini tatapannya datar.Senyum Willa kembali mengembang, ia mendekat dan berbisik tepat di telinga Mia."Soal film yang dibuat sama tim jurnalis sekolah ...."***Abi tersenyum puas melihat rekaman video yang dibuatnya. Matanya melirik Willa dan Mia yang sudah menghilang tertelan keramaian koridor. "Kena lo, Wil!" gumamnya. "Kalau Al tau, dia pasti mati."Valen geleng-geleng kepala. "Jangan kasih tau Al.""Lah, kok gitu, sih?" Abi memrotes. "Buat apa gue rekam kalau si Al gak boleh tau?""Al itu kalau marah gak main-main." Valen memukul kepala Abi dengan sendok bersih. Ia membuang muka dan memelankan suara. "Kalau beneran kejadian, langsung