Sudah dua hari ini Arina makan siang sendiri. Biasanya ada Wiwid yang menemani, namun dua hari ini Wiwid dan pak Bos tak masuk. Sebenarnya pak Damar sudah hampir seminggu ini tak masuk, entah cuti entah apa. Ada bagusnya juga karna Arina merasa aman dari gangguan si bos. Entah dengan hatinya sendiri amankah atau bagaimana. Rasa bersalah juga terselip di hatinya sejak malam dirinya menolak makanan pemberian pak Damar.
--
“Kamu darimana sih dua hari nggak masuk dua hari juga nggak ada kabar.” Arina mencecar Wiwid yang baru datang.
“Tadi mas Faris singgah di toko roti Maros, sekalian beli panada sama risoles, inget kamu suka panada.” Diberikannya sekotak panada dan risoles kesuakaan Arina tanpa menjawab pertanyaan Arina.
“Makasih banyak Wid, makasih juga sama mas Faris, tapi kamu darimana sih?” ulang Arina.
“Em itu kemarin pulang nengok ibu sama bapak Rin.” Wiwid berjalan kembali ke mejanya. Akan diselesaikan pekerjaan yang menumpuk dua hari ditinggal.
Arina masih ingin bertanya, namun melihat tumpukan invoice di meja Wiwid diurungkannya niatnya.
Melihat panada dan risoles di pagi ini, membuat Arina ingin membuat teh saja. Akan dimakannya panada dengan segelas teh, belum terlambat untuk sarapan sebelum si bos datang menegur.
Pagi yang masih saja mendung namun tak hujan, membuat hawa sejuk terasa menyegarkan.
Rasa emosi pun mulai berkurang, perlahan berdamai dengan keadaan namun takut kehilangan menjadi momok, namun apakah riak air yang berusaha ditenangkan tak akan mengamuk suatu saat?
Begitu perasaan Arina, sampai kapan menyembunyikan status papa yang sudah sering ditanya Davian padanya bila pulang menengok pria kecilnya itu.
Gulana menyapa hatinya.
--
Tepat habisnya dua buah panada dengan segelas teh di sesapan terakhir, pak Damar masuk ke ruangan Arina, sempat melirik kotak kue yang ada di atas meja Arina lalu berlalu ke meja Wiwid.
Karyawan lain bergumam kasak kusuk saat melihat pak Damar kembali ke ruangannya diikuti oleh Wiwid. Arina pun jadi kacau pikirannya
“Apa Wiwid nggak izin ya?” gumam Arina.
“Dua hari nggak masuk jelas dipanggillah.” Ujar Gea, rekan admin yang seruangan dengan Arina dan Wiwid.
“Tapi masa sih Wiwid nggak izin,” Arina menimpali.
“Iya, juga ya. Atau mungkin masalah kerjaan lain.” Ucap Gea lagi lalu kembali fokus ke pekerjaannya.
Arina pun demikian, sebentar akan ditanyanya Wiwid. Selanjutnya Arina sudah berkutat dengan laporan stok barang akhir bulan.
--
“Gimana Wid?,” Damar langsung to the point ke Wiwid.
“Seperti yang Bapak liat, Arin langsung makan panadanya.”
“Kamu bilang apa tadi sama dia?,”
“Saya bilang pacar saya yang beli pak, kebetulan Arin suka panada dan risoles jadinya beli dia, nggak bohong kan pak, emang pacar saya tadi yang masuk ke toko beli.” Wiwid menjelaskan.
“Iya,”
Rupanya panada dan risoles tadi dibeli pakai uang Damar.
“Makan siangnya gimana Wid, kamu ajak deh keluar makan siang bilang aja kamu traktir dia.” Pinta Damar lagi.
“Siap bos, mudah-mudahan Arinnya mau pak, anaknya suka nggak enakan soalnya.”
“Dia makan nasi putih sama telur saja hampir tiap hari Wid.” Damar merasa kasihan pada ibu dari anaknya itu.
“Ya dari dulu begitu pak, demi putra Bapak. Arin hidup sehemat mungkin, bajunya juga jarang beli, Bapak bisa liat baju kerjanya itu – itu aja.” Wiwid menarik nafas pelan.
Kata – kata Wiwid barusan serasa menghantam ulung hati Damar, betapa Arina menyiksa dirinya demi putranya.
“Makasih untuk yang kemarin Wid,”
“Sama – sama pak, kalau begitu saya balik kerja dulu.”
“Ok, jangan lupa ajak Arina makan diluar entar siang.”
“Siap, pak.”
Wiwid membuka pintu ruang kerja Damar tepat saat melihat Arina berjalan ke arahnya.
“Laporan Rin?” Wiwid berbasa basi, takut – takut tadi pembicaraannya dengan Damar didengar oleh Arina.
“Iya, tadi ditegur sama bos ya,” nada khawatir keluar dari mulut Arina.
“Hehe nggak, Cuma ditanya kapan nikah.” Lalu Wiwid tertawa.
“Eh beneran, gimana sih, serius dong kepo nih.”
“Iya, jadi kemarin tuh emang ketemu Bapak sama Ibu, orang tua mas Faris datang lamaran Rin.” Jelas Wiwid.
“Syukur Alhamdulillah.” Arina ikut berbahagia mendengar kabar Wiwid akan menikah. Faris adalah pria yang baik di mata Arin,dia bekerja sebagai sales produk minuman soda yng bermerk. Penghasilannya pun lumayan.
“Padahal aku mau cerita sama kamu kalau makan siang tau, aku mau traktir kamu makan siang.”
“ Yeee boleh deh.” Arina sumringah bakalan ditraktir makan siang oleh kawannya ini. Pas, dia tidak bawa bekal tadi karna bangun agak siang.
“ok, kalau gitu masuk dulu deh, ditungguin sama bos tuh.”
“Iya.”
--
Arina sedikit heran dengan ekspresi Damar yang nampak berbinar di pagi ini. Entah habis ketiban durian runtuh atau gimana.
“Ada yang mau dikoreksi pak?” Arina tak mengalihkan pandangan dari stofmap folder yang dipegangnya.
“Enggak ada, semuanya bagus ditangan kamu.” Damar meminta Arina untuk memberikan berkas laporan yang akan ditandatangani.
Arina maju dan berdiri di depan meja kerja Damar.
“Kapan kamu pulang jenguk anak kita?” Damar bertanya sambil tetap membubuhkan tandatangan pada berkas – berkas tadi.
“Anak saya pak.” Arina menahan jengkel.
“Anak saya juga kan.” Damar menggoda Arina.
“Nanti kuantar kalau pulang ke rumah Bapak,”
“Enggak usah, saya bisa pulang sendiri.”
“Kan saya juga mau ketemu putra kita,”
“Bapak nggak kenal dia. Kalau sudah selesai saya mau balik ke ruang kerja saya pak.”
Damar berdiri dan berjalan ke arah Arina
Bersambung...
Bagaimana mungkin Damar bisa melupakan tatapan mata bening putranya sore itu. Dia harus berterima kasih pada Wiwid, sahabat Arina. Atas bantuannya dirinya bisa melihat dan memeluk si kecil Davian tanpa sepengetahuan Arina, entah setelah dia mengetahui, mungkin akan diamuk dirinya ini. Tadi sempat dipeluknya diruang kerja wanita berwajah sendu itu, namun Arina menolak. Sudah sepantasnya kan, Arina bukan lagi istri Damar tentu dia akan membatasi diri, Damar saja yang tak bisa menahan diri.Satu hal yang Damar syukuri, ternyata orang tua Arina masih mau berbicara dengan dirinya baik – baik, tentu saja pak Sayuti dan bu Fatimah menahan egonya demi cucu mereka. Dapat Damar tangkap dari wajah mereka berdua yang mulai sepuh, ketulusan dan kasih sayang yang luar biasa untuk Davian.Sempat bu Fatimah kemarin mengira kalau Wiwid dan Damar ada hubungan, sedangkan yang beliau tahu Wiwid akan segera menikah. Bukan hanya Wiwid yang mengetahui tentang Davian, namun ibunya Wiwid juga, bu Salamah, bel
“Arin, sudah pulang?” suara Alan mengagetkan Arina tertunduk menunggu angkutan umum sore itu.“Mas Alan, koq disini?” Arina heran dengan keberadaan Alan di kota ini.dari pakaiannya nampaknya Alan baru saja menghadiri pertemuan. Kemeja putih bergaris biru yang dilipat hingga siku dengan bawahan celana kain warna hitam dan sepatu pantovel membuat pria tiga puluh tahunan ini nampak begitu menarik di mata kaum hawa. Beberepa pekerja wanita yang juga akan pulang sore itu nampak memandang kagum pada lelaki itu. Namun tidak dengan Arina, tak sedikitpun rasa yang lain terselip di hatinya untuk pria ini, meski Alan jelas sedang berusaha mendekatinya dan memberi perhatian pada Davian, namun Arina sungguh tak merespon, baginya Alan hanya sekedar kawan bermain di kampung dulu.“Ada kegiatan dari Dinas Sosial yang membahas bantuan untuk masyarakat kampung yang memiliki usaha kecil ataupun kebun Rin.”“Itu kaya gimana mas?”“Jadi masyarakat desa yang memiliki kebun atau sawah satu atau dua petak
Arina melangkah pasti, memasuki gedung kantor tempatnya dua tahun lebih ini mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.Apalagi yang dilihatnya kemarin malam cukuplah memantapkan hatinya untuk terus melangkah tanpa melihat kembali ke belakang apalagi menunggu masa lalu yang mulai mengganggu.Ditaruhnya tas pada meja kerja, tak dilihat lagi Wiwid pagi ini, ya hari ini Wiwid akan lamaran. Sebentar lagi sahabatnya itu akan dipersunting pria pujaannya yang tentunya saling mencintai, tak seperti dirinya yang menikah karna dijodohkan lalu berpisah karna hanya dirinya yang berusaha mencintai.Semoga kebahagian dan kebaikan menaungi rumah tangga sahabatnya itu. Do’a tulus terucap dari dalam hati Arina.Arina berjalan menuju pantri bawah, pantri khusus staf, dibawanya gelas keramik berwarna putih untuk diisi air minum, saat berjalan menuju pantri, dari arah pintu tengah yang dekat tangga menuju lantai atas, muncul Damar dengan kemeja hem warna biru cerah dengan celana kain warna hita
POV DamarBetapa senang mama dan papa saat tahu akan kubawa ke desa menengok cucu mereka. Tentu segala persiapan dilakukan mama dan papa, karna bukan hanya akan bertemu cucu yang didambakan namun juga akan bertemu sahabat mereka. Rasa malu dan sungkan masih ada, namun rencanaku untuk menyatukan kembali keluarga kami tak bisa ditawar lagi.Sebenarnya mama akan ke kantorku dulu bertemu dan minta maaf pada mantan menantu kesayangnnya itu, namun melihat pria kemarin mencoba mendekati Arina, tentu tak bisa kuanggap remeh.Aku harus berterima kasih pada mbak Eva dan mas Safri yang turut andil dalam menjalankan rencanaku, tentu saja tanpa Arina ketahui. Mereka berdua bukan hanya membantu mengurus Davian namun sekarang juga membantuku agar bisa bersatu kembali dengan Arina. Tentu mas Safri yang lebih dulu menyampaikan maksud pada pak Sayuti.Harusnya Arina pulang sore ini ke desa menengok putra kami, tentu rindu telah membuncah di dadanya, namun kuberi pekerjaan tambahan agar harus lembur sam
Sungguh Arina tak menyangka akan kehadiran Damar di rumah orang tuanya sore ini. Arina sebenarnya sudah merasa lain saat Damar memberinya tumpukan pekerjaan untuk menghitung nota yang sudah lama dan sudah dibayarkan, karna mati lampu dan tak mungkin lembur hingga larut meskipun Wiwid membantu tadi, Arina memutuskan untuk pulang, namun heran juga saat Wiwid berulang kali memastikan kalau dirinya tak pulang ke rumah ibu bapak dulu hari ini.“Besok aja Rin pulangnya,” wajah Wiwid nampak cemas, namun Arina berpura tak memperhatikan.Ah rupanya Wiwid juga ada dibalik kedatangan Damar ke rumah orang tuanya.Lalu saat Damar tak masuk kantor hampir seminggu, setiap Arina melakukan panggilan video pada ibu selalu ibu mengakhiri cepat- cepat dan bahkan sempat mendengar suara Davian memanggil papa namun ibu sudah langsung mematikan ponsel saat itu.Lebih kaget lagi saat Arina meihat bu Intan dan pak Mahmud kedua mantan mertuanya, pak Mahmud dan bapak bahkan nampak asyik berbincang di teras sampi
“Jadi, nak Damar ini datang bersama orang tuanya ingin melamar kamu lagi nduk.” Suara bu Fatimah membuat Arina sedikit kaget, tak percaya dengan kenekatan Damar yang tak main-main.Beberapa kali memang dirinya diberi sinyal langsung maupun tak langsung akan perasaan Damar padanya, bahkan yang terakhir keluar langsung dari bibir ayah putranya itu sambil memeluknya di sofa kantor beberapa hari yang lalu.Namun Arina tetap saja ragu, bayang-bayang kesakitan yang dirasa sewaktu ditalak belum juga enyah sepenuhnya dari pikirannya, bahkan bayangan saat Damar mencumbui wanita itu di ruang tamu, masih Arina ingat saat suatu malam Yasmin datang menjemput Damar minta ditemani makan malam, Yasmin langsung memeluk Damar yang keluar dari ruang kerja dan memagut bibir lelaki yang saat itu berstatus suaminya, tanpa mereka sadari Arina melihat karna hendak ke dapur ingin mengambil air minum. Ya dulu memang Yasmin sering datang ke rumah, saat Damar sudah memberi tahu Arina akan keberadaan wanita yang
Ucapan hamdalah terdengar, terucap dari bibir yang hadir di ruang tamu rumah orang tua Arina hari ini, setelah mendengar jawaban Arina atas lamaran orang tua Damar tempo hari. Dua setelah kedatangan pertama bu Intan dan pak Mahmud di rumah pak Sayuti, hari ini mereka datang kembali, tak hanya bertiga dengan Damar namun membawa rombongan sekitar tujuh orang, ada juga cincin dan kue – kue serta buah-buahan yang mereka bawah, bu Intan yang berdarah bugis dari pihak ibu beliau, tentu tak melupakan tradisi bila melamar anak gadis orang. Meskipun Arina ini janda dan mantan menantu beliau, namun diperlakukan tetap sama. Tak lupa mahar berupa uang yang pak Sayuti sebutkan, tak banyak. Namun bu Intan dan pak Mahmud menambahnya berkali lipat, sebagai wujud rasa sayang pada Arina, tak lupa sawah satu petak diserahkan untuk Arina sebagai mahar tambahan. Apapun yang terjadi dikemudian hari, sawah itu itu tetap milik Arina.Pak Sayuti dan bu Fatimah berulang menolak, namun bu Intan dan pak Mahmud t
Pov ArinaDamar Ganendra, pria pertama yang mencuri hatiku, namun dia juga pria pertama yang melukai perasaanku, mengikis cinta yang perlahan tumbuh dihatiku saat pertama kali kulihat mata tajamnya memandangku sore itu di rumah bapak.Sempat kulihat keraguan di wajahnya saat diberitahu bahwa kami berdua akan dinikahkan.Dan benar saja, keraguannya tak hanya di wajahnya namun tiga bulan setelah pernikahan kami, aku ditalaknya dihadapan wanita yang menjadi kekasihnya selama ini. Oh rupanya aku menjadi orang ketiga diantara mereka.Miris dan kecewa itu yang kurasa, ternyata aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang saling mencintai.Mengapa Bapak dan ibu tak menanyakan dulu apakah mas Damar ini punya kekasih atau tidak. Mengapa pula bu Intan harus memilih aku, sedangkan mas Damar punya kekasih yang jauh lebih cantik dan tentu punya segalanya.Penampilannya yang modis dengan rok diatas lutut dipadankan dengan kaos warna putih dan rambut sepunggung yang diwarnai tentu membuatnya nampak