Siapa yang mengirim pesan kepada Kanaya?
🏵️🏵️🏵️ Siapa yang mengirim pesan kepadaku? Aku merasa tidak pernah merebut sesuatu yang bukan hakku. Aku selalu bersikap sesuai dengan nasihat Ayah dan Bunda. Mungkin nomor yang mengirim pesan itu salah kirim. Bisa saja pesan itu ditujukan bukan untukku. Lebih baik aku mengabaikannya dan memilih merebahkan tubuh supaya besok pagi lebih bersemangat dalam melanjutkan aktivitas. Lagi pun, aku harus tampak segar saat Raka menjemputku karena ia juga selalu kelihatan memesona setiap bertemu denganku. Mulai sekarang, aku harus menyeimbangkan penampilan dengannya. Aku tahu kalau dirinya merupakan CEO di perusahaan keluarganya. Om Wawan dan Tante Widi yang menceritakan tentangnya kepadaku. Saat aku mencoba memejamkan mata, nada telepon masuk mengagetkanku. Apa mungkin nomor yang tadi kembali menghubungiku karena tidak membalas pesannya? Apa sebaiknya aku biarkan saja ponsel itu berdering supaya yang menelepon berhenti menghubungiku? Tidak! Kenapa aku bersikap seolah-olah kalau apa yang
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak mengerti kenapa tuduhan menyakitkan itu ditujukan kepadaku. Siapa pengirim pesan itu? Apa sebaiknya aku mengirimkan balasan lalu bertanya siapa dirinya? Kenapa ia menganggapku mengambil miliknya? Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Raka tadi malam? Apakah wajar jika aku memberitahukan tentang pesan ini kepadanya? Apa aku tidak terlalu lancang? Aku sadar kalau kami berdua baru menjalin hubungan. Ini benar-benar membingungkan. “Ada apa? Kenapa wajah kamu seperti itu?” Raka kembali bertanya. Apa yang harus aku lakukan? “Saya ….” “Siapa yang kirim pesan?” Ia pun menepi lalu menghentikan mobilnya. “Itu ….” “Kamu kenapa, Naya?” Sekarang, ia menyebut namaku tanpa kata ‘Ibu’? “Bukan siapa-siapa, Pak.” Akhirnya, aku memilih untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya. “Kenapa kamu ketakutan?” Ternyata ia bisa melihat rasa takut yang menghampiriku saat ini. “Boleh saya lihat handphone kamu?”Sepertinya ia tetap ingin tahu karena melihat perubahan sikapku. Aku tidak me
🏵️🏵️🏵️ Sekarang aku ingat kalau nama yang Raka sebut tadi adalah tetangga masa kecilku. Apa mungkin orang yang sama? Saat SD kelas enam, tetanggaku tersebut mengaku pindah ke luar kota karena papinya mendirikan perusahaan di sana. Mereka akhirnya menjual rumah yang sekarang ditempati Tania—sahabat karibku. Jika benar Clara yang Raka maksud adalah tetanggaku, apa ia tidak mengenaliku lagi? Ya, mungkin wajar kalau seandainya ia tidak ingat lagi dengan wajahku karena sejak keluarganya pindah ke luar kota, kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Akan tetapi, aku berharap kalau Clara yang sedang berbicara di telepon dengan Raka, bukan sahabat masa kecilku. Aku harus membuang jauh-jauh pemikiran yang mengganggu hatiku. Aku yakin kalau Clara yang aku kenal, bukan seseorang yang ambisius hingga berani mengirim pesan aneh. “Dia Clara, wanita yang terobsesi pada saya,” ucap Raka setelah mematikan telepon. “Apakah dia yang mengirim pesan pada saya?” tanyaku penasaran. “Iya. Tapi kamu nggak
🏵️🏵️🏵️ Clara yang kini berdiri di depanku tidak mungkin sama dengan Clara yang Raka maksud. Mungkin saja namanya kebetulan sama. Aku harus menepiskan pemikiran yang membuatku bertanya-tanya. Lebih baik aku mengajaknya duduk dan berbincang untuk melepas rasa rindu. Pertemuan dengannya benar-benar kejutan menurutku. Setelah memikirkan dirinya kemarin, aku akhirnya melihat wajahnya sekarang. Seandainya Bunda di sini, beliau pasti akan senang melihat keberadaan Clara. Dulu, Bunda sering memintaku mengajak Clara bermain dan bahkan makan di rumah karena orang tuanya sangat sibuk dengan karir. Papi dan maminya lebih fokus mengurus perusahaan mereka. Namun sayang, usaha itu akhirnya pailit hingga mereka memilih pindah ke luar kota untuk mecari peruntungan dan mengubah nasib. Jika dilihat dari penampilan Clara saat ini, sepertinya keuangan mereka telah kembali di puncak. Aku turut bahagia melihat keadaannya yang sekarang karena aku sangat sedih ketika dirinya dulu pernah berada di posisi
🏵️🏵️🏵️ Sebulan berlalu, aku dan Mas Raka akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Aku sangat terharu saat acara ijab kabul tadi. Ia sangat lantang melafalkannya tanpa ada keraguan ataupun gugup. Kini, kami sedang menikmati jadi raja dan ratu sehari di pelaminan. Aku tidak menyangka kalau tamu undangannya sangat ramai. Mungkin saja karena keluarga Mas Raka memiliki usaha hingga rekan-rekan kerjanya turut menghadiri acara resepsi pernikahan kami. Teman-teman Mas Raka saat masih kuliah, juga turut hadir. Sementara aku hanya mengundang beberapa teman sekolah dan kuliah saja. Untuk teman kerja, Om Wawan yang memberikan undangan. Aku juga tidak lupa mengundang Mas Arga dan Shanti. Namun, sangat disayangkan karena hingga sore ini, pasangan itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. “Selamat, ya, Nay.” Bunga—sahabat terdekatku di kampus, menyalamiku lalu kami berpelukan. Ia datang bersama Pak Ezza—suaminya yang juga merupakan dosen di kampus kami. Jadi, Bunga menikah dengan dosenn
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak pernah menyangka kalau wanita yang terobsesi terhadap Mas Raka berani mengirim pesan yang terkesan mengancam. Kenapa ia harus memaksakan kehendak jika memang Mas Raka tidak pernah memiliki perasaan cinta untuknya? Apa ia tidak tahu kalau cinta itu tidak dapat dipaksakan. Menurutku, sikap yang ia tunjukkan bukan cinta, tetapi ambisi. Jika ia benar-benar mencintai Mas Raka, ia pasti akan bahagia milihat lelaki yang ia cintai bersatu dengan wanita pilihannya. Entah kenapa aku dihadapkan pada situasi seperti ini. Saat aku telah menemukan laki-laki yang jauh lebih segalanya dari Mas Arga, kini aku kembali dihampiri wanita yang terobsesi terhadap suamiku. Walaupun ia tidak menemuiku secara langsung, tetapi semua isi pesannya selalu menuduhku merebut hak miliknya. “Kenapa, Sayang?” Mas Raka memegang lenganku. “Mas baca sendiri aja pesannya.” Aku pun menyerahkan ponselku kepadanya supaya ia melihat pesan masuk tersebut. “Ternyata dia masih nekat ganggu kamu, padahal s
🏵️🏵️🏵️ Sore ini, aku berbincang dengan Anisa di taman belakang. Ternyata ia tidak kalah kepo dari Novia. Rasa ingin tahunya benar-benar tingkat tinggi. Namun, aku tetap suka karena rasanya tidak ada jarak di antara kami. Kami seperti kakak dan adik kandung, bukan ipar. Anisa bercerita panjang lebar tentang Mas Raka yang super cuek dan belum pernah dekat dengan wanita. Ia selalu menyebut kakaknya seperti kulkas. Aku pun tertawa setiap ia melontarkan julukan itu. Namun, ia mengaku heran karena melihat fotoku di ponsel Mas Raka. Aku jadi penasaran, sejak kapan Mas Raka menyimpan fotoku? Ia memang unik dan lucu. Bisa-bisanya mencintai wanita yang telah memiliki kekasih kala itu. Aku kembali mengingat kejadian seminggu yang lalu saat ia ingin menciumku. Ternyata dugaanku benar kalau dirinya tidak sekadar mencium kening. Akhirnya, aku berhasil memberikan ciuman pertamaku kepadanya. Kejadian itu selalu berhasil membuatku tersenyum. Namun, aku masih merasa bersalah karena hingga saat in
🏵️🏵️🏵️ Hari ini Minggu, cuaca sangat dingin karena sejak tadi subuh, hujan seolah-olah enggan untuk tidak terjun dari tempatnya. Aku dan Mas Raka memilih melanjutkan tidur setelah menunaikan kewajiban sebagai umat muslim tadi. Sekarang, waktu telah menunjukkan jam tujuh pagi, tetapi Mas Raka masih menikmati istirahatnya. Aku memandangi wajahnya yang tampan sambil sesekali mengusapnya. Aku sangat bersyukur memiliki suami seperti dirinya. Ia selalu melakukan yang terbaik untukku. Namun, jika mengingat ancaman wanita yang bernama Clara, kadang aku meragukan hubungan kami. Apakah kami akan menua bersama? Sungguh, Clara berhasil membuatku menjadi seseorang yang sangat takut kehilangan Mas Raka. Apalagi Nayla kembali menyampaikan mimpi yang sama tadi malam. Papa dan mama mertua akhirnya meminta anak itu tidur bersama mereka. Sepertinya kedua orang tua itu mengerti dengan posisiku dan Mas Raka. Akan tetapi, hingga detik ini, kami belum menunaikan tugas suami istri yang telah beberapa k