Hari ini ada pengajian kompleks menyambut tahun baru hijriah. Pengajian dan ceramah di laksanakan di gedung serbaguna yang ta jauh dari kompleks itu, sengaja di lakukan di gedung sebab panitia mengundang banyak majelis taklim dan masyarakat sekitar.Ramai hari itu ibu-ibu yang hadir, semuanya nampak cantik dalam balutan busana muslimah. Tak terkecuali dengan Helena, ia ikut dengan saran ibu-ibu di kompleksnya agar mereka semua menggunakan gamis seragam pengajian mereka. Gamis panjang warna putih dengan jilbab lebar warna ungu muda. Helena nampak manis. Tadi sempat pak Subroto memberinya kecupan sayang di dahi dan bibirnya sebelum mereka turun dari mobil dan masuk ke gedung, sementara did alam gedung sana mereka harus berpisah. Pak Subroto dengan rombongan bapak-bapak dan Helena bersama ibu-ibu rombongan pengajian.Tak hanya ibu-ibu pengajiandi kompleks itu saja yang diundang, namun ada juga dari kompleks lain. Pokoknya ibu-ibu berdandan secetar mungkin. Ada yang sengaja datang memang
Hera terkejut bukan main, melihat laporan keuangan perusahaan yang ia rebut dari pak Subroto. Sudah lima bulan ini penghasilan mereka minus terus. Namun bulan ini yang paling parah, bahkan Hera sudah merumahkan sebagian karyawannya, karna tak adanya proyek yang didapat. Padahal suaminya, Arham sering dinas keluar kota demi melobi proyek di daerah.Hera mulai curiga pada ayah dari putranya itu. Benarkah selama ini Arham jalan dinas, atau jalan yang lainnya. Lalu diam-diam ia mulai menyelidiki tingkah laku suaminya di luar sana.Ia coba menelpon nomor suaminya namun lagi-lagi tidak aktif. Alasan Arham jika dinas luar, sinyal di daerah tersebut kurang bagus, harus ganti kartu lagi dengan provider yang berbeda, kilah Arham, saat Hera bertanya mengapa ponselnya tak aktif.Selain alasan sinyal kurang, tentu hantaman seks di kemaluan Hera, juga jadi senjata ampuh Arham untuk mengambalikan mood istrinya itu lagi. Istri yang ia bodohi setahun ini. Hera rela meninggalkan pak Subroto yang ulet b
“Nakal, nggak anak ayah hari ini, hum?” Danu dekati dan mencium bertubi perut membola Abel yang tampak semakin membuatnya seksi. “Nakal, Mas, aku dibikin muntah sampai tiga kali.” Keluh Abel sambil bersandar di sofa ruang tamu rumah pribadinya. Hari ini cuti Danu akan berakhir, besok sudah harus balik lagi ke Papua. Untuk bekerja dan mengajukan surat mutasi, agar kiranya bisa dipindahkan ke kantor pusat di Jakarta saja. agar tak jauh jika harus bolak balik melihat istri dan ibunya. Danu baru saja kembali, dia tadi habis mengecek pembangunan rumah kost-kostan yang didirikan di lahan yang dulu rumahnya berdiri. Mereka memutuskan tinggal di rumah peninggalan orang tua Abel. Gajinya yang lebih dari cukup di pertambangan juga penghasilan Abel dari membantu mertuan di toko baju, mereka gunakan untuk merenovasi rumah kecil Abel dulu, sekarang menajfi dua lantai dengan empat kamar. Dua kamar di atas, dan dua kamar di bawah. Abel merasa nyaman sudah kembali tinggal di kotanya, dekat dengan me
“Kamu aja lagi yang jadi nyonya di rumah kita Rin,” Damar mengejar langkah Arina yang akan pulang sore itu.“Maaf mas, aku bukan selera, kamu!” Arina berlari menuju halte menghindari gerimis yang mulai turun di awal Januari tahun ini.“Kita punya Davian kan, ayo kita jalin kisah kita kembali Rin, saya mohon.”Arina berbalik lalu tersenyum ke arah Damar Ganendra.“Davian nggak tahu kalau punya papa, Mas. Di akte kelahirannya juga Cuma ada namaku sebagai orang tuanya.”“Rin biarkan Davian merasakan keluarga yang utuh, punya papa dan mama!”Rinai hujan mulai mengamuk, memerangkap dua sejoli yang dulu pernah menjadi mempelai dadakan.“Ada ibu dan bapak yang jagain di rumah, beliau juga orang tua Davian Mas.”Mendung semakin gelap diiringi gemuruh yang bertalu di langit yang tak lagi jingga.“Beri saya kesempatan Arina!” Damar memaksa dengan wajah memelas.Arina bergeming dengan netra yang mulai berkaca.Hujan yang tak ramah sore itu menjadi saksi kisah dua insan yang dulu pernah satu nam
Damar diam memerhatikan wajah panik Arina, wajah yang masih sama tiga tahun lalu yang dinikahinya lalu ditalak di depan wanita yang dicintainya saat itu. Tak ada yang berubah, hanya saja sedikit berisi. Wajah sendu Arina memerangkap memorinya.Wangi apel yang menguar dari rambut lurus sebahu milik Arina, buat angan Damar melayang sesaat. Mengingat kenangan singkat mereka.“Masih ada perasaan kamu untuk aku Arina?” Damar tak lagi formal mengucapkan itu. Dielusnya pipi mulus milik mantan istrinya yang wajah dan namanya masih bertahta di hatinya. Bahkan hari dimana Arina keluar dari rumah menggeret koper usang miliknya di depan Damar dan Yasmin, hati Damar tak utuh lagi.“Semoga mas Damar dan Mbak Yasmin bahagia.” Ucap tulus Arina saat itu sebelum berlalu dengan netra berkaca.Ijab qabul dan hubungan suami istri ternyata tak mampu mengeratkan pernikahan dadakan mereka. Hanya tiga bulan, setelahnya Damar dan Arina terpisah jarak dan waktu.Arina berurai air mata saat itu.Sementara Yasmin
Bekerja tak tenang dan tanpa konsentrasi membuat Arina beberapa kali salah menulis laporan, pertemuan Damar hampir dua bulan ini kembali membuat hatinya bertalu marah, kadang rindu kadang juga benci mengusik ingin meluapkan amarah bila mengingat yang dulu. Seperti naik roller coaster saja perasaan Arina hari ini, gara – gara segelas teh yang berakhir rayuan panjang Damar untuk rujuk dengannya yang hanya dibalas deraian air mata oleh Arina.Tak dipungkirinya bila dulu dirinya pernah jatuh cinta pada pria ini saat menatap mata hitamnya yang tegas dan tajam. Pria pertama yang membuatnya merasakan debaran cinta, namun pria ini juga yang pertama menorehkan luka di hatinya.“Hampir jam enam Rin, kamu belum selesai?,” suara Wiwid menyadarkan Arina dari kerjaannya, tangannya bekerja namun pikirannya bercelaru.Wiwid rekan kerja yang juga dulu satu sekolah dengannya. Wiwid yang merekomendasikan Arina dulu untuk bekerja di perusahaan ini. Sedikit banyak Wiwid tahu akan perjuangan Arina melahi
Sudah dua hari ini Arina makan siang sendiri. Biasanya ada Wiwid yang menemani, namun dua hari ini Wiwid dan pak Bos tak masuk. Sebenarnya pak Damar sudah hampir seminggu ini tak masuk, entah cuti entah apa. Ada bagusnya juga karna Arina merasa aman dari gangguan si bos. Entah dengan hatinya sendiri amankah atau bagaimana. Rasa bersalah juga terselip di hatinya sejak malam dirinya menolak makanan pemberian pak Damar.--“Kamu darimana sih dua hari nggak masuk dua hari juga nggak ada kabar.” Arina mencecar Wiwid yang baru datang.“Tadi mas Faris singgah di toko roti Maros, sekalian beli panada sama risoles, inget kamu suka panada.” Diberikannya sekotak panada dan risoles kesuakaan Arina tanpa menjawab pertanyaan Arina.“Makasih banyak Wid, makasih juga sama mas Faris, tapi kamu darimana sih?” ulang Arina.“Em itu kemarin pulang nengok ibu sama bapak Rin.” Wiwid berjalan kembali ke mejanya. Akan diselesaikan pekerjaan yang menumpuk dua hari ditinggal.Arina masih ingin bertanya, namun
Bagaimana mungkin Damar bisa melupakan tatapan mata bening putranya sore itu. Dia harus berterima kasih pada Wiwid, sahabat Arina. Atas bantuannya dirinya bisa melihat dan memeluk si kecil Davian tanpa sepengetahuan Arina, entah setelah dia mengetahui, mungkin akan diamuk dirinya ini. Tadi sempat dipeluknya diruang kerja wanita berwajah sendu itu, namun Arina menolak. Sudah sepantasnya kan, Arina bukan lagi istri Damar tentu dia akan membatasi diri, Damar saja yang tak bisa menahan diri.Satu hal yang Damar syukuri, ternyata orang tua Arina masih mau berbicara dengan dirinya baik – baik, tentu saja pak Sayuti dan bu Fatimah menahan egonya demi cucu mereka. Dapat Damar tangkap dari wajah mereka berdua yang mulai sepuh, ketulusan dan kasih sayang yang luar biasa untuk Davian.Sempat bu Fatimah kemarin mengira kalau Wiwid dan Damar ada hubungan, sedangkan yang beliau tahu Wiwid akan segera menikah. Bukan hanya Wiwid yang mengetahui tentang Davian, namun ibunya Wiwid juga, bu Salamah, bel