🏵️🏵️🏵️
Tidak puaskah mereka mengobrak-abrik hatiku? Mereka bersikap seolah-olah tidak melakukan kesalahan. Apa mungkin mereka sengaja ingin melihatku menderita? Perbuatan Mas Arga tadi pagi telah membuatku ketakutan, sekarang istrinya kenapa tiba-tiba ke rumahku?
Mungkin sebaiknya aku pura-pura tidak mendengar panggilan Shanti untuk menenangkan hati. Entah kenapa setiap melihat wajahnya, pengkhianatan Mas Arga yang langsung menari-nari di kepalaku. Pasangan suami istri itu mampu menjatuhkan mentalku.
“Untuk apa kamu ketemu suamiku?” Apa? Shanti melontarkan tuduhan seperti itu kepadaku? Aku tidak mungkin tetap berpura-pura tidak mendengar apa yang keluar dari bibirnya. Aku pun berbalik arah. Ternyata ia kini telah berdiri di dekat Bunda.
“Maksud kamu apa?” tanyaku kepada wanita itu. Aku baru kali ini memperhatikan perutnya. Ternyata sudah besar.
“Kamu belum bisa move on dari Mas Arga?” Sungguh, aku benar-benar kesal dengan tuduhannya.
“Sebelum kamu nuduh, tanya dulu suamimu.” Aku hanya melontarkan kalimat itu karena tidak ingin berdebat dengannya. Aku pun memilih memasuki rumah.
“Kamu mau jadi pelakor?” Itu tuduhan yang kesekian, tetapi aku tidak peduli. Aku lebih baik menjauhkan diri darinya.
Aku berusaha tegar dan berpura-pura kuat di depan Mas Arga dan Shanti. Namun, mereka tetap saja berusaha ingin menyakitiku. Mereka seolah-olah belum puas melihat penderitaanku. Aku yang tersakiti, tetapi sikap yang mereka tunjukkan seakan-akan aku yang telah menyakiti.
Air mataku kembali terjun bebas dari tempatnya tanpa diminta. Baru saja aku merasa diperhatikan oleh orang yang baru aku kenal, tiba-tiba harus menerima tuduhan menyakitkan dari tetangga yang juga merupakan wanita pilihan mantan kekasihku.
Aku segera menghapus air mata yang telah membasahi pipi, lalu merebahkan tubuh ke tempat tidur. Aku tidak habis pikir kenapa Shanti menuduhku bertemu dengan Mas Arga, padahal suaminya itu yang telah mengusik hidupku.
Aku sama sekali tidak ingin memiliki urusan lagi dengan Mas Arga. Walaupun rasa cinta itu masih ada untuknya, tetapi aku akan berusaha menguburnya dalam-dalam. Kisah di antara kami telah berakhir. Harusnya dirinya tidak perlu lagi menjelaskan apa pun kepadaku.
“Sayang, Bunda boleh masuk?” Aku mendengar suara Bunda dari balik pintu kamar.
“Masuk aja, Bun.” Aku pun memilih duduk dari rebahan.
Wanita cantik itu pun membuka pintu, lalu berjalan ke arahku, kemudian duduk.
“Kamu baik-baik aja, Sayang?” tanya Bunda sambil mengusap kepalaku.
Aku tidak ingin melihat beliau sedih. “Iya, Bun,” jawabku. “Apa Shanti udah pergi?”
“Udah. Tapi Bunda kesal dengan tuduhannya.”
“Dia bilang sesuatu ke Bunda?”
“Iya, Sayang. Dia minta Bunda untuk nasihatin kamu agar tidak mengganggu suaminya.” Aku sangat kesal mendengar penuturan Bunda. Bisa-bisanya Shanti mengeluarkan kalimat seperti itu kepada wanita yang sangat aku sayangi. Aku tidak bisa diam saja jika orang lain membuat Bunda sedih.
“Ini nggak bisa dibiarin, Bun.” Aku pun berdiri karena ingin menemui Shanti, tetapi Bunda langsung meraih tanganku.
“Jangan, Sayang. Nggak perlu. Kamu duduk lagi, ya. Tenangkan hatimu.” Aku pun luluh mendengar permintaan Bunda.
Setelah aku duduk, wanita itu mengusap-usap punggungku. Terus terang, aku merasa bersalah karena telah membuat Bunda sedih. Saat Mas Arga mengakhiri hubungan kami, Bunda kala itu tidak terima karena takut jika aku berbuat nekat.
Bunda menenangkan aku saat itu dan berjanji akan memperkenalkan anak sahabatnya untuk menggantikan Arga. Namun, aku meyakinkan Bunda kalau aku baik-baik saja walaupun tidak berjodoh dengan Mas Arga.
“Bunda tenang aja, Nay nggak apa-apa, kok. Mungkin Mas Arga bukan yang terbaik untuk Nay. Jadi, kami tidak ditakdirkan untuk berjodoh.” Aku berusaha tegar di depan Bunda walaupun kenyataannya, aku sangat rapuh.
🏵️🏵️🏵️
Hari ini Minggu, Om Wawan dan Tante Widi berkunjung ke rumahku. Namun, kunjungan kali ini berbeda dari biasanya. Pasangan itu membicarakan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sama sekali. Mereka bahkan mengaku kalau tujuan mereka mampir ke rumahku berhubungan dengan Raka.
Om Wawan mengaku telah menceritakan apa yang kualami saat ini kepada wali muridku tersebut. Ternyata dugaanku benar. Pantas saja saat Raka menolongku dari kenekatan Mas Arga, ia bersikap seolah-olah tahu tentang penderitaanku.
“Raka dan orang tuanya ingin ke sini, Nay.” Om Wawan melihat ke arahku. Sementara Ayah dan Bunda tampak bingung. Mungkin karena mereka belum mengenal Raka.
“Untuk apa, Om?” tanyaku heran.
“Ingin dekat denganmu.” Tante Widi yang memberikan jawaban.
“Tapi kami baru kenal, Tante. Itu juga sebatas guru dan wali murid.” Aku makin tidak mengerti dengan penuturan Tante Widi.
“Raka? Siapa dia, Sayang?” Bunda yang sejak tadi hanya sebagai pendengar, tiba-tiba membuka suara.
“Ayah juga belum pernah dengar kalau Nay punya kenalan yang bernama Raka.” Ayah turut menimpali.
Om Wawan akhirnya menjelaskan tentang Raka kepada Ayah dan Bunda. Pria itu juga menceritakan kalau Raka tertarik, bahkan menyukaiku. Mungkinkah secepat itu seseorang yang baru kenal memiliki ketertarikan? Sementara Mas Arga yang telah menjalin hubungan denganku beberapa tahun lamanya, tiba-tiba menikahi wanita lain. Itu artinya, ia tidak tertarik lagi kepadaku.
Walaupun aku terpesona dengan sikap yang Raka tunjukkan dalam beberapa hari ini, tetapi aku masih ragu membuka hati untuknya. Aku takut jika dirinya akan menjauh setelah kami dekat. Apa yang Mas Arga lakukan membuatku sulit untuk percaya kepada laki-laki.
“Maaf, Om, Tante … Nay belum siap membuka diri untuk laki-laki saat ini. Nay masih harus menata hati atas apa yang terjadi terhadap Nay.” Aku meminta maaf kepada Om Wawan dan Tante Widi sambil menangkupkan kedua tangan di depan mereka.
“Sayang ….” Bunda menggenggam jemariku. “Izinkan laki-laki yang bernama Raka lebih mengenalmu. Dia memiliki niat ke sini bersama orang tuanya, itu perbuatan hebat. Itu artinya, dia ingin orang tuanya tahu siapa gadis yang dia suka.”
Aku terdiam mendengar penjelasan Bunda. Aku akui kalau apa yang ingin Raka lakukan benar-benar sangat langka. Biasanya kalau seseorang menyukai lawan jenisnya, akan melakukan pendekatan sendiri, lalu mengutarakan cinta hingga mereka menjalin hubungan. Itu yang Mas Arga lakukan dulu kepadaku.
“Benar kata Bunda kamu, Nak. Berikan Raka kesempatan untuk mengenalmu lebih dekat. Ayah berani bicara seperti ini karena Om Wawan dan Tante Widi yang memberitahukan tentang pemuda itu.” Aku melihat adanya harapan di wajah Ayah. Beliau pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.
“Raka itu ponakan saya, Pak Ihsan.” Om Wawan kembali membuka suara.
“Apa? Kenapa Pak Wawan baru cerita?” Ayah menunjukkan senyumnya.
“Saya kirain Nay udah cerita, makanya saya tadi bicara langsung ke intinya.”
“Apa lagi yang kamu pikirkan, Sayang? Ternyata pemuda yang ingin dekat denganmu ponakan Om Wawan. Teman Ayah kamu sejak dulu.” Bunda mengusap-usap punggungku.
Mungkin ada benarnya dengan apa yang Ayah dan Bunda katakan. Lebih baik aku menerima kedatangan Raka dan orang tuanya. Siapa tahu dengan cara itu, aku bisa membuka diri untuknya dan segera menghapus Mas Arga dari hatiku yang paling dalam.
Aku lelah dituduh mendekati suami orang. Tidak hanya sekali atau dua kali, Shanti melontarkan tuduhan menyakitkan itu kepadaku. Ia dengan tega mengatakan kalau aku ingin merebut Mas Arga darinya. Mungkin wanita tersebut lupa, justru dirinya yang telah melakukan hal itu.
“Baiklah, Nay bersedia.” Aku pun dengan yakin mengucapkan persetujuan itu dari bibirku.
Ayah dan Bunda tampak bahagia, begitu juga dengan Om Wawan dan Tante Widi. Mereka sangat lucu karena telah mengkhayalkan sesuatu yang terasa menggelikan di telingaku. Mereka mengaku kalau hubungan yang terjalin saat ini bukan hanya sekadar teman, tetapi hubungan keluarga.
Tiba-tiba aku dikagetkan getaran pesan masuk dari ponselku yang sejak tadi aku genggam. Aku melihat benda pintar itu, terdapat nama Mas Arga. Ia selalu saja mengubah perasaanku.
[Kamu ingat hari ini sangat penting untuk kita, Nay?]
==========
Apa yang ingin Arga sampaikan kepada Kanaya?
🏵️🏵️🏵️ Tanpa diingatkan pun, aku tahu ini hari penting untukku dan Mas Arga sebelum dirinya berkhianat. Tanggal ini merupakan awal kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih lima tahun yang lalu. Di mana saat itu, ia mengutarakan perasaannya kepadaku. Akan tetapi, untuk apa ia masih mengingatkan aku tentang hal itu? Itu tidak pantas lagi karena dirinya sekarang telah berstatus sebagai suami dari wanita lain. Apa yang ada dalam pikirannya? Ia yang mengakhiri hubungan kami, tetapi ia juga yang masih berusaha mengusikku hingga detik ini. Entah apa lagi yang akan aku lakukan agar ia benar-benar tidak menggangguku lagi. Mungkin pilihanku untuk menerima kedatangan Raka dan orang tuanya sudah tepat. Semoga setelah Mas Arga melihat kedatangan mereka ke rumah ini akan membuatnya sadar bahwa kami hanya masa lalu. “Siapa, Sayang?” tanya Bunda hingga membuyarkan lamunanku. Apa mungkin beliau menyadari perubahan wajahku? “Bukan siapa-siapa, Bun.” Aku sengaja tidak mengatakan yang seben
🏵️🏵️🏵️ Pagi ini, aku kembali melakukan aktivitas seperti biasanya. Aku melajukan kendaraan roda dua milikku hingga tiba di sekolah Novia. Aku tersenyum setelah kembali membelah jalanan karena melihat mobil Raka mengikutiku dari belakang. Aku sempat berpikir bahwa duniaku akan terasa hampa setelah Mas Arga memilih menikahi Shanti. Ternyata aku salah karena kenyataannya saat ini, ada pemuda yang jauh lebih perhatian dan peduli terhadapku dibanding apa yang Mas Arga lakukan dulu. Aku berharap bahwa sikap yang Raka tunjukkan saat ini, benar-benar tulus dari hatinya yang paling dalam. Semoga ini tidak hanya sekadar usaha karena ingin menarik simpatiku. Aku takut jika kegagalan dalam menjalin hubungan kembali menghampiriku. “Maaf, saya hanya ingin menyampaikan kalau besok saya akan mengikuti Ibu saat berangkat ngajar.” Raka membuatku tersentuh tadi malam. Ia mengaku ingin menjagaku dari hal-hal yang tidak terduga. Ia khawatir jika Mas Arga kembali menggangguku seperti kala itu. Aku
🏵️🏵️🏵️ Ternyata seperti ini rasanya didekati laki-laki yang langsung melibatkan keluarga. Pertemuan singkat antara aku dan Raka mampu meyakinkan dirinya untuk lebih mengenalku. Aku sangat terharu dan merasa dihargai. Sekarang, aku sudah yakin untuk memenuhi panggilan Om Wawan dan Tante Widi ke ruang tamu. Apa pun rencana mereka berkunjung hari ini, aku pasti bisa memberikan keputusan. Aku juga harus memikirkan perasaan Ayah dan Bunda. Akhirnya, aku dan Bunda segera melangkah menuju ruang tamu. Hampir semua mata tertuju kepadaku. Ini benar-benar kejutan luar biasa. Keluarga Raka sepertinya telah mempersiapkan tujuan mereka ke rumah ini. Mereka membawa banyak barang seperti ingin melakukan lamaran. “Ini anak kami, Pak, Bu.” Bunda memegang pundakku sambil memperkenalkan diriku kepada keluarga Raka. “Ternyata pilihan Raka nggak salah.” Aku mendengar celetuk seorang wanita yang usianya sepertinya masih di atasku. Apa mungkin ia kakaknya Raka? “Ibuuu.” Nayla tiba-tiba menghampiriku,
🏵️🏵️🏵️ Siapa yang mengirim pesan kepadaku? Aku merasa tidak pernah merebut sesuatu yang bukan hakku. Aku selalu bersikap sesuai dengan nasihat Ayah dan Bunda. Mungkin nomor yang mengirim pesan itu salah kirim. Bisa saja pesan itu ditujukan bukan untukku. Lebih baik aku mengabaikannya dan memilih merebahkan tubuh supaya besok pagi lebih bersemangat dalam melanjutkan aktivitas. Lagi pun, aku harus tampak segar saat Raka menjemputku karena ia juga selalu kelihatan memesona setiap bertemu denganku. Mulai sekarang, aku harus menyeimbangkan penampilan dengannya. Aku tahu kalau dirinya merupakan CEO di perusahaan keluarganya. Om Wawan dan Tante Widi yang menceritakan tentangnya kepadaku. Saat aku mencoba memejamkan mata, nada telepon masuk mengagetkanku. Apa mungkin nomor yang tadi kembali menghubungiku karena tidak membalas pesannya? Apa sebaiknya aku biarkan saja ponsel itu berdering supaya yang menelepon berhenti menghubungiku? Tidak! Kenapa aku bersikap seolah-olah kalau apa yang
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak mengerti kenapa tuduhan menyakitkan itu ditujukan kepadaku. Siapa pengirim pesan itu? Apa sebaiknya aku mengirimkan balasan lalu bertanya siapa dirinya? Kenapa ia menganggapku mengambil miliknya? Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Raka tadi malam? Apakah wajar jika aku memberitahukan tentang pesan ini kepadanya? Apa aku tidak terlalu lancang? Aku sadar kalau kami berdua baru menjalin hubungan. Ini benar-benar membingungkan. “Ada apa? Kenapa wajah kamu seperti itu?” Raka kembali bertanya. Apa yang harus aku lakukan? “Saya ….” “Siapa yang kirim pesan?” Ia pun menepi lalu menghentikan mobilnya. “Itu ….” “Kamu kenapa, Naya?” Sekarang, ia menyebut namaku tanpa kata ‘Ibu’? “Bukan siapa-siapa, Pak.” Akhirnya, aku memilih untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya. “Kenapa kamu ketakutan?” Ternyata ia bisa melihat rasa takut yang menghampiriku saat ini. “Boleh saya lihat handphone kamu?”Sepertinya ia tetap ingin tahu karena melihat perubahan sikapku. Aku tidak me
🏵️🏵️🏵️ Sekarang aku ingat kalau nama yang Raka sebut tadi adalah tetangga masa kecilku. Apa mungkin orang yang sama? Saat SD kelas enam, tetanggaku tersebut mengaku pindah ke luar kota karena papinya mendirikan perusahaan di sana. Mereka akhirnya menjual rumah yang sekarang ditempati Tania—sahabat karibku. Jika benar Clara yang Raka maksud adalah tetanggaku, apa ia tidak mengenaliku lagi? Ya, mungkin wajar kalau seandainya ia tidak ingat lagi dengan wajahku karena sejak keluarganya pindah ke luar kota, kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Akan tetapi, aku berharap kalau Clara yang sedang berbicara di telepon dengan Raka, bukan sahabat masa kecilku. Aku harus membuang jauh-jauh pemikiran yang mengganggu hatiku. Aku yakin kalau Clara yang aku kenal, bukan seseorang yang ambisius hingga berani mengirim pesan aneh. “Dia Clara, wanita yang terobsesi pada saya,” ucap Raka setelah mematikan telepon. “Apakah dia yang mengirim pesan pada saya?” tanyaku penasaran. “Iya. Tapi kamu nggak
🏵️🏵️🏵️ Clara yang kini berdiri di depanku tidak mungkin sama dengan Clara yang Raka maksud. Mungkin saja namanya kebetulan sama. Aku harus menepiskan pemikiran yang membuatku bertanya-tanya. Lebih baik aku mengajaknya duduk dan berbincang untuk melepas rasa rindu. Pertemuan dengannya benar-benar kejutan menurutku. Setelah memikirkan dirinya kemarin, aku akhirnya melihat wajahnya sekarang. Seandainya Bunda di sini, beliau pasti akan senang melihat keberadaan Clara. Dulu, Bunda sering memintaku mengajak Clara bermain dan bahkan makan di rumah karena orang tuanya sangat sibuk dengan karir. Papi dan maminya lebih fokus mengurus perusahaan mereka. Namun sayang, usaha itu akhirnya pailit hingga mereka memilih pindah ke luar kota untuk mecari peruntungan dan mengubah nasib. Jika dilihat dari penampilan Clara saat ini, sepertinya keuangan mereka telah kembali di puncak. Aku turut bahagia melihat keadaannya yang sekarang karena aku sangat sedih ketika dirinya dulu pernah berada di posisi
🏵️🏵️🏵️ Sebulan berlalu, aku dan Mas Raka akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Aku sangat terharu saat acara ijab kabul tadi. Ia sangat lantang melafalkannya tanpa ada keraguan ataupun gugup. Kini, kami sedang menikmati jadi raja dan ratu sehari di pelaminan. Aku tidak menyangka kalau tamu undangannya sangat ramai. Mungkin saja karena keluarga Mas Raka memiliki usaha hingga rekan-rekan kerjanya turut menghadiri acara resepsi pernikahan kami. Teman-teman Mas Raka saat masih kuliah, juga turut hadir. Sementara aku hanya mengundang beberapa teman sekolah dan kuliah saja. Untuk teman kerja, Om Wawan yang memberikan undangan. Aku juga tidak lupa mengundang Mas Arga dan Shanti. Namun, sangat disayangkan karena hingga sore ini, pasangan itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. “Selamat, ya, Nay.” Bunga—sahabat terdekatku di kampus, menyalamiku lalu kami berpelukan. Ia datang bersama Pak Ezza—suaminya yang juga merupakan dosen di kampus kami. Jadi, Bunga menikah dengan dosenn