🏵️🏵️🏵️
Tanpa diingatkan pun, aku tahu ini hari penting untukku dan Mas Arga sebelum dirinya berkhianat. Tanggal ini merupakan awal kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih lima tahun yang lalu. Di mana saat itu, ia mengutarakan perasaannya kepadaku.
Akan tetapi, untuk apa ia masih mengingatkan aku tentang hal itu? Itu tidak pantas lagi karena dirinya sekarang telah berstatus sebagai suami dari wanita lain. Apa yang ada dalam pikirannya? Ia yang mengakhiri hubungan kami, tetapi ia juga yang masih berusaha mengusikku hingga detik ini.
Entah apa lagi yang akan aku lakukan agar ia benar-benar tidak menggangguku lagi. Mungkin pilihanku untuk menerima kedatangan Raka dan orang tuanya sudah tepat. Semoga setelah Mas Arga melihat kedatangan mereka ke rumah ini akan membuatnya sadar bahwa kami hanya masa lalu.
“Siapa, Sayang?” tanya Bunda hingga membuyarkan lamunanku. Apa mungkin beliau menyadari perubahan wajahku?
“Bukan siapa-siapa, Bun.” Aku sengaja tidak mengatakan yang sebenarnya karena mengingat Om Wawan dan Tante Widi yang masih bersama kami.
“Tapi kenapa wajah kamu ditekuk gitu?” Sepertinya Bunda belum puas mendengar jawabanku.
“Ini orang iseng, Bun.” Semoga Bunda tidak bertanya lagi.
Akhirnya, Om Wawan kembali membuka obrolan hingga Bunda pun tidak melihat ke arahku lagi. Aku yakin kalau beliau pasti tahu kenapa sikapku tiba-tiba berubah. Akhir-akhir ini, Bunda sangat tahu kalau Mas Arga dan Shanti masih terus menggangguku.
Aku pun memilih menonaktifkan ponsel agar Mas Arga tidak menghubungiku lagi. Saat ini, aku ingin menenangkan diri untuk mendengar cerita Om Wawan dan Tante Widi. Mereka bercerita panjang lebar tentang Raka. Ternyata dugaanku tepat, usia pemuda itu dua tahun lebih tua dariku. Itu artinya, ia seumuran dengan Mas Arga. Kenapa aku harus memikirkan masa lalu lagi? Arrrggghhh!
“Satu hal yang Om sembunyikan dari kamu selama ini, Nay.” Om Wawan tiba-tiba tampak serius.
“Maksudnya apa, Om?” Aku penasaran.
“Sebenarnya, Raka udah lama kenal kamu.” Apa? Kenapa aku merasa tidak pernah melihat dirinya sebelum aku menjadi wali kelas keponakannya?
“Sejak kapan, Om?” Aku ingin mendengar penjelasan Om Wawan.
“Untuk itu, Om kurang tahu. Tapi selama ini, dia selalu bilang tertarik dengan seorang gadis yang tidak lain adalah kamu.” Aku tidak berhasil mendapatkan informasi lengkap tentang Raka dari Om Wawan, padahal aku benar-benar ingin tahu.
Jika memang Raka sudah lama tertarik kepadaku, kenapa ia diam saja selama ini? Apa mungkin sejak dulu ia tahu hubunganku dengan Mas Arga? Buktinya sekarang setelah aku tidak memiliki ikatan lagi dengan Mas Arga, ia tiba-tiba memasuki kehidupanku.
Selama ini, Om Wawan juga tidak pernah cerita kalau beliau memiliki keponakan. Aku bahkan tidak tahu tentang anak-anaknya. Sebelumnya, aku juga tidak terlalu dekat dengannya. Beliau mulai peduli dan bertanya tentangku kepada Ayah dan Bunda sejak aku menyusun skripsi.
Sampai akhirnya setelah aku wisuda, beliau pun memberikan tawaran untuk menemuinya ke sekolah tempatku mengajar sekarang. Apa mungkin laki-laki itu sengaja memberiku pekerjaan agar dekat dengan Raka?
“Kenapa bengong, Nay?” tanya Om Wawan kepadaku.
“Nay masih belum percaya dengan semua ini, Om. Nay nggak nyangka kalau ternyata keponakan Om udah lama kenal Nay.” Aku pun mengatakan apa yang kurasakan.
“Tante berharap kalian berjodoh.” Tante Widi membuka suara.
“Om juga sangat berharap. Raka anak baik, Nay. Om nggak bermaksud bangga-banggakan dia karena keponakan Om. Tapi kenyataannya, dia mampu melakukan yang terbaik untuk Nayla. Dia berhasil menjadi orang tua untuk Nayla.”
Sebenarnya, aku juga salut melihat cara Raka memperlakukan Nayla layaknya anak kandung sendiri. Aku akan mencoba menerima dirinya untuk menggantikan posisi Mas Arga di hatiku. Semoga kedekatan kami nanti akan segera menghapus rasa yang masih tersimpan untuk Mas Arga.
🏵️🏵️🏵️
Kini, aku memasuki kamar untuk istirahat. Setelah makan malam dan salat Isya tadi, aku beserta Ayah dan Bunda bersantai di ruang TV untuk menyaksikan acara favorit. Sementara Novia memilih belajar di kamarnya.
Aku segera meraih ponsel dari nakas. Sejak Mas Arga mengirimiku pesan tadi, aku belum mengaktifkan benda pintar itu. Aku pun menekan tombol disampingnya agar aku kembali menggunakannya.
Ternyata hati sedikit tenang jika tidak melihat ponsel dalam waktu beberapa jam. Sebenarnya, aku hanya tidak ingin diganggu oleh laki-laki yang pernah mengisi hatiku. Aku ingin menjalani hidup tanpa bayang-bayangnya dan wanita pilihannya.
Dugaanku benar, Mas Arga masih saja mengirim pesan bahkan meneleponku. Sungguh, aku benar-benar tidak mengerti apa maunya. Aku lebih baik mengabaikan pesannya karena ingin menjaga hati. Ia harus tahu kalau aku tidak peduli lagi kepadanya.
Aku kembali fokus melihat layar, ada pesan masuk dari Raka. Entah kenapa aku langsung tersenyum melihat namanya. Apa mungkin hatiku telah terbuka untuk menerima keberadaannya? Apalagi setelah aku tahu kebenaran tentang dirinya yang telah lama menyukaiku.
[Selamat malam, Bu. Maaf jika saya mengganggu. Saya hanya ingin bertanya, apakah Om Wawan telah menyampaikan pesan kepada Ibu?] Raka tetap saja memanggilku dengan sebutan yang sama saat berada di lingkungan sekolah tempatku mengajar.
[Sama sekali tidak mengganggu, Pak. Maaf, maksudnya pesan apa?] Aku hanya ingin memastikan walaupun Om Wawan telah bercerita tentang rencana Raka dan orang tuanya yang ingin berkunjung ke rumahku.
[Rencana kedatangan saya dan keluarga saya ke rumah Ibu besok sore.] Apa? Besok sore? Secepat itu? Om Wawan tidak memberitahukan kapan waktu Raka akan berkunjung.
[Besok sore, Pak?]
[Iya, Bu. Apa Ibu mengizinkan?]
Tidak mungkin aku menolak kedatangannya. Sementara Ayah dan Bunda sangat berharap agar aku mencoba membuka diri untuknya. Aku juga melihat pancaran kebahagiaan di wajah mereka setelah Om Wawan bercerita tentang Raka tadi. Di samping itu, aku juga terharu dengan perasaan Raka terhadapku selama ini.
Akhirnya, aku pun memberikan jawaban dengan yakin. [Iya, Pak. Saya bersedia.]
[Terima kasih, Bu.]
[Dengan senang hati, Pak.]
Apakah balasanku terlalu berlebihan? Apa mungkin Raka akan berpikir kalau aku bahagia menerima kedatangannya? Kenapa aku harus memikirkan hal itu? Kenyataannya, aku tidak merasa keberatan jika ia dan keluarganya berkunjung. Anggap saja mereka ingin menjalin silaturahim.
Ada apa denganku? Kenapa aku tiba-tiba merasakan sesuatu yang berbeda? Apa mungkin aku telah memiliki perasaan lebih terhadap Raka? Secepat itu? Sementara hati ini baru terluka akibat perbuatan Mas Arga.
Aku harusnya bersyukur karena bersedia menerima laki-laki lain setelah pengkhianatan Mas Arga. Mungkin ini merupakan cara agar aku tidak dipandang sebelah mata oleh Shanti. Wanita itu berpikir kalau aku ingin merebut suaminya.
“Makanya nikah, supaya nggak mikirin suami orang.” Aku mendengar celotehan Shanti tadi sore. Ia tidak langsung mengucapkannya kepadaku, tetapi aku yakin kalau sindiran itu ia tujukan kepadaku.
Aku mengusap dada mendengar tuduhannya. Terserah ia mau bilang apa karena kenyataannya, aku tidak pernah bermaksud untuk kembali menjalin hubungan dengan Mas Arga. Laki-laki itu hanya akan tetap menjadi masa laluku selamanya.
Lamunanku buyar mendengar nada panggilan masuk dari ponselku. Ternyata dari Raka. Bagaimana ini? Kenapa aku merasa deg-degan? Apa sebaiknya aku mengabaikan telepon darinya? Toh, kami akan tetap bertemu besok.
Akan tetapi, jika aku tidak menerima teleponnya, apakah ia akan tersinggung? Aku benar-benar bingung. Kenapa ia harus menelepon? Padahal, kami baru saling berbalas pesan. Apa ia kurang puas dengan jawabanku? Kenapa aku harus bertanya-tanya?
==========
Apa yang ingin Raka sampaikan kepada Kanaya?
🏵️🏵️🏵️ Pagi ini, aku kembali melakukan aktivitas seperti biasanya. Aku melajukan kendaraan roda dua milikku hingga tiba di sekolah Novia. Aku tersenyum setelah kembali membelah jalanan karena melihat mobil Raka mengikutiku dari belakang. Aku sempat berpikir bahwa duniaku akan terasa hampa setelah Mas Arga memilih menikahi Shanti. Ternyata aku salah karena kenyataannya saat ini, ada pemuda yang jauh lebih perhatian dan peduli terhadapku dibanding apa yang Mas Arga lakukan dulu. Aku berharap bahwa sikap yang Raka tunjukkan saat ini, benar-benar tulus dari hatinya yang paling dalam. Semoga ini tidak hanya sekadar usaha karena ingin menarik simpatiku. Aku takut jika kegagalan dalam menjalin hubungan kembali menghampiriku. “Maaf, saya hanya ingin menyampaikan kalau besok saya akan mengikuti Ibu saat berangkat ngajar.” Raka membuatku tersentuh tadi malam. Ia mengaku ingin menjagaku dari hal-hal yang tidak terduga. Ia khawatir jika Mas Arga kembali menggangguku seperti kala itu. Aku
🏵️🏵️🏵️ Ternyata seperti ini rasanya didekati laki-laki yang langsung melibatkan keluarga. Pertemuan singkat antara aku dan Raka mampu meyakinkan dirinya untuk lebih mengenalku. Aku sangat terharu dan merasa dihargai. Sekarang, aku sudah yakin untuk memenuhi panggilan Om Wawan dan Tante Widi ke ruang tamu. Apa pun rencana mereka berkunjung hari ini, aku pasti bisa memberikan keputusan. Aku juga harus memikirkan perasaan Ayah dan Bunda. Akhirnya, aku dan Bunda segera melangkah menuju ruang tamu. Hampir semua mata tertuju kepadaku. Ini benar-benar kejutan luar biasa. Keluarga Raka sepertinya telah mempersiapkan tujuan mereka ke rumah ini. Mereka membawa banyak barang seperti ingin melakukan lamaran. “Ini anak kami, Pak, Bu.” Bunda memegang pundakku sambil memperkenalkan diriku kepada keluarga Raka. “Ternyata pilihan Raka nggak salah.” Aku mendengar celetuk seorang wanita yang usianya sepertinya masih di atasku. Apa mungkin ia kakaknya Raka? “Ibuuu.” Nayla tiba-tiba menghampiriku,
🏵️🏵️🏵️ Siapa yang mengirim pesan kepadaku? Aku merasa tidak pernah merebut sesuatu yang bukan hakku. Aku selalu bersikap sesuai dengan nasihat Ayah dan Bunda. Mungkin nomor yang mengirim pesan itu salah kirim. Bisa saja pesan itu ditujukan bukan untukku. Lebih baik aku mengabaikannya dan memilih merebahkan tubuh supaya besok pagi lebih bersemangat dalam melanjutkan aktivitas. Lagi pun, aku harus tampak segar saat Raka menjemputku karena ia juga selalu kelihatan memesona setiap bertemu denganku. Mulai sekarang, aku harus menyeimbangkan penampilan dengannya. Aku tahu kalau dirinya merupakan CEO di perusahaan keluarganya. Om Wawan dan Tante Widi yang menceritakan tentangnya kepadaku. Saat aku mencoba memejamkan mata, nada telepon masuk mengagetkanku. Apa mungkin nomor yang tadi kembali menghubungiku karena tidak membalas pesannya? Apa sebaiknya aku biarkan saja ponsel itu berdering supaya yang menelepon berhenti menghubungiku? Tidak! Kenapa aku bersikap seolah-olah kalau apa yang
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak mengerti kenapa tuduhan menyakitkan itu ditujukan kepadaku. Siapa pengirim pesan itu? Apa sebaiknya aku mengirimkan balasan lalu bertanya siapa dirinya? Kenapa ia menganggapku mengambil miliknya? Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Raka tadi malam? Apakah wajar jika aku memberitahukan tentang pesan ini kepadanya? Apa aku tidak terlalu lancang? Aku sadar kalau kami berdua baru menjalin hubungan. Ini benar-benar membingungkan. “Ada apa? Kenapa wajah kamu seperti itu?” Raka kembali bertanya. Apa yang harus aku lakukan? “Saya ….” “Siapa yang kirim pesan?” Ia pun menepi lalu menghentikan mobilnya. “Itu ….” “Kamu kenapa, Naya?” Sekarang, ia menyebut namaku tanpa kata ‘Ibu’? “Bukan siapa-siapa, Pak.” Akhirnya, aku memilih untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya. “Kenapa kamu ketakutan?” Ternyata ia bisa melihat rasa takut yang menghampiriku saat ini. “Boleh saya lihat handphone kamu?”Sepertinya ia tetap ingin tahu karena melihat perubahan sikapku. Aku tidak me
🏵️🏵️🏵️ Sekarang aku ingat kalau nama yang Raka sebut tadi adalah tetangga masa kecilku. Apa mungkin orang yang sama? Saat SD kelas enam, tetanggaku tersebut mengaku pindah ke luar kota karena papinya mendirikan perusahaan di sana. Mereka akhirnya menjual rumah yang sekarang ditempati Tania—sahabat karibku. Jika benar Clara yang Raka maksud adalah tetanggaku, apa ia tidak mengenaliku lagi? Ya, mungkin wajar kalau seandainya ia tidak ingat lagi dengan wajahku karena sejak keluarganya pindah ke luar kota, kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Akan tetapi, aku berharap kalau Clara yang sedang berbicara di telepon dengan Raka, bukan sahabat masa kecilku. Aku harus membuang jauh-jauh pemikiran yang mengganggu hatiku. Aku yakin kalau Clara yang aku kenal, bukan seseorang yang ambisius hingga berani mengirim pesan aneh. “Dia Clara, wanita yang terobsesi pada saya,” ucap Raka setelah mematikan telepon. “Apakah dia yang mengirim pesan pada saya?” tanyaku penasaran. “Iya. Tapi kamu nggak
🏵️🏵️🏵️ Clara yang kini berdiri di depanku tidak mungkin sama dengan Clara yang Raka maksud. Mungkin saja namanya kebetulan sama. Aku harus menepiskan pemikiran yang membuatku bertanya-tanya. Lebih baik aku mengajaknya duduk dan berbincang untuk melepas rasa rindu. Pertemuan dengannya benar-benar kejutan menurutku. Setelah memikirkan dirinya kemarin, aku akhirnya melihat wajahnya sekarang. Seandainya Bunda di sini, beliau pasti akan senang melihat keberadaan Clara. Dulu, Bunda sering memintaku mengajak Clara bermain dan bahkan makan di rumah karena orang tuanya sangat sibuk dengan karir. Papi dan maminya lebih fokus mengurus perusahaan mereka. Namun sayang, usaha itu akhirnya pailit hingga mereka memilih pindah ke luar kota untuk mecari peruntungan dan mengubah nasib. Jika dilihat dari penampilan Clara saat ini, sepertinya keuangan mereka telah kembali di puncak. Aku turut bahagia melihat keadaannya yang sekarang karena aku sangat sedih ketika dirinya dulu pernah berada di posisi
🏵️🏵️🏵️ Sebulan berlalu, aku dan Mas Raka akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Aku sangat terharu saat acara ijab kabul tadi. Ia sangat lantang melafalkannya tanpa ada keraguan ataupun gugup. Kini, kami sedang menikmati jadi raja dan ratu sehari di pelaminan. Aku tidak menyangka kalau tamu undangannya sangat ramai. Mungkin saja karena keluarga Mas Raka memiliki usaha hingga rekan-rekan kerjanya turut menghadiri acara resepsi pernikahan kami. Teman-teman Mas Raka saat masih kuliah, juga turut hadir. Sementara aku hanya mengundang beberapa teman sekolah dan kuliah saja. Untuk teman kerja, Om Wawan yang memberikan undangan. Aku juga tidak lupa mengundang Mas Arga dan Shanti. Namun, sangat disayangkan karena hingga sore ini, pasangan itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. “Selamat, ya, Nay.” Bunga—sahabat terdekatku di kampus, menyalamiku lalu kami berpelukan. Ia datang bersama Pak Ezza—suaminya yang juga merupakan dosen di kampus kami. Jadi, Bunga menikah dengan dosenn
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak pernah menyangka kalau wanita yang terobsesi terhadap Mas Raka berani mengirim pesan yang terkesan mengancam. Kenapa ia harus memaksakan kehendak jika memang Mas Raka tidak pernah memiliki perasaan cinta untuknya? Apa ia tidak tahu kalau cinta itu tidak dapat dipaksakan. Menurutku, sikap yang ia tunjukkan bukan cinta, tetapi ambisi. Jika ia benar-benar mencintai Mas Raka, ia pasti akan bahagia milihat lelaki yang ia cintai bersatu dengan wanita pilihannya. Entah kenapa aku dihadapkan pada situasi seperti ini. Saat aku telah menemukan laki-laki yang jauh lebih segalanya dari Mas Arga, kini aku kembali dihampiri wanita yang terobsesi terhadap suamiku. Walaupun ia tidak menemuiku secara langsung, tetapi semua isi pesannya selalu menuduhku merebut hak miliknya. “Kenapa, Sayang?” Mas Raka memegang lenganku. “Mas baca sendiri aja pesannya.” Aku pun menyerahkan ponselku kepadanya supaya ia melihat pesan masuk tersebut. “Ternyata dia masih nekat ganggu kamu, padahal s