Share

Dewa Penolong

🏵️🏵️🏵️

Kenapa aku tiba-tiba terdiam? Apakah pesona laki-laki itu telah memasuki pikiranku? Mungkinkah pintu hati ini kembali terbuka tanpa kusadari? Entah kenapa kesedihanku tadi saat memikirkan Mas Arga seolah-olah sirna seketika.

Aku belum pernah mengalami perasaan seaneh ini. Bagaimana mungkin pertemuan pertama dengan laki-laki itu membuatku berpikiran jauh? Harusnya aku sadar kalau dirinya wali murid anak didikku, tidak lebih.

Cukup aku mengagumi para aktor tampan dalam drama Korea, Thailand, dan China yang biasa aku tonton. Mereka tidak nyata di depanku. Namun, kalau aku harus mengagumi wali murid, itu aneh apalagi baru bertemu sekali. Seandainya Novia tahu kelakuan kakaknya ini, ia pasti akan mentertawakan aku.

“Tidak, Pak. Saya sedang santai. Jadi, tidak mengganggu sama sekali.” Akhirnya, aku berhasil memberikan balasan.

“Ibu tidak keberatan kalau saya simpan nomor kontaknya?” Lagi dan lagi, aku makin bingung menghadapi pemuda itu.

“Silakan, Pak. Tidak masalah.” Mana mungkin aku melarangnya untuk tidak menyimpan nomor ponselku.

“Terima kasih, Bu Naya.”

“Iya, Pak. Dengan senang hati.” Aku bahagia saat ia menyebut namaku.

Setelah basa-basi itu selesai, kami pun mengakhiri pembicaraan, lalu mematikan telepon. Namun, sebelum aku menyimpan ponsel ke nakas, aku melihat pesan masuk dari Mas Arga. Apa, sih, yang ia inginkan? Kenapa dirinya masih menghubungiku? Apa ia lupa sudah punya istri?

[Kita harus bicara, Nay. Kamu harus tahu kenyataan yang sebenarnya.] Isi pesannya benar-benar membuatku kesal.

[Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Hubungan kita udah berakhir. Bagiku, kamu orang asing sekarang.] Aku berharap agar ia mengerti dan sadar dengan statusnya saat ini.

[Terserah kamu menganggapku orang asing. Tapi bagiku, kamu tetap istimewa.] Dasar buaya. Sudah jelas-jelas punya istri, tetapi masih bisa memuji wanita lain. Ternyata selama ini, aku telah salah menilainya. Ia tetap sama dengan laki-laki yang hobi mengumbar rasa.

Akhirnya, aku memilih tidak membalas pesan Mas Arga lagi. Aku juga menolak panggilan masuk darinya. Entah apa yang ingin ia jelaskan kepadaku. Kenapa harus sekarang? Kenapa ia tidak melakukannya sebelum menikah dengan Shanti?

Mas Arga kembali berhasil mengobrak-abrik hatiku. Aku sempat berpikir kalau malam ini akan tertidur pulas setelah mendengar suara seseorang yang baru aku kenal tadi pagi. Namun, harapan itu sirna setelah membaca pesan dari laki-laki yang telah memilih menikahi wanita lain daripada aku sebagai kekasihnya. Aaarrrggghhh!

🏵️🏵️🏵️

Pagi kembali menyapa dengan cuaca yang sangat cerah, tetapi tidak dengan hatiku yang masih kesal karena Mas Arga. Semoga setelah bertemu anak-anak di sekolah nanti, hatiku kembali tertata dan memulai kegiatan dengan semangat dan bahagia.

Setelah mengantarkan Novia ke sekolahnya, aku kembali membelah jalanan menuju tempatku menemukan kebahagiaan baru. Namun, sebelum tiba ke tempat tujuan, aku melihat Mas Arga berdiri di depan mobilnya.

Kenapa dirinya masih mengusik hidupku?

Tidak cukupkah luka yang ia torehkan dalam hatiku? Tidak puaskah dirinya membuatku menderita hingga menjadi bahan pembicaraan orang-orang karena ditinggal nikah? Tidak adakah rasa bersalah dalam dirinya?

“Tunggu, Nay, aku mau ngomong.” Ia berhasil menghentikan kendaraan roda dua milikku. Bagaimana mungkin aku tetap melaju, sedangkan dirinya merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi jalanku.

“Mau kamu apa, sih, Mas?” Aku langsung melontarkan pertanyaan kepadanya.

“Aku ingin jelasin semuanya.”

“Udah berapa kali aku bilang, nggak ada lagi yang perlu dijelasin. Semuanya udah berakhir.”

“Tapi kamu harus tahu yang sebenarnya. Aku nggak seperti yang kamu pikirkan.”

“Memangnya aku berpikiran apa tentang kamu?”

“Kamu pasti menganggapku pengkhianat.”

“Tapi itu kenyataan.”

“Itu nggak benar. Aku nggak pernah mengkhianatimu.”

“Aku ingin ketawa mendengar pengakuanmu.”

Aku tidak tahu apakah Mas Arga marah setelah mendengar ucapanku karena tiba-tiba wajahnya memerah. Ia menggenggam pergelangan tanganku sangat erat. Ini untuk pertama kali, ia menyakiti fisikku. Entah apa yang ingin ia lakukan.

Aku berusaha melepaskan genggaman Mas Arga, tetapi sia-sia. Kini, ia telah berubah menjadi sosok yang berbeda dari yang aku kenal. Ia bukan lagi laki-laki lembut yang dulu selalu menjaga dan memanjakanku. Ada apa dengan Mas Arga? Kenapa sikapnya bertolak belakang dengan yang dulu?

“Lepasin!” Aku mendengar suara seseorang dari arah belakangku. Suara itu tidak asing di telingaku.

🏵️🏵️🏵️

Pria yang berhasil memasuki pikiranku tadi malam, kini ada di hadapanku. Sungguh, aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini. Setelah aku perhatikan, ternyata ketampanannya mengalahkan Mas Arga.

Dulu, Mas Arga sering didekati para gadis hingga sukses membuatku cemburu. Namun, laki-laki itu selalu meyakinkan aku kalau ia hanya mencintai diriku. Aku selalu percaya kepadanya karena ia tidak pernah membagi cintanya dengan yang lain.

Sungguh, aku terlalu yakin kalau Mas Arga akan menjadikan aku sebagai ratu di istana cintanya. Ternyata aku salah, ia tidak hanya berpaling, tetapi justru lebih memilih hidup dengan wanita lain, bahkan tetanggaku sendiri.

“Janga ikut campur! Ini urusan saya dan dia.” Mas Arga menunjuk ke arahku.

“Saya tidak suka melihat wanita disakiti pria!” Pemuda tampan itu kembali membuka suara.

“Jangan sok jadi pahlawan! Pergi dari sini!” Mas Arga memaksaku turun dari kendaraan roda dua milikku. Aku akhirnya mengikuti kemauannya karena cekalannya makin sakit.

Akan tetapi, pemuda tampan yang yang telah berhasil membuatku salah tingkah kemarin, langsung menarik tangan kiri Mas Arga, lalu melipatnya ke belakang hingga membuat laki-laki itu tampak kesakitan.

“Lepasin Naya!” Apa aku tidak salah dengar? Wali murid anak didikku itu menyebut namaku tanpa kata ‘Bu’. Kenapa aku merasa deg-degan?

“Tidak! Saya harus bicara dengannya!” Mas Arga tetap bersikeras untuk tidak melepaskanku.

“Kenapa? Anda menyesal meninggalkannya?” Apa maksud pemuda itu? Kenapa ia bicara seolah-olah tahu apa yang terjadi antara aku dengan Mas Arga? Apa mungkin Om Wawan yang menceritakan kisah cintaku kepadanya?

“Siapa Anda sebenarnya? Kenapa Anda ingin tahu urusan saya dan Naya?” Mas Arga masih saja bertahan untuk mencekal tanganku. Aku makin kesakitan.

“Saya minta sekali lagi, lepasin Naya!” Sepertinya pemuda itu tahu kalau aku menahan rasa sakit. Ia sejak tadi melihatku.

Akhirnya, Mas Arga pun melepaskan genggamannya. Aku tidak habis pikir kenapa ia bisa berbuat senekat itu. Entah apa yang merasuki pikirannya. Untung saja seorang pemuda baik bersedia memberikan pertolongan kepadaku. Ia pun memintaku meninggalkan tempat itu.

Sepanjang jalan menuju sekolah, aku memikirkan apa yang terjadi pagi ini. Pria yang dulu mengaku mencintaiku, tega menyakitiku. Sementara pemuda yang baru aku kenal bersikap seolah-olah kalau kami sudah lama saking kenal.

Ini benar-benar membingungkan. Apa sebaiknya aku tanyakan hal itu kepada Om Wawan? Namun, bagaimana kalau bukan beliau yang memberitahukan tentangku kepada keponakannya itu? Mungkin lebih baik aku diam saja.

“Pagi, Bu.” Nayla? Anak itu mengagetkan aku yang baru memasuki pintu masuk sekolah setelah memarkirkan motor.

“Pagi juga, Sayang.” Aku melihat sekeliling, tetapi tidak menemukan sosok yang tadi menolongku. “Nay datangnya dari tadi, ya?” tanyaku ingin tahu.

“Iya, Bu. Tadi bukan Papa yang antar Nay, tapi Opa. Katanya Papa ada urusan.” Nayla memberikan penjelasan.

Kalau Nayla sudah berada di sekolah sejak tadi, itu artinya ia tidak melihat kejadian saat Mas Arga mencegatku. Aku merasa lega karena anak itu tidak menyaksikan tindakan kekerasan Mas Arga terhadapku.

“Yuk, kita ke kelas.” Aku meraih tangannya.

“Tunggu dulu … tangan Ibu kenapa merah?” tanya Nayla tiba-tiba, lalu mengusap tanganku.

Pertanyaan anak itu membuatku bingung, tetapi juga terharu. Ia sangat perhatian terhadap gurunya. Ternyata tidak hanya laki-laki yang ia panggil papa yang peduli kepadaku, tetapi keponakannya juga. Mereka berdua benar-benar mengubah duniaku.

🏵️🏵️🏵️

Suara bel terdengar nyaring menandakan anak-anak kelas satu mengakhiri proses belajar-mengajar hari ini. Anak-anak pun memasukkan buku dan peralatan menulis mereka ke dalam tas masing-masing, lalu berbaris untuk menyalamiku secara bergantian.

Setelah kelas hening, aku pun keluar untuk memastikan mereka dijemput orang tua atau wali masing-masing. Tiba-tiba Nayla menarik tanganku melewati pintu masuk, lalu berjalan ke arah pemuda yang menjemputnya.

“Ada apa, Nay? Kenapa Ibu dibawa ke sini?” tanyaku bingung.

“Papa yang minta Nay ajak Ibu ke sini. Kalau tidak percaya, Ibu tanya aja sama Papa.” Aku kembali salah tingkah.

“Maaf, Bu … saya hanya ingin memastikan apakah Ibu baik-baik saja.” Aku benar-benar terharu mendengar kepeduliannya terhadapku.

Pemuda yang baru aku kenal, justru menunjukkan perhatiannya. Sementara pria yang menjalin hubungan denganku selama bertahun-tahun, justru memberikan luka. Pertanda apa ini? Apa maksud rasa pedulinya?

“Alhamdulillah, saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih karena telah menolong saya tadi.” Aku pun mengembangkan senyuman kepadanya.

“Apa? Menolong? Ibu kenapa?” Ya ampun, Nayla. Sepertinya ia sangat peduli terhadapku.

“Ibu nggak apa-apa, Sayang. Ibu baik-baik aja.” Aku pun menyejajarkan posisi dengannya, lalu mengusap kedua pipinya.

“Papa harus jagain Bu Naya, ya.” Nayla seolah-olah memberikan perintah kepada pemuda yang kini tersenyum kepadanya.

“Baik, Bos Cilik … perintah dilaksanakan.”

Entah kenapa, aku merasa bahagia berada di antara mereka berdua. Mereka mampu membuatku kembali menemukan kebahagiaan baru. Aku sangat terharu karena dipertemukan dengan orang-orang baik saat hati ini sedang gundah gulana.

Mereka pun menuju mobil setelah berpamitan kepadaku. Sementara aku kembali ke kelas untuk bersiap-siap pulang karena anak-anak yang lain juga sudah pulang. Om Wawan berdiri di depan pintu kelas sambil menunjukkan senyuman yang tidak dapat kuartikan.

“Ternyata tidak hanya Nayla yang menyukai Bu Naya, tetapi juga Raka, adik papanya.” Raka? Oh, ternyata nama pemuda itu Raka.

Aku hanya tersenyum kepada Om Wawan. Setelah itu, beliau pun berlalu. Aku segera mengambil tas, kemudian menuju parkiran. Aku menstarter motor kesayanganku, lalu membelah jalanan. Aku merasa sangat bahagia hari ini walaupun tadi pagi sempat kesal karena bertemu Mas Arga.

Tunggu! Sepertinya ada yang mengikutiku dari belakang setelah beberapa menit keluar dari sekolah. Aku pun melihat dari kaca spion, ternyata itu mobil Raka. Eh, kenapa sekarang aku menyebut pemuda itu menggunakan namanya?

Aku tidak tahu harus berkata apa. Saat kisah cintaku sedang kandas bersama Mas Arga, tiba-tiba Raka muncul. Mungkin kalau aku tidak bertemu dengan pemuda itu, kesedihan karena pengkhianatan Mas Arga akan tetap menghantuiku.

Apa mungkin ia diciptakan untuk mengobati rasa sakitku? Namun, aku tidak yakin kalau orang seperti dirinya belum memiliki kekasih. Aku tidak boleh berpikir terlalu jauh. Aku tidak sanggup jika kembali merasakan luka.

Aku hanya bisa tersenyum kepadanya saat ia membunyikan klakson setelah aku berhenti di depan rumahku. Apa tujuannya mengikutiku? Mungkinkah dirinya ingin menjagaku? Seandainya harapan itu benar, aku sangat tersanjung.

“Baru juga sampai, udah senyum-senyum sendiri.” Ternyata Bunda menyadari sikapku. Beliau sedang duduk di teras depan.

“Nay lagi ingat sesuatu yang lucu, Bun.” Aku belum berani menceritakan yang sebenarnya kepada Bunda. Aku yakin, beliau pasti akan mengeluarkan ceramah jika aku menyinggung yang namanya laki-laki.

Sejak ditinggal nikah Mas Arga, Bunda mengingatkan agar aku benar-benar hati-hati memilih calon pendamping hidup. Beliau mengaku sangat sedih dan kecewa melihat anak sulungnya gagal bersatu dengan laki-laki yang ia anggap serius menjalin hubungan denganku.

Tiba-tiba aku dikagetkan nada panggilan masuk dari ponselku. Aku segera meraih benda itu dari tas. Terdapat nama ‘Nayla’ di layar. Mungkinkah Raka yang menelepon?

“Halo.” Aku merasa deg-degan mengangkat telepon tersebut.

“Maaf, tadi saya sengaja mengikuti Ibu untuk memastikan tiba di rumah dengan selamat.” Ternyata dugaanku benar. Raka menunjukkan perhatian dan kepeduliannya terhadapku.

“Terima kasih, Pak. Maaf, saya ngerepotin Bapak.”

“Saya sama sekali tidak merasa direpotin.” Kata-katanya sangat indah.

Setelah percakapan selesai, kami pun mematikan telepon.

“Telepon dari siapa, Nay?” Bunda tampak penasaran. Aku sengaja tidak memberikan respons dan memilih memasuki rumah.

“Tunggu Nay!” Aku dikejutkan suara Shanti. Kenapa ia dan suaminya masih mengusik hidupku?

==========

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status