Share

Bab 6 : Seenaknya

Saat sampai di kelas, Bu Dewi menyambut Shirin dengan tatapan datarnya. Meski diizinkan masuk untuk mengikuti pelajaran, istriahat kali ini harus Shirin habiskan untuk mengepel lantai lobi gedung utama. Mia sendiri sudah pergi ke kantin sejak bel istirahat berbunyi, dan semua ini, karena lelaki sok ganteng yang memaksanya membicarakan hal tak penting.

Shirin mengembuskan napas sambil mulai mengepel dan menggerutu dalam hati. Apa hanya karena mereka tampan, terkenal, dan menjadi most wanted sekolah membuat mereka bisa melakukan hal seenaknya? Seperti menarik Shirin ke sana-kemari, hingga akhirnya disuruh pergi. Shirin sendiri yakin setelah ini, baik Aldiaz atau Athalas pasti akan bersikap seolah tak mengenalnya.

Seolah Shirin ... barang sekali pakai saja.

Namun, segala pemikiran Shirin terpecah, seolah dunia berkata lain saat matanya menangkap Aldiaz bersandar ke pilar lobi sambil mengamatinya dengan senyum. Shirin tertegun dan seketika pergerakannya terhenti.

***

Saat bel istirahat berhenti berbunyi, Mia sudah duduk santai di kantin dan memesan makanan. Mia tidak suka menunggu atau mengantre, karena itu ia ke kantin duluan.

Athalas dan Aldiaz yang baru datang ke kantin membuat senyum Mia terkembang. Gadis itu melambaikan dan tangan membuat dua lelaki itu menghampirinya.

"Siang, Mia," sapa Atha seraya duduk di depan Mia. Aldiaz duduk di sampingnya, keduanya mengeluarkan kotak bekal masing-masing.

"Tumben bawa bekal." Mia mencibir sebelum melahap baksonya. Melirik menu bekal Atha dan Al yang sama, ia tersenyum mengejek. "Al, Ath, kalian ... couple?"

"Najis!" Atha dan Al sama-sama mendecih.

"Tapi kok, itu bekalnya sama?" Mia bertanya lagi, sambil sesekali menyuap makanannya.

"Ini dari Shirin." Atha menjawab membuat Mia otomatis tersedak.

"Hah? Dia ngasih sendiri ke kalian?"

"Awalnya, sih, dia kayak gengsi gitu." Athalas mendengus. "Tadinya Abi juga dapet, tapi dia gak mau, soalnya udah dapet bekal dari gebetannya."

"Asik, ngomongin gue." Abi yang baru datang dengan bekal yang dibawanya cengengesan. Ia duduk di sebelah Mia.

"Ih, Abi, sombong banget, lu." Mia mendelik ke Abi dan menendang kakinya pelan. "Tapi, lo beneran udah ada gebetan?"

"Iya, udah ada. Namanya Valen." Abi memutar bola mata. "Lo bisa gak, sopan dikit? Bar-bar banget, gue kakak kelas, loh."

"Tapi gue gak nanya, gimana, dong?" Mia menggigit bibir setelah mengatakannya. Jika Abi memiliki gebetan, maka besok bisa dipastikan bahwa Abi ...,

"Asik ribut." Al tersenyum jahil, tetapi kemudian membenarkan posisi duduknya. "Eh, btw, Shirin mana?"

"Ngapain nyariin dia?" Atha langsung nimbrung.

Al mendelik menjauh. "Suka-suka gue, Bujang. Katanya lo gak naksir."

Atha melotot, ingin membalas perkataan Al jika Mia tidak lebih dulu menjawab. "Dia lagi bersihin lantai lobi, dihukum karena telat masuk jam pertama."

Mendengar jawaban Mia, Atha dan Al tersedak.

Atha menampar pelan pipi Aldiaz. "Kenapa lo juga ikutan keselek, bambang?"

Aldiaz tidak menjawab dan meneguk ludah saat Mia menatap sinis ia dan Atha. "Gara-gara kalian, 'kan?" tanya Mia.

"Eng-enggak." Atha mengelak, sementara Al langsung merapikan bekalnya dan bangkit berdiri.

Ketiga orang yang duduk di meja menatap Aldiaz dan membuatnya otomatis berkata, "Gue duluan."

Tanpa menunggu respons, Aldiaz mengambil langkah lebar menyusuri koridor yang langsung mengarah ke lobi. Senyumnya terkembang saat menemukan sosok Shirin.

Para siswa berlalu-lalang entah ingin ke mana. Shirin terlihat menghela napas melihat lantai yang baru saja dipel kotor lagi karena terinjak-injak. Padahal, tanda lantai basah sudah terpasang.

Dengan gontai, Shirin berjalan dan kembali mengepel.

Aldiaz hanya memerhatikan sambil bersandar ke pilar lobi. Senyumnya berubah remeh saat Shirin berhasil menemukannya. Al melepaskan posisi nyamannya dan menghampiri gadis itu. "Eits, mau ke mana?" Aldiaz menghadang tiga orang gadis yang sudah tiga kali bulak-balik di sana.

Shirin hanya menoleh sekilas sebelum melanjutkan pekerjaannya. Selalu saja seenaknya.

"Eh, ada kak Al." Salah satu gadis bersuara. "Ini … kami mau ke—"

"Liat tanda lantai basah di situ, gak?" masih dengan senyum yang terukir di wajah, Al memotong. Ia menunjuk tanda lantai basah yang ada di kakinya. Gadis yang diajak bicara meringis, hanya diam, dan menggumamkan kata ‘maaf’.

Al mendorong bahunya hingga gadis itu termundur. "Minggir lo, minggir!"

Setelah tiga gadis itu pergi dan tak kembali ke lobi lagi, Al menoleh pada Shirin dan tersenyum lebar seraya mengarahkan tinju ke atas. "Semangat!"

Bukannya mengucapkan terima kasih, Shirin menatapnya datar seraya berkata pelan. "Pergi."

Senyum Aldiaz menghilang mendengar jawabannya. Ia menoleh dengan tatapan tajam, maju menghadap Shirin—tak peduli dengan lantai yang baru saja dipel. Al tersenyum sinis. "Bisa, gak, kalo udah ditolong itu ucap terima kasih?"

Shirin diam dan tatapan redupnya jatuh ke lantai kotor. Enggan balas menatap Al. Tangan Aldiaz yang meraih dagu Shirin pun Shirin tepis kasar. "Jangan sentuh aku seenaknya!"

Kali ini wajah Aldiaz berubah datar. Mata onyx-nya seakan berubah menjadi hitam pekat. Detik berikutnya, ia menendang ember pel dengan keras hingga air kotor yang ada di dalamnya tumpah. Shirin memejamkan mata rapat saat cipratan air mengenai seragamnya, sementara Aldiaz malah tersenyum manis. "Kerja yang bener," ucapnya sebelum melenggang pergi.

Para siswa yang ada di sana cekikikan melihat Shirin yang kacau. Wajah Shirin sudah tak berekspresi. Bukan karena takut pada Aldiaz, melainkan karena sialnya hari ini.

***

Aldiaz mengacak-acak rambutnya frustasi. Abi dan Atha hanya bertopang dagu. Walau malas, tetapi tetap memerhatikannya.

"Bego banget, bego banget, bego banget." entah sudah berapa kali lelaki itu mengatakannya. Gesturnya gelisah, bahkan ia sampai sesekali membenturkan kepalanya ke dinding. "Dia pasti capek ngepel sendirian," ucapnya, kemudian berdiri hendak keluar kelas.

Namun, belum mencapai pintu, Al kembali ke tempat duduknya. "Tapi nanti gue mau ngomong apa sama dia? Dia pasti takut sama gue ...." lagi, Aldiaz mengacak-acak rambutnya frustasi.

Atha dan Abi saling melirik malas.  Mereka sudah terbiasa dengan penyesalan Aldiaz setiap kali berkenalan dengan orang baru—emosi Aldiaz yang tak terkendali dan membuatnya sering kali ditakuti.

"Oy, gimana, nih?" Aldiaz meminta bantuan.

"Minta maaf," jawab Abi malas.

"Ya, gimana?"

Atha berdecak. "Ya, minta maaf."

"Ah, gak guna lo berdua!" decak Al. Ia bergegas keluar, sementara Abi dan Atha hanya menghela napas.

Tujuan Aldiaz adalah kantin, ia membeli sekaleng minuman. Pergerakannya terhenti kala melihat Shirin datang dan meletakkan ember pel di samping toilet kantin. Menatap minuman di tangannya dan Shirin bergantian, Aldiaz akhirnya menghampiri Shirin dan menyodorkan minuman itu.

Shirin hanya menatapnya dan ekspresinya terlihat lelah.

Aldiaz mengusap tengkuknya canggung. "Maaf, tadi itu aku—"

"Gak apa-apa, aku ngerti ...." jawab Shirin dan tersenyum seadanya. "Orang terpandang selalu bersikap seenaknya."

"Bukan gitu." Aldiaz menggeleng dan ekspresinya menyesal. "Maafin aku, tadi itu aku lagi emosi aja."

"Udahlah, aku udah maafin." Shirin memaksakan senyum dan menepuk bahu Al. "Gak apa-apa."

Mata Aldiaz nanar menatap punggung Shirin yang menjauh darinya. Kemudian, menatap tangannya yang masih setia menyodorkan minuman. Apa benar ia bersikap seenaknya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status