Bagaimana mungkin Damar bisa melupakan tatapan mata bening putranya sore itu. Dia harus berterima kasih pada Wiwid, sahabat Arina. Atas bantuannya dirinya bisa melihat dan memeluk si kecil Davian tanpa sepengetahuan Arina, entah setelah dia mengetahui, mungkin akan diamuk dirinya ini. Tadi sempat dipeluknya diruang kerja wanita berwajah sendu itu, namun Arina menolak. Sudah sepantasnya kan, Arina bukan lagi istri Damar tentu dia akan membatasi diri, Damar saja yang tak bisa menahan diri.
Satu hal yang Damar syukuri, ternyata orang tua Arina masih mau berbicara dengan dirinya baik – baik, tentu saja pak Sayuti dan bu Fatimah menahan egonya demi cucu mereka. Dapat Damar tangkap dari wajah mereka berdua yang mulai sepuh, ketulusan dan kasih sayang yang luar biasa untuk Davian.
Sempat bu Fatimah kemarin mengira kalau Wiwid dan Damar ada hubungan, sedangkan yang beliau tahu Wiwid akan segera menikah. Bukan hanya Wiwid yang mengetahui tentang Davian, namun ibunya Wiwid juga, bu Salamah, beliau yang selalu menghibur bu Fatimah dulu di awal – awal kehamilan Arina yangs sempat menjadi gunjingan tetangga.
“Apa mama dan papa tahu pak, kalau saya dan Arina punya Davian?” pelan Damar menanyakan itu mengingat meskipun sudah menceraikan putri beliau, namun pak Sayuti tetap menggarap sawah orang tua Damar. Tentu kebutuhan ekonomi yang yang menjadi pertimbangan beliau. Ditambah kehadiran Davian yang harus beliau tanggung juga.
“Tidak nak Damar, pak Mahmud tak mengetahui.” Itu saja yang diucapkan pak Sayuti. Sejak kabar tentang Damar menalak Arina sampai ke telinga beliau. Pak Mahmud merasa malu sendiri, untuk urusan hasil sawah dan penggarapannya diserahkan pada pak Azis saudara sepupu beliau yang juga sama – sama bertani bersama pak Sayuti.
Sungguh pak Mahmud dan bu Intan malu dan segan bertemu kawan lama yang telah menjadi mantan besannya.
“Beritahukan kami pak, bila Arina hamil. Bagaimana pun kami harus bertanggung jawab.” Ucap pak Mahmud suatu hari di pagi pertama kali bertemu sejak kedua anak mereka tak lagi ada ikatan.
Saat itu pak Sayuti hanya tersenyum sendu sambil mengangguk. Tentu kecewa yang dirasakan beliau saat itu. Bukan karna putrinya tak lagi menjadi menantu di keluarga yang berkecukupan, namun dinikahi dan diceraikan dalam waktu yang singkat dan dalam keadaan hamil muda pula, hati orang tua mana yang tak terluka. Lalu setelahnya beliau melihat kegigihan yang luar biasa dari Arina dalam mencari nafkah untu anaknya. Belum dua bulan lebih, Arina meninggalkan si kecil Davian saat itu, merantau ke kota mencari pekerjaan dan Wiwidlah yang banyak membantu saat itu. Di rumah si kecil Davian tinggal bersama Bu Fatimah dan ada mbak Eva, kakak sepupu Arina yang tinggal di samping rumah mereka. Lama menikah dengan mas Safri namun belum memiliki anak, membuat mbak Eva senang mengurus Davian, mas Safri pun tak keberatan. Sebenarnya mbak Eva hendak mengadopsi Davian, namun pak Sayuti tak mau, Arina pun demikian, buah hati yang dilahirkan dengan taruhan nyawa tak akan diberikannya pada orang lain. Termasuk pada papanya.
--
Bu Intan dan pak Mahmud menangis haru demi mendengar kabar yang Damar bawa sore itu, bersama sebuah gambar anak kecil dalam gendongannya yang sangat mirip dengan Damar kecil.
Bu Intan tersedu sedan luar biasa, sementara pak Mahmud, terdiam dengan air mata mengalir. Bukan hanya bahagia karna mengetahui mereka punya cucu, namun membayangkang keadaan dan kekecawaan yang pak Sayuti rasakan namun tetap dengan ikhlas membesarkan cucu mereka.
Sahabat karibnya tak berubah. Ketulusan di hati pak Sayuti yang mmebuat pak Mahmud dulu bisa berteman akrab, ternyata tak berubah dari beliau.
“Kapan kita bisa ke desa dan minta maaf pak Sayuti dan Fatimah pak?” bu intan masih tersedu sambil melihat gambar Davian pada ponsel Damar.
“Kamu atur Dam, agar kami bisa segera bertemu mantan mertuamu, papa malu namun kami juga ada cucu.” Suara pak Mahmud terdengar bergetar.
“Mama sama papa sabar dulu, Damar akan segera bawa papa sama mama bila keadaan sudah memungkinkan. Sementara ini Damar masih sibuk, lagian Arian juga belum tahu pak kalau Damar sudah bertemu orang tuanya dan Davian.” Bisa semengamuk apa nanti arina kalau tahu.
“Biarkan mama ke kantormu, mama ingin bertemu Arin.” Pinta bu Intan.
“Iya, nanti mama boleh ke kantor, tapi mama jangan beritahu dulu kalau Damar sudah bertemu dengan Davian.”
Bu Intan mengangguk.
Tak sabar rasanya bertemu menantu kesayangannya itu yang telah menjadi mantan.
--
“Ini papanya Davi, yang sering mama kasi liat fotonya.” Betapa terkejut sekaligus bahagia dihati Damar saat mendengar ucapan Wiwid. Ya diam – diam Arina sering memperlihatkan foto Damar pada Davian saat pulang, bahkan foto akad nikahnya pun masih Arina pajang di kamar kecilnya, kamar yang hanya memiliki kasur sederhana yang dipakai tidur bersamaan Davian bila Arina pulang ke desa. Umur Davian yang sudah dua tahun lebih mulai mengerti dan terkadang mencari sosok papa. Sudah diajar kalau pak Sayuti adalah bapakanya, namun yang dia cari adalah sosok yang di foto yang sering mamanya perlihatkan. Pak Sayuti dan bu Fatimah akan memberi tahu bila papanya sedang kerja. Terkadang mbak Eva dan mas Safri yang menjelaskan kalau mereka adalah ayah dan bunda Davian, ya Davian diajarkan untuk memanggil ayah dan bunda pada mbak Eva dan mas Safri. Namun bocah ini tetap merasa bukan sosok ini yang dicari.
Dipertemuan Jum’at sore kemarin, ada mbak Eva dan mas safri juga, sebelumnya Wiwid dan bu Salamah telah menyampaikan akan datang bersama Damar pada bu Fatimah. Tak bermaksud lancang namun Wiwid hanya membantu niat baik Damar. Pak Sayuti pun ikhlas saja menerima kedatangan mantan menantunya itu, bukan salah Damar sepenuhnya bila tak mengetahui keberadaan putranya. Mungkin begini takdir putri yang dilahirkannya yang tercatat di Laufu Mahfuz. Sungguh bijak beliau.
Bahkan Damar hendak bersujud memohon ampun pada pak Sayuti dan bu Intan, namun beliau tahan. Dipeluknya mantan menantu beliau yang telah terisak penuh rasa bersalah.
Davian pun tak butuh lama untuk bisa seakrab itu pada papanya. Saat digendong Damar, Davian nampak bergelayut dan tak mau turun. Damar memberikan ciuman bertubi pada wajah dan tubuh gempal dan wangi putranya itu. Arina dan orang tuanya sungguh merawat Davian dengan baik.
Ikatan batin antara ayah dan anak itu begitu kuat.
Banyak hal yang Damar lakukan bersama Davian, bahkan mas Safri meminjamkan motor saat Damar akan membawa Davian ke minimarket sejuta umat di ujung jalan sana. Snack dan mainan yang dulu Davian mau sekarang dibelikan oleh papanya, yang dulu mungkin mau tapi uang Arian tak cukup untuk membelikan putranya itu. Bukan hanya ke minimarket, namun Damar juga membawa Davian ke salah satu toko baju di kabupaten itu. Toko baju yang hanya dimasuki orang – orang kaya di desa itu, padahal harganya tak seberapa, sesuai dengan kualitasnya, namun demi berhemat Arina baru sekali saja membawa Davian ke toko ini.
Bukan hanya Davian yang dibelikan baju oleh Damar, namun buat bu Fatimah dan pak Sayuti juga. Ada cemilan juga untuk mba Eva dan Wiwid.
Wiwid dan mbak Eva bahkan tertawa saat melihat belanjaan Damar harus diantarkan ojek padahal Damar bawa motor sendiri.
“Bapak kaya kalap belanja deh,” Wiwid tertawa.
“Banyaknya Mas dibelikan susu, Davi sudah dua tahun lebih, Arin sudah minta kami ajarin Davi nggak minum susu lagi.” Ucap mbak Eva juga sambil menahan tawa.
Pak Sayuti dan bu Fatimah memperhatikan saja dengan pikiran masing – masing yang sama. Davian tetap butuh papanya.
Saat akan pulang pun terjadi drama dari Davian yang tak hendak melepas papanya, hingga semua harus turun membujuknya.
“Papa kerja dulu ya nak, nanti papa datang sama mama.” Damar menenangkan Davian sore itu yang mulai menangis.
“Ayo sama ayah, kita lihat burung bangau di sawah.” Kata mas Safri sambil berusaha mengambil Davian dari gendongan. Meski terpaksa akhirnya Davian pindah ke gendongan mas Safri.
Netra Damar memerah.
“Terima kasih mas.” Damar mengucap tulus pada mas safri
Mas Safri menepuk bahu Damar yang netranya telah memerah.
“Hati – hati di jalan, jangan lupa nanti datang dan bawa kembali mamanya Davi.”
Damar mengangguk pasti.
Setelah menyalami dan mencium tangan mantan mertuanya, Damar melajukan mobilnya pulang dengan perasaan haru.
Sementara Wiwid akan pulang di hari minggu. Sudah diberi amplop pada karyawannya itu sebagai ongkos jalan, padal Wiwid menolak namun Damar memaksa.
__
Gerimis tak lagi turun namun mendung masih menggelayut tipis di langit senja menjelang magrib ini, saat Damar melihat Arina berjalan pelan akan pulang. Rok span hitam sebetis dan blouse putih lengan panjang dengan rambut digerai nampak membuatnya terlihat semakin feminim, sepatu hitam flat shoes semakin menambah kesederhanaanya yang tampak menarik di mata Damar.
Sudah berpisah baru tersadar cintanya untuk siapa.
Namun seketika Damar memicing saat melihat seorang pria yang mengendari motor Yamaha Vixion merah berhenti di depan Arina yang nampak tak memperhatikan pria itu.
Bersambung...
“Arin, sudah pulang?” suara Alan mengagetkan Arina tertunduk menunggu angkutan umum sore itu.“Mas Alan, koq disini?” Arina heran dengan keberadaan Alan di kota ini.dari pakaiannya nampaknya Alan baru saja menghadiri pertemuan. Kemeja putih bergaris biru yang dilipat hingga siku dengan bawahan celana kain warna hitam dan sepatu pantovel membuat pria tiga puluh tahunan ini nampak begitu menarik di mata kaum hawa. Beberepa pekerja wanita yang juga akan pulang sore itu nampak memandang kagum pada lelaki itu. Namun tidak dengan Arina, tak sedikitpun rasa yang lain terselip di hatinya untuk pria ini, meski Alan jelas sedang berusaha mendekatinya dan memberi perhatian pada Davian, namun Arina sungguh tak merespon, baginya Alan hanya sekedar kawan bermain di kampung dulu.“Ada kegiatan dari Dinas Sosial yang membahas bantuan untuk masyarakat kampung yang memiliki usaha kecil ataupun kebun Rin.”“Itu kaya gimana mas?”“Jadi masyarakat desa yang memiliki kebun atau sawah satu atau dua petak
Arina melangkah pasti, memasuki gedung kantor tempatnya dua tahun lebih ini mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.Apalagi yang dilihatnya kemarin malam cukuplah memantapkan hatinya untuk terus melangkah tanpa melihat kembali ke belakang apalagi menunggu masa lalu yang mulai mengganggu.Ditaruhnya tas pada meja kerja, tak dilihat lagi Wiwid pagi ini, ya hari ini Wiwid akan lamaran. Sebentar lagi sahabatnya itu akan dipersunting pria pujaannya yang tentunya saling mencintai, tak seperti dirinya yang menikah karna dijodohkan lalu berpisah karna hanya dirinya yang berusaha mencintai.Semoga kebahagian dan kebaikan menaungi rumah tangga sahabatnya itu. Do’a tulus terucap dari dalam hati Arina.Arina berjalan menuju pantri bawah, pantri khusus staf, dibawanya gelas keramik berwarna putih untuk diisi air minum, saat berjalan menuju pantri, dari arah pintu tengah yang dekat tangga menuju lantai atas, muncul Damar dengan kemeja hem warna biru cerah dengan celana kain warna hita
POV DamarBetapa senang mama dan papa saat tahu akan kubawa ke desa menengok cucu mereka. Tentu segala persiapan dilakukan mama dan papa, karna bukan hanya akan bertemu cucu yang didambakan namun juga akan bertemu sahabat mereka. Rasa malu dan sungkan masih ada, namun rencanaku untuk menyatukan kembali keluarga kami tak bisa ditawar lagi.Sebenarnya mama akan ke kantorku dulu bertemu dan minta maaf pada mantan menantu kesayangnnya itu, namun melihat pria kemarin mencoba mendekati Arina, tentu tak bisa kuanggap remeh.Aku harus berterima kasih pada mbak Eva dan mas Safri yang turut andil dalam menjalankan rencanaku, tentu saja tanpa Arina ketahui. Mereka berdua bukan hanya membantu mengurus Davian namun sekarang juga membantuku agar bisa bersatu kembali dengan Arina. Tentu mas Safri yang lebih dulu menyampaikan maksud pada pak Sayuti.Harusnya Arina pulang sore ini ke desa menengok putra kami, tentu rindu telah membuncah di dadanya, namun kuberi pekerjaan tambahan agar harus lembur sam
Sungguh Arina tak menyangka akan kehadiran Damar di rumah orang tuanya sore ini. Arina sebenarnya sudah merasa lain saat Damar memberinya tumpukan pekerjaan untuk menghitung nota yang sudah lama dan sudah dibayarkan, karna mati lampu dan tak mungkin lembur hingga larut meskipun Wiwid membantu tadi, Arina memutuskan untuk pulang, namun heran juga saat Wiwid berulang kali memastikan kalau dirinya tak pulang ke rumah ibu bapak dulu hari ini.“Besok aja Rin pulangnya,” wajah Wiwid nampak cemas, namun Arina berpura tak memperhatikan.Ah rupanya Wiwid juga ada dibalik kedatangan Damar ke rumah orang tuanya.Lalu saat Damar tak masuk kantor hampir seminggu, setiap Arina melakukan panggilan video pada ibu selalu ibu mengakhiri cepat- cepat dan bahkan sempat mendengar suara Davian memanggil papa namun ibu sudah langsung mematikan ponsel saat itu.Lebih kaget lagi saat Arina meihat bu Intan dan pak Mahmud kedua mantan mertuanya, pak Mahmud dan bapak bahkan nampak asyik berbincang di teras sampi
“Jadi, nak Damar ini datang bersama orang tuanya ingin melamar kamu lagi nduk.” Suara bu Fatimah membuat Arina sedikit kaget, tak percaya dengan kenekatan Damar yang tak main-main.Beberapa kali memang dirinya diberi sinyal langsung maupun tak langsung akan perasaan Damar padanya, bahkan yang terakhir keluar langsung dari bibir ayah putranya itu sambil memeluknya di sofa kantor beberapa hari yang lalu.Namun Arina tetap saja ragu, bayang-bayang kesakitan yang dirasa sewaktu ditalak belum juga enyah sepenuhnya dari pikirannya, bahkan bayangan saat Damar mencumbui wanita itu di ruang tamu, masih Arina ingat saat suatu malam Yasmin datang menjemput Damar minta ditemani makan malam, Yasmin langsung memeluk Damar yang keluar dari ruang kerja dan memagut bibir lelaki yang saat itu berstatus suaminya, tanpa mereka sadari Arina melihat karna hendak ke dapur ingin mengambil air minum. Ya dulu memang Yasmin sering datang ke rumah, saat Damar sudah memberi tahu Arina akan keberadaan wanita yang
Ucapan hamdalah terdengar, terucap dari bibir yang hadir di ruang tamu rumah orang tua Arina hari ini, setelah mendengar jawaban Arina atas lamaran orang tua Damar tempo hari. Dua setelah kedatangan pertama bu Intan dan pak Mahmud di rumah pak Sayuti, hari ini mereka datang kembali, tak hanya bertiga dengan Damar namun membawa rombongan sekitar tujuh orang, ada juga cincin dan kue – kue serta buah-buahan yang mereka bawah, bu Intan yang berdarah bugis dari pihak ibu beliau, tentu tak melupakan tradisi bila melamar anak gadis orang. Meskipun Arina ini janda dan mantan menantu beliau, namun diperlakukan tetap sama. Tak lupa mahar berupa uang yang pak Sayuti sebutkan, tak banyak. Namun bu Intan dan pak Mahmud menambahnya berkali lipat, sebagai wujud rasa sayang pada Arina, tak lupa sawah satu petak diserahkan untuk Arina sebagai mahar tambahan. Apapun yang terjadi dikemudian hari, sawah itu itu tetap milik Arina.Pak Sayuti dan bu Fatimah berulang menolak, namun bu Intan dan pak Mahmud t
Pov ArinaDamar Ganendra, pria pertama yang mencuri hatiku, namun dia juga pria pertama yang melukai perasaanku, mengikis cinta yang perlahan tumbuh dihatiku saat pertama kali kulihat mata tajamnya memandangku sore itu di rumah bapak.Sempat kulihat keraguan di wajahnya saat diberitahu bahwa kami berdua akan dinikahkan.Dan benar saja, keraguannya tak hanya di wajahnya namun tiga bulan setelah pernikahan kami, aku ditalaknya dihadapan wanita yang menjadi kekasihnya selama ini. Oh rupanya aku menjadi orang ketiga diantara mereka.Miris dan kecewa itu yang kurasa, ternyata aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang saling mencintai.Mengapa Bapak dan ibu tak menanyakan dulu apakah mas Damar ini punya kekasih atau tidak. Mengapa pula bu Intan harus memilih aku, sedangkan mas Damar punya kekasih yang jauh lebih cantik dan tentu punya segalanya.Penampilannya yang modis dengan rok diatas lutut dipadankan dengan kaos warna putih dan rambut sepunggung yang diwarnai tentu membuatnya nampak
Rahang Damar mengeras demi melihat gambar masa lalunya yang dikirim ke ponsel milik Arina. Nomor pengirim pun tak tersimpan di nomor ponselnya. Damar sebenarnya mencurigai salah satu karyawannya yang satu ruangan dengan Arina. Sebab beberapa hari yang lalu dilihatnya gadis berambut cepak itu duduk bersama Yasmin, bisa saja Rahma adalah keluarga atau kawan Yasmin yang mengetahui tentang hubungan dirinya di masa lalu dengan wanita itu.Sungguh kemarahannya pada sang pengirim gambar tak sebesar rasa khawatirnya pada Arina, takut – takut bila calon istrinya itu akan berfikir yang tidak – tidak tentang foto masa lalunya itu.“Koq, kamu disini, Mas?” Arina kaget dengan kedatangan Damar di rumahnya jam dua siang ini.Damar gelisah luar biasa saat menghubugi Arina sejak tiga jam yang lalu namun ponsel milik wanita itu tak aktif.Nalarnya sudah menduga yang tidak – tidak, apakah Arina terpengaruh dengan gambar itu lalu membatalkan pernikahan mereka yang tinggal dua hari lagi. Niatnya yang t