Share

Bab. 5

Bagaimana mungkin Damar bisa melupakan tatapan mata bening putranya sore itu. Dia harus berterima kasih pada Wiwid, sahabat Arina. Atas bantuannya dirinya bisa melihat dan memeluk si kecil Davian tanpa sepengetahuan Arina, entah setelah dia mengetahui, mungkin akan diamuk dirinya ini. Tadi sempat dipeluknya diruang kerja wanita berwajah sendu itu, namun Arina menolak. Sudah sepantasnya kan, Arina bukan lagi istri Damar tentu dia akan membatasi diri, Damar saja yang tak bisa menahan diri.

Satu hal yang Damar syukuri, ternyata orang tua Arina masih mau berbicara dengan dirinya baik – baik, tentu saja pak Sayuti dan bu Fatimah menahan egonya demi cucu mereka. Dapat Damar tangkap dari wajah mereka berdua yang mulai sepuh, ketulusan dan kasih sayang yang luar biasa untuk Davian.

Sempat bu Fatimah kemarin mengira kalau Wiwid dan Damar ada hubungan, sedangkan yang beliau tahu Wiwid akan segera menikah. Bukan hanya Wiwid yang mengetahui tentang Davian, namun ibunya Wiwid juga, bu Salamah, beliau yang selalu menghibur bu Fatimah dulu di awal – awal kehamilan Arina yangs sempat menjadi gunjingan tetangga.

“Apa mama dan papa tahu pak, kalau saya dan Arina punya Davian?” pelan Damar menanyakan itu mengingat meskipun sudah menceraikan putri beliau, namun pak Sayuti tetap menggarap sawah orang tua Damar. Tentu kebutuhan ekonomi yang yang menjadi pertimbangan beliau. Ditambah kehadiran Davian yang harus beliau tanggung juga.

“Tidak nak Damar, pak Mahmud tak mengetahui.” Itu saja yang diucapkan pak Sayuti. Sejak kabar tentang Damar menalak Arina sampai ke telinga beliau. Pak Mahmud merasa malu sendiri, untuk urusan hasil sawah dan penggarapannya diserahkan pada pak Azis saudara sepupu beliau yang juga sama – sama bertani bersama pak Sayuti.

Sungguh pak Mahmud dan bu Intan malu dan segan bertemu kawan lama yang telah menjadi mantan besannya.

“Beritahukan kami pak, bila Arina hamil. Bagaimana pun kami harus bertanggung jawab.” Ucap pak Mahmud suatu hari di pagi pertama kali bertemu sejak kedua anak mereka tak lagi ada ikatan.

Saat itu pak Sayuti hanya tersenyum sendu sambil mengangguk. Tentu kecewa yang dirasakan beliau saat itu. Bukan karna putrinya tak lagi menjadi menantu di keluarga yang berkecukupan, namun dinikahi dan diceraikan dalam waktu yang singkat dan dalam keadaan hamil muda pula, hati orang tua mana yang tak terluka.  Lalu setelahnya beliau melihat kegigihan yang luar biasa dari Arina dalam mencari nafkah untu anaknya. Belum dua bulan lebih, Arina meninggalkan si kecil Davian saat itu, merantau ke kota mencari pekerjaan dan Wiwidlah yang banyak membantu saat itu.  Di rumah si kecil Davian tinggal bersama Bu Fatimah dan ada mbak Eva, kakak sepupu Arina yang tinggal di samping rumah mereka. Lama menikah dengan mas Safri namun belum memiliki anak, membuat mbak Eva senang mengurus Davian, mas Safri pun tak keberatan. Sebenarnya mbak Eva hendak mengadopsi Davian, namun pak Sayuti tak mau, Arina pun demikian, buah hati yang dilahirkan dengan taruhan nyawa tak akan diberikannya pada orang lain. Termasuk pada papanya.

--

Bu Intan dan pak Mahmud menangis haru demi mendengar kabar yang Damar bawa sore itu, bersama sebuah gambar anak kecil dalam gendongannya yang sangat mirip dengan Damar kecil.

Bu Intan tersedu sedan luar biasa, sementara pak Mahmud, terdiam dengan air mata mengalir. Bukan hanya bahagia karna mengetahui mereka punya cucu, namun membayangkang keadaan dan kekecawaan yang pak Sayuti rasakan namun tetap dengan ikhlas membesarkan cucu mereka.

Sahabat karibnya tak berubah. Ketulusan di hati pak Sayuti yang mmebuat pak Mahmud dulu bisa berteman akrab, ternyata tak berubah dari beliau.

“Kapan kita bisa ke desa dan minta maaf pak Sayuti dan Fatimah pak?” bu intan masih tersedu sambil melihat gambar Davian pada ponsel Damar.

“Kamu atur Dam, agar kami bisa segera bertemu mantan mertuamu, papa malu namun kami juga ada cucu.” Suara pak Mahmud terdengar bergetar.

“Mama sama papa sabar dulu, Damar akan segera bawa papa sama mama bila keadaan sudah memungkinkan. Sementara ini Damar masih sibuk, lagian Arian juga belum tahu pak kalau Damar sudah bertemu orang tuanya dan Davian.” Bisa semengamuk apa nanti arina kalau tahu.

“Biarkan mama ke kantormu, mama ingin bertemu Arin.” Pinta bu Intan.

“Iya, nanti mama boleh ke kantor, tapi mama jangan beritahu dulu kalau Damar sudah bertemu dengan Davian.”

Bu Intan mengangguk.

Tak sabar  rasanya bertemu menantu kesayangannya itu yang telah menjadi mantan.

--

“Ini papanya Davi, yang sering mama kasi liat fotonya.” Betapa terkejut sekaligus bahagia dihati Damar saat mendengar ucapan Wiwid. Ya diam – diam Arina sering memperlihatkan foto Damar pada Davian saat pulang,  bahkan foto akad nikahnya pun masih Arina pajang di kamar kecilnya, kamar yang hanya memiliki kasur sederhana yang dipakai tidur bersamaan Davian bila Arina pulang ke desa. Umur Davian yang sudah dua tahun lebih mulai mengerti dan terkadang mencari sosok papa. Sudah diajar kalau pak Sayuti adalah bapakanya, namun yang dia cari adalah sosok yang di foto yang sering mamanya perlihatkan. Pak Sayuti dan bu Fatimah akan memberi tahu bila papanya sedang kerja. Terkadang mbak Eva dan mas Safri yang menjelaskan kalau mereka adalah ayah dan bunda Davian, ya Davian diajarkan untuk memanggil ayah dan bunda pada mbak Eva dan mas Safri. Namun bocah ini tetap merasa bukan sosok ini yang dicari.

Dipertemuan Jum’at sore kemarin, ada mbak Eva dan mas safri juga, sebelumnya Wiwid dan bu Salamah telah menyampaikan akan datang bersama Damar pada bu Fatimah. Tak bermaksud lancang namun Wiwid hanya membantu niat baik Damar. Pak Sayuti pun ikhlas saja menerima kedatangan mantan menantunya itu, bukan salah Damar sepenuhnya bila tak mengetahui keberadaan putranya. Mungkin begini takdir putri yang dilahirkannya yang tercatat di Laufu Mahfuz. Sungguh bijak beliau.

Bahkan Damar hendak bersujud memohon ampun pada pak Sayuti dan bu Intan, namun beliau tahan. Dipeluknya mantan menantu beliau yang telah terisak penuh rasa bersalah.

Davian pun tak butuh lama untuk bisa seakrab itu pada papanya. Saat digendong Damar, Davian nampak bergelayut dan tak mau turun. Damar memberikan ciuman bertubi pada wajah dan tubuh gempal dan wangi putranya itu. Arina dan orang tuanya sungguh merawat Davian dengan baik.

Ikatan batin antara ayah dan anak itu begitu kuat.

Banyak hal yang Damar lakukan bersama Davian, bahkan mas Safri meminjamkan motor saat Damar akan membawa Davian ke minimarket sejuta umat di ujung jalan sana. Snack dan mainan yang dulu Davian mau sekarang dibelikan oleh papanya, yang dulu mungkin mau tapi uang Arian tak cukup untuk membelikan putranya itu. Bukan hanya ke minimarket, namun Damar juga membawa Davian ke salah satu toko baju di kabupaten itu. Toko baju yang hanya dimasuki orang – orang kaya di desa itu, padahal harganya tak seberapa, sesuai dengan kualitasnya, namun demi berhemat Arina baru sekali saja membawa Davian ke toko ini.

 Bukan hanya Davian yang dibelikan baju oleh Damar, namun buat bu Fatimah dan pak Sayuti juga. Ada cemilan juga untuk mba Eva dan Wiwid.

Wiwid dan mbak Eva bahkan tertawa saat melihat belanjaan Damar harus diantarkan ojek padahal Damar bawa motor sendiri.

“Bapak kaya kalap belanja deh,” Wiwid tertawa.

“Banyaknya Mas dibelikan susu, Davi sudah dua tahun lebih, Arin sudah minta kami ajarin Davi nggak minum susu lagi.” Ucap mbak Eva juga sambil menahan tawa.

Pak Sayuti dan bu Fatimah memperhatikan saja dengan pikiran masing – masing yang sama. Davian tetap butuh papanya.

Saat akan pulang pun terjadi drama dari Davian yang tak hendak melepas papanya, hingga semua harus turun membujuknya.

“Papa kerja dulu ya nak, nanti papa datang sama mama.” Damar menenangkan Davian sore itu yang mulai menangis.

“Ayo sama ayah, kita lihat burung bangau di sawah.” Kata mas Safri sambil berusaha mengambil Davian dari gendongan. Meski terpaksa akhirnya Davian pindah ke gendongan mas Safri.

Netra Damar memerah.

“Terima kasih mas.” Damar mengucap tulus pada mas safri

Mas Safri menepuk bahu Damar yang netranya telah memerah.

“Hati – hati di jalan, jangan lupa nanti datang dan bawa kembali mamanya Davi.”

Damar mengangguk pasti.

Setelah menyalami dan mencium tangan mantan mertuanya, Damar melajukan mobilnya pulang dengan perasaan haru.

Sementara Wiwid akan pulang di hari minggu. Sudah diberi amplop pada karyawannya itu sebagai ongkos jalan, padal Wiwid menolak namun Damar memaksa.

__

Gerimis tak lagi turun namun mendung masih menggelayut tipis di langit senja menjelang magrib ini, saat Damar melihat Arina berjalan pelan akan pulang. Rok span hitam sebetis dan blouse putih lengan panjang dengan rambut digerai nampak membuatnya terlihat semakin feminim, sepatu hitam flat shoes semakin menambah kesederhanaanya yang tampak menarik di mata Damar.

Sudah berpisah baru tersadar cintanya untuk siapa.

Namun seketika Damar memicing saat melihat seorang pria yang mengendari motor Yamaha Vixion merah berhenti di depan Arina yang nampak tak memperhatikan pria itu.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status