🏵️🏵️🏵️
Pagi ini, aku kembali melakukan aktivitas seperti biasanya. Aku melajukan kendaraan roda dua milikku hingga tiba di sekolah Novia. Aku tersenyum setelah kembali membelah jalanan karena melihat mobil Raka mengikutiku dari belakang.
Aku sempat berpikir bahwa duniaku akan terasa hampa setelah Mas Arga memilih menikahi Shanti. Ternyata aku salah karena kenyataannya saat ini, ada pemuda yang jauh lebih perhatian dan peduli terhadapku dibanding apa yang Mas Arga lakukan dulu.
Aku berharap bahwa sikap yang Raka tunjukkan saat ini, benar-benar tulus dari hatinya yang paling dalam. Semoga ini tidak hanya sekadar usaha karena ingin menarik simpatiku. Aku takut jika kegagalan dalam menjalin hubungan kembali menghampiriku.
“Maaf, saya hanya ingin menyampaikan kalau besok saya akan mengikuti Ibu saat berangkat ngajar.” Raka membuatku tersentuh tadi malam.
Ia mengaku ingin menjagaku dari hal-hal yang tidak terduga. Ia khawatir jika Mas Arga kembali menggangguku seperti kala itu. Aku hampir menitikkan air mata mendengar kalimat indah yang keluar dari mulutnya. Aku kembali merasa disayangi oleh seseorang.
Dulu, aku menganggap Mas Arga yang terbaik, tetapi kenyataannya sekarang, Raka yang peduli terhadapku. Aku tidak memikirkan lagi alasan agar membuka hati untuk Raka. Ia telah menunjukkan keseriusannya.
“Apa saya nggak ngerepotin Bapak?” Aku tetap ingin tahu apa jawaban yang akan Raka berikan tadi malam.
“Saya sudah bilang, saya tidak merasa direpotkan sama sekali. Saya ikhlas melakukannya untuk Ibu.” Ia kembali membuatku memberikan penilaian kalau dirinya benar-benar baik.
“Terima kasih atas kepedulian Bapak.”
“Ibu tidak perlu berterima kasih karena Ibu adalah tanggung jawab saya.” Aku terkejut mendengar penuturan Raka.
“Maksudnya gimana, Pak?” tanyaku penasaran.
“Besok sore, Ibu akan tahu jawabannya. Sekarang istirahat, ya. Sampai ketemu besok.”
Aku dan Raka pun mengakhiri pembicaraan, lalu menutup telepon. Setelah mendengar suaranya, entah kenapa hatiku merasa tenang. Aku senyum-senyum sendiri sambil membayangkan pertemuan kami berikutnya. Sampai akhirnya, aku pun menuju alam mimpi.
Ia yang kupikirkan tadi malam, kini melihatku dari mobilnya hingga aku memarkirkan motor di sekolah keponakannya. Ternyata ia sendirian, tidak bersama Nayla. Akhir-akhir ini, anak didikku itu mengaku lebih sering diantarkan opa-nya.
Setelah aku berjalan dari parkiran, aku melihat ke arahnya. Ia pun membunyikan klakson, sedangkan aku memberikannya senyuman. Ia pun berlalu meninggalkan sekolah. Sikap yang ia tunjukkan mampu membuatku merasa seperti orang kasmaran.
Ternyata tidak butuh waktu lama bagiku untuk menghapus nama Mas Arga dari relung hatiku. Perlahan, tetapi pasti, nama itu akan terkikis dengan sendirinya berkat bantuan Raka. Untuk apa aku masih menyimpan cinta untuk laki-laki yang telah memberiku luka? Lebih baik aku membuka lembaran baru, menerima orang yang kini dekat denganku.
“Pagi, Bu.” Nayla selalu saja berhasil membuatku terkejut. Anak itu menghampiriku yang masih berjalan menuju kelasnya.
“Pagi juga, Sayang. Nay udah lama datangnya?” Aku hanya ingin memastikan bersama siapa Nayla hari ini ke sekolah.
“Udah, dong, Bu. Nay diantar lagi sama Opa. Entah kenapa sekarang Papa selalu sibuk.” Nayla menunjukkan wajah kecewa.
“Jangan cemberut gitu, dong. Nanti cantiknya berkurang. Yuk, kita ke kelas.” Aku pun meraih tangannya, lalu kami melangkah menuju kelas.
Nayla tidak tahu apa yang membuat Raka sibuk akhir-akhir ini. Laki-laki itu menyibukkan diri untuk menjaga dan melindungiku. Aku tidak tahu apa yang akan Nayla katakan jika ia tadi melihat Raka mengikutiku ke sekolah. Entah kenapa hal ini membuatku ingin tersenyum.
🏵️🏵️🏵️
Waktu menunjukkan pukul 17.05 Wib. Ayah dan Bunda telah menyiapkan diri untuk menyambut tamu yang datang sore ini. Hidangan yang akan disuguhkan juga telah disiapkan sejak tadi. Bunda meminta bantuan Tante Meira—adik Ayah, untuk memasak karena masakan beliau tidak diragukan lagi kenikmatannya.
Tante Meira mengaku turut bahagia karena aku bersedia membuka diri untuk menerima laki-laki lain setelah kegagalan sebelumnya. Ia juga sangat sedih waktu mengetahui Mas Arga meninggalkan aku karena selama ini, beliau telah merestui hubungan kami.
Beliau sangat kecewa dengan pengkhianatan Mas Arga hingga memintaku agar segera menikah dan membuktikan kepada orang-orang kalau aku mampu mendapatkan yang lebih baik. Aku tahu bagaimana perasaannya, pasti sedih mengetahui keponakannya gagal menikah.
“Tante doakan aja yang terbaik untuk Nay. Kalau memang Raka ditakdirkan berjodoh dengan Nay, Nay pasti ikhlas. Nay nggak mau larut dalam luka lama.” Aku pun meyakinkan Tante Meira.
Suara deru mobil menghentikan obrolanku dengan Tante Meira. Aku yakin, itu pasti Raka dan orang tuanya. Sepertinya kendaraan roda empat itu tidak hanya satu, tetapi lebih. Apa mungkin Raka dan orang tuanya menaiki mobil yang berbeda-beda?
Rasa penasaranku langsung muncul. Aku ingin memastikan siapa saja tamu yang berkunjung sore ini. Aku mulai melangkah dari dapur menuju ruang TV. Aku bisa melihat ke luar dari jendela ruangan itu. Aku pun menyibak gorden untuk mengetahui berapa mobil yang terparkir di halaman rumah.
Sungguh, ini benar-benar di luar dugaan. Apa mungkin Om Wawan salah menyampaikan informasi kemarin saat berkunjung ke rumah ini? Beliau mengatakan bahwa hanya Raka dan orang tuanya yang akan datang bertamu.
Aku segera kembali ke dapur untuk menemui Tante Meira. “Ternyata yang datang nggak sedikit, Tante. Sepertinya bukan hanya Raka dan orang tuanya. Mobilnya aja ada lima.” Aku memberitahukan apa yang aku saksikan tadi kepada wanita itu.
“Loh … kok, bisa? Untung tadi masaknya banyak karena memang rencana mau bagi-bagi ke keluarga dan tetangga.” Aku merasa lega mendengar penjelasan Tante Meira. Aku tidak dapat membayangkan jika kami tidak mampu menjamu tamu dengan baik karena kekurangan persediaan makanan. Tante Meira dan Bunda benar-benar wanita hebat.
Sekarang, aku berpikir keras ingin mengetahui tamu yang berkunjung hari ini ke rumahku. Apa tujuan mereka sebenarnya? Kenapa Om Wawan seolah-olah ingin menyembunyikan sesuatu? Aku tidak yakin kalau beliau tidak mengetahui kenyataan ini.
“Nay.” Aku dikagetkan suara Bunda yang tiba-tiba memanggilku.
“Bun, tamunya ramai banget. Nay tadi lihat dari jendela ruang TV.” Aku menggenggam tangan Bunda.
“Iya, Sayang. Sepertinya tujuan mereka ke sini tidak hanya sekadar berkunjung, tapi ada maksud lain. Satu hal lagi yang buat Bunda kaget tadi.” Bunda tiba-tiba menunjukkan senyuman, padahal tadi tampak serius.
“Apa, Bun?” Aku sangat penasaran.
“Om Wawan dan Tante Widi juga ikut bersama mereka.”
“Apa?” Aku terkejut mendengar penuturan Bunda. Apa mungkin Om Wawan dan Tante Widi telah merencanakan semua ini? Kenapa mereka tidak jujur kepadaku? Mereka bahkan menyembunyikan hal ini dari Ayah dan Bunda.
“Mereka meminta Bunda mengajak kamu ke ruang tamu. Oh, ya … ternyata Nak Raka ganteng, ya. Arga kalah jauh.” Bisa-bisanya Bunda memberikan penilaian terhadap Raka dalam situasi menegangkan ini. Bunda tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Saat beliau menyebut nama Raka tadi, jantungku berdetak tidak keruan. Sepertinya aku benar-benar telah jatuh cinta kepada pemuda itu.
“Bunda ada-ada aja.” Aku memberikan balasan untuk menghilangkan rasa gugup.
“Bunda baru ingat, warna atasan kamu dan Nak Raka sama-sama kuning. Seperti janjian, ya, padahal nggak.”
“Yang benar, Bun.” Aku kembali terkejut mendengar penjelasan Bunda. “Nay ganti baju aja, deh.” Aku pun melepaskan genggaman dari tangan Bunda.
“Jangan, Sayang. Anggap aja kalian berjodoh. Pandangan pertama aja, Bunda udah suka sama dia. Sepertinya Ayah juga merasakan hal yang sama dengan Bunda.” Bunda tampak bersemangat.
Ya Allah, apa mungkin Raka yang telah Engkau pilihkan untuk membangun rumah tangga bersamaku? Apakah aku sudah siap memulai hubungan baru setelah gagal bersatu dengan Mas Arga? Berikan aku petunjuk.
==========
Apakah Raka akan menjadi jodoh untuk Kanaya?
🏵️🏵️🏵️ Ternyata seperti ini rasanya didekati laki-laki yang langsung melibatkan keluarga. Pertemuan singkat antara aku dan Raka mampu meyakinkan dirinya untuk lebih mengenalku. Aku sangat terharu dan merasa dihargai. Sekarang, aku sudah yakin untuk memenuhi panggilan Om Wawan dan Tante Widi ke ruang tamu. Apa pun rencana mereka berkunjung hari ini, aku pasti bisa memberikan keputusan. Aku juga harus memikirkan perasaan Ayah dan Bunda. Akhirnya, aku dan Bunda segera melangkah menuju ruang tamu. Hampir semua mata tertuju kepadaku. Ini benar-benar kejutan luar biasa. Keluarga Raka sepertinya telah mempersiapkan tujuan mereka ke rumah ini. Mereka membawa banyak barang seperti ingin melakukan lamaran. “Ini anak kami, Pak, Bu.” Bunda memegang pundakku sambil memperkenalkan diriku kepada keluarga Raka. “Ternyata pilihan Raka nggak salah.” Aku mendengar celetuk seorang wanita yang usianya sepertinya masih di atasku. Apa mungkin ia kakaknya Raka? “Ibuuu.” Nayla tiba-tiba menghampiriku,
🏵️🏵️🏵️ Siapa yang mengirim pesan kepadaku? Aku merasa tidak pernah merebut sesuatu yang bukan hakku. Aku selalu bersikap sesuai dengan nasihat Ayah dan Bunda. Mungkin nomor yang mengirim pesan itu salah kirim. Bisa saja pesan itu ditujukan bukan untukku. Lebih baik aku mengabaikannya dan memilih merebahkan tubuh supaya besok pagi lebih bersemangat dalam melanjutkan aktivitas. Lagi pun, aku harus tampak segar saat Raka menjemputku karena ia juga selalu kelihatan memesona setiap bertemu denganku. Mulai sekarang, aku harus menyeimbangkan penampilan dengannya. Aku tahu kalau dirinya merupakan CEO di perusahaan keluarganya. Om Wawan dan Tante Widi yang menceritakan tentangnya kepadaku. Saat aku mencoba memejamkan mata, nada telepon masuk mengagetkanku. Apa mungkin nomor yang tadi kembali menghubungiku karena tidak membalas pesannya? Apa sebaiknya aku biarkan saja ponsel itu berdering supaya yang menelepon berhenti menghubungiku? Tidak! Kenapa aku bersikap seolah-olah kalau apa yang
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak mengerti kenapa tuduhan menyakitkan itu ditujukan kepadaku. Siapa pengirim pesan itu? Apa sebaiknya aku mengirimkan balasan lalu bertanya siapa dirinya? Kenapa ia menganggapku mengambil miliknya? Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Raka tadi malam? Apakah wajar jika aku memberitahukan tentang pesan ini kepadanya? Apa aku tidak terlalu lancang? Aku sadar kalau kami berdua baru menjalin hubungan. Ini benar-benar membingungkan. “Ada apa? Kenapa wajah kamu seperti itu?” Raka kembali bertanya. Apa yang harus aku lakukan? “Saya ….” “Siapa yang kirim pesan?” Ia pun menepi lalu menghentikan mobilnya. “Itu ….” “Kamu kenapa, Naya?” Sekarang, ia menyebut namaku tanpa kata ‘Ibu’? “Bukan siapa-siapa, Pak.” Akhirnya, aku memilih untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya. “Kenapa kamu ketakutan?” Ternyata ia bisa melihat rasa takut yang menghampiriku saat ini. “Boleh saya lihat handphone kamu?”Sepertinya ia tetap ingin tahu karena melihat perubahan sikapku. Aku tidak me
🏵️🏵️🏵️ Sekarang aku ingat kalau nama yang Raka sebut tadi adalah tetangga masa kecilku. Apa mungkin orang yang sama? Saat SD kelas enam, tetanggaku tersebut mengaku pindah ke luar kota karena papinya mendirikan perusahaan di sana. Mereka akhirnya menjual rumah yang sekarang ditempati Tania—sahabat karibku. Jika benar Clara yang Raka maksud adalah tetanggaku, apa ia tidak mengenaliku lagi? Ya, mungkin wajar kalau seandainya ia tidak ingat lagi dengan wajahku karena sejak keluarganya pindah ke luar kota, kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Akan tetapi, aku berharap kalau Clara yang sedang berbicara di telepon dengan Raka, bukan sahabat masa kecilku. Aku harus membuang jauh-jauh pemikiran yang mengganggu hatiku. Aku yakin kalau Clara yang aku kenal, bukan seseorang yang ambisius hingga berani mengirim pesan aneh. “Dia Clara, wanita yang terobsesi pada saya,” ucap Raka setelah mematikan telepon. “Apakah dia yang mengirim pesan pada saya?” tanyaku penasaran. “Iya. Tapi kamu nggak
🏵️🏵️🏵️ Clara yang kini berdiri di depanku tidak mungkin sama dengan Clara yang Raka maksud. Mungkin saja namanya kebetulan sama. Aku harus menepiskan pemikiran yang membuatku bertanya-tanya. Lebih baik aku mengajaknya duduk dan berbincang untuk melepas rasa rindu. Pertemuan dengannya benar-benar kejutan menurutku. Setelah memikirkan dirinya kemarin, aku akhirnya melihat wajahnya sekarang. Seandainya Bunda di sini, beliau pasti akan senang melihat keberadaan Clara. Dulu, Bunda sering memintaku mengajak Clara bermain dan bahkan makan di rumah karena orang tuanya sangat sibuk dengan karir. Papi dan maminya lebih fokus mengurus perusahaan mereka. Namun sayang, usaha itu akhirnya pailit hingga mereka memilih pindah ke luar kota untuk mecari peruntungan dan mengubah nasib. Jika dilihat dari penampilan Clara saat ini, sepertinya keuangan mereka telah kembali di puncak. Aku turut bahagia melihat keadaannya yang sekarang karena aku sangat sedih ketika dirinya dulu pernah berada di posisi
🏵️🏵️🏵️ Sebulan berlalu, aku dan Mas Raka akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Aku sangat terharu saat acara ijab kabul tadi. Ia sangat lantang melafalkannya tanpa ada keraguan ataupun gugup. Kini, kami sedang menikmati jadi raja dan ratu sehari di pelaminan. Aku tidak menyangka kalau tamu undangannya sangat ramai. Mungkin saja karena keluarga Mas Raka memiliki usaha hingga rekan-rekan kerjanya turut menghadiri acara resepsi pernikahan kami. Teman-teman Mas Raka saat masih kuliah, juga turut hadir. Sementara aku hanya mengundang beberapa teman sekolah dan kuliah saja. Untuk teman kerja, Om Wawan yang memberikan undangan. Aku juga tidak lupa mengundang Mas Arga dan Shanti. Namun, sangat disayangkan karena hingga sore ini, pasangan itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. “Selamat, ya, Nay.” Bunga—sahabat terdekatku di kampus, menyalamiku lalu kami berpelukan. Ia datang bersama Pak Ezza—suaminya yang juga merupakan dosen di kampus kami. Jadi, Bunga menikah dengan dosenn
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak pernah menyangka kalau wanita yang terobsesi terhadap Mas Raka berani mengirim pesan yang terkesan mengancam. Kenapa ia harus memaksakan kehendak jika memang Mas Raka tidak pernah memiliki perasaan cinta untuknya? Apa ia tidak tahu kalau cinta itu tidak dapat dipaksakan. Menurutku, sikap yang ia tunjukkan bukan cinta, tetapi ambisi. Jika ia benar-benar mencintai Mas Raka, ia pasti akan bahagia milihat lelaki yang ia cintai bersatu dengan wanita pilihannya. Entah kenapa aku dihadapkan pada situasi seperti ini. Saat aku telah menemukan laki-laki yang jauh lebih segalanya dari Mas Arga, kini aku kembali dihampiri wanita yang terobsesi terhadap suamiku. Walaupun ia tidak menemuiku secara langsung, tetapi semua isi pesannya selalu menuduhku merebut hak miliknya. “Kenapa, Sayang?” Mas Raka memegang lenganku. “Mas baca sendiri aja pesannya.” Aku pun menyerahkan ponselku kepadanya supaya ia melihat pesan masuk tersebut. “Ternyata dia masih nekat ganggu kamu, padahal s
🏵️🏵️🏵️ Sore ini, aku berbincang dengan Anisa di taman belakang. Ternyata ia tidak kalah kepo dari Novia. Rasa ingin tahunya benar-benar tingkat tinggi. Namun, aku tetap suka karena rasanya tidak ada jarak di antara kami. Kami seperti kakak dan adik kandung, bukan ipar. Anisa bercerita panjang lebar tentang Mas Raka yang super cuek dan belum pernah dekat dengan wanita. Ia selalu menyebut kakaknya seperti kulkas. Aku pun tertawa setiap ia melontarkan julukan itu. Namun, ia mengaku heran karena melihat fotoku di ponsel Mas Raka. Aku jadi penasaran, sejak kapan Mas Raka menyimpan fotoku? Ia memang unik dan lucu. Bisa-bisanya mencintai wanita yang telah memiliki kekasih kala itu. Aku kembali mengingat kejadian seminggu yang lalu saat ia ingin menciumku. Ternyata dugaanku benar kalau dirinya tidak sekadar mencium kening. Akhirnya, aku berhasil memberikan ciuman pertamaku kepadanya. Kejadian itu selalu berhasil membuatku tersenyum. Namun, aku masih merasa bersalah karena hingga saat in