“Arin, sudah pulang?” suara Alan mengagetkan Arina tertunduk menunggu angkutan umum sore itu.
“Mas Alan, koq disini?” Arina heran dengan keberadaan Alan di kota ini.
dari pakaiannya nampaknya Alan baru saja menghadiri pertemuan. Kemeja putih bergaris biru yang dilipat hingga siku dengan bawahan celana kain warna hitam dan sepatu pantovel membuat pria tiga puluh tahunan ini nampak begitu menarik di mata kaum hawa. Beberepa pekerja wanita yang juga akan pulang sore itu nampak memandang kagum pada lelaki itu. Namun tidak dengan Arina, tak sedikitpun rasa yang lain terselip di hatinya untuk pria ini, meski Alan jelas sedang berusaha mendekatinya dan memberi perhatian pada Davian, namun Arina sungguh tak merespon, baginya Alan hanya sekedar kawan bermain di kampung dulu.
“Ada kegiatan dari Dinas Sosial yang membahas bantuan untuk masyarakat kampung yang memiliki usaha kecil ataupun kebun Rin.”
“Itu kaya gimana mas?”
“Jadi masyarakat desa yang memiliki kebun atau sawah satu atau dua petak nanti akan mendapatkan pelatihan tentang tanaman yang layak ditanam sesuai jenis tanahnya, untuk bibit dan pupuknya, nanti akan diberikan bantuan dari pemerintah, melalui aparatur desa Rin, makanya saya dan pak Bahri diundang menghadiri kegiatan ini.”
“Wah bagus dong, berarti Bapak juga bisa dapat bantuan ini.” Harap Arina.
“Insya Allah, Bapak kan ada sawah juga, sebenarnya Bapak kalau kesulitan dengan tenaga saat menanam padi boleh mengganti dengan menanam sayur juga Rin, panennya cepat, tiga minggu saja sudah bisa panen.”“Tapi pasarannya susah mas, bapak kan sendiri, belum ngangkutnya ke pasar. Mas Safri nggak bisa diharepin terus, beliau juga ada kerjaan sendiri.”
“Itu gampang Rin, untuk pasaran nanti ada dari kantor desa yang bakalan mengurus, bila sudah siap panen, maka pengepul sayuran yang akan datang dan memanen sendiri selesai itu langsung dibayar sayuran para petani Rin. Bagus sebenarnya petani nggak tunggun lama sudah bisa pegang uang, mungkin nggak sebanyak dengan kalau hasil padi atau jagung tapi putaran uangnya cepat kalau bertanam sayur.” Panjang lebar Alan menjelaskan tentang bantuan untuk petani nanti di desa mereka.
Tentu menjadi harapan besar bagi petani seperti orang tua Arina, yang hanya mengandalkan hasil sawah dan kiriman dari Arina.
“Bagus juga mas kalau kaya gitu jadi petani nggak lama menderita.”
“Iya, mungkin lusa atau senin kami mengumpulkan masyarakat di balai desa Rin untuk menyampaikan tentang bantuan ini.”
Arina ikut senang mendengar penjelasan Alan tentang bantuan untuk desa mereka.
Tentu besar harapan bagi para petani disana.
“Kamu capek nggak?,” Alan menyadarkan Arina yang terlihat melamun.
“Dikit mas, akhir bulan soalnya.”
“Boleh temani saya carikan Davi ole-ole?, sekalian jalan – jalan Rin.” Terdengar penuh harap suara Alan mengucapkan itu.
“Jangan repot-repot mas kalau untuk Davi,” Arina merasa tak enak hati.
“Enggak apa-apa Rin, sekalian jalan – jalan mumpung lagi di kota.”
“Tapi yang dekat – dekat aja Mas ya, aku juga nggak tahu jalan sepenuhnya disini, jarang keluar Mas, kecuali untuk kerja dan balik ke kostan. Biasanya kalau jalan Wiwid yang ajak.”
Arina memang tak begitu hafal jalan di kota ini, sekali jalan paling ke mall yang tak jauh dari kantor. Untuk kebutuhan sehari-hari, Arina belanja di pasar tradsisional yang tak jauh dari kost-kostannya. Palingan ke minimarket sejuta umat yang tak jauh dari gang kostanya atau tidak di depan kantornya ini. Kalaupun ada libur Arina lebih memilih pulang ke desa menemui orang tua dan anaknya.
“Iya nggak apa – apa, kita ke mall yang jalan Perintis aja, sekalian ke Ramayana cari kemeja kerja.”
“Boleh deh,”
Arina naik duduk di boncengan motor merah itu, Alan senang bukan main, bisa jalan dan membonceng wanita idamannya ini. Nampak Arina berusaha menjaga jarak di atas motor ini.
Sementara dilantai tiga gedung kantor diatas sana, tampak Damar menahan geram melihat mamanya Davi dibonceng oleh pria asing.
--
Damar seperti orang gila saja mengikuti kemana Arina dan laki – laki itu berjalan. Dia harus sembunyi-sembunyi menjaga jarak namun tetap menjaga wibawa agar tak nampak sedang memata-matai seseorang.
Sempat Arina dengar tadi memanggi nama pria itu. Mas Alan, ini pria yang tempo hari membelikan anaknya robot, waktu berkunjung yang lalu Davi memberitahu papanya ini.
“Robot ini dari om Alan pa.” Suara cadel Davi yang mengatakannya, namun saat itu ada mantan mertuanya jadi tak sempat ditanyai putranya itu.Damar ingat juga, pernah Arina menyebut namanya saat meminta Arina membuatkan teh, saat itu Arina berbicara di telepon dengan Davian.
“Oh mau merebut jodohku rupanya”, geram Damar dalam hati.
Namun Damar pun sedikit lega, sebab tak nampak sekalipun pria itu berusaha menyentuh atau berbicara dengan Arina terlalu dekat. Pria ini cukup sopan. Bahkan tadi sempat dilihatnya Alan masuk ke mushollah mall yang terletak di lantai atas, Damar juga tadi masuk sholat maghrib. Arina yang tak sholat, terlihat hanya duduk di bangku pengunjung yang tak jauh dari letak musholla. Mungkin sedang datang bulan.
Sekarang mereka sedang berada di Ramayana, terlihat Alan mengambil kemeja dua helai dan sepatu anak kecil juga sepasang sweter berwarna biru tua ukuran Davian. Damar yakin itu pasti untuk putranya. Namun Arina terlihat menolak saat Alan menawari blouse warna putih lengan panjang untuk dirinya. Damar lega.
“Buat Davi aja mas, ini udah cukup.” Arina tetap menolak saat ditawari sepatu warna hitam oleh Alan.
“Kamu tolak semua Rin.” Alan tersenyum masam.
“Jangan mas, ini juga sudah cukup buat Davi.” Arina sungkan.
Alan semakin kagum pada mama muda ini. Hidup seadaanya nyaris kekurangan namun tak silau ketika ditawari barang-barang oleh seseorang, tak seperti wanita pada umumnya. Langsung berbinar mata bila ada pria yang mendekati, entah dengan tulus atau modus.
“Kalau gitu kita makan ya, baru pulang.” Tawar Alan lagi.
“Boleh.” Arina juga memang sudah merasa lapar.
Lalu mereka berdua menuju food court di lantai tiga yang berhadapan dengan bioskop 21.
Alan dan Arina mengambil tempat didepan gerai nasi campur komplit, berbagai pilihan menu sudah tersedia disana. Rasa lapar sejak sore tadi dan lelah berjalan di mall, membuat Arina ingin makan menu yang berat.
Dipilihnya nasi campur cap cay dan ayam goreng, sementara Alan ikut saja dengan menu yang dipesan Arina.
“Minumnya mau apa mas,” Arina menanyai Alan yang tak memegang buku menu.
“ Apa yang ada Rin?”
“Pesan minumnya yang nggak ada di desa mas, kalau es teh nggak usah, di rumah juga bisa buat sendiri.” Arina berguyon.
Lalu mereka berdua tertawa, tak menyadari ada seorang pria yang duduk tak jauh dari belakang Arina yang sedang menahan geram mendengar tawa mereka. Papanya Davian ketar ketir sendiri.
Jadilah milo dingin dan air putih kemasan pilihan mereka.
lalu mereka makan dalam diam agar bisa cepat pulang mengingat waktu sudah hampir pukul delapan malam.
“Makasih Rin, untuk hari ini.” Alan berkata sambil menyeruput milo dingin yang terasa segar di tenggorokan.
“Sama – sama mas, makasih juga sudah beli ini itu buat Davi, jangan sering-sering mas, bisa bangkrut nanti.” Arina tertawa pelan.
“Enggak apa- apa Rin, buat nyenengin Davi, siapa tahu mamanya memberi respon yang baik sama bujang seperti saya.” Alan berkata sambil mencuri pandang pada Arina.
“Jangan Mas. Mas Alan ini bujang, jangan mengharap perhatian sama janda miskin seperti saya mas, banyak perawan diluar sana yang pantas buat mas Alan.” Arina tetap merendah.
“Mengapa tak mau membuka hati untuk saya Rin?” Alan berharap.
“Karna saya tak pantas mas.” Arina mengaduk -aduk milo yang sisa setengah gelas.
“Selalu merendah kamu Rin, apa kamu trauma?”
Arina diam saja. Diam yang menandakan bahwa wanita ini memang sedikit trauma bila berhubungan dengan perasaan pada lawan jenis.
“Kita pulang mas, udah larut.” Pinta Arina sambil melihat jam di pergelangan tangan kanannya.
“Iya, mari kuantar.” Alan meraih jaket dan kunci motor.
Arina membantu membawa tas belanjaan tadi.
Damar tak menyadari bila Arina dan Alan telah beranjak dari tempat duduknya. Justrus suara Yasmin yang menyadarkannya.
“Mas Damar!” seru Yasmin yang tampak girang bertemu mantan yang namanya masih tersimpan di hatinya itu.
Damar kaget bukan main, saat melihat Yasmin sudah berdiri dihadapannya dengan menggunakan rok jeans mini diatas lutut dan baju kaos warna kuning bergambar hati, saat kepalanya berputar hendak mengecek Arina, tepat Arina juga berjalan ke arah melewati mereka. Tatapan mata mereka sempat bersirobok. Arina tersenyum sinis tipis, Damar salah tingkah. Yasmin tak sempat melihat Arina karna sibuk menarik kursi di depan Damar padahal tak dipersilahkan oleh pria itu. Alan yang tak tahu apa-apa, merasa bahagia saat Arina tak sengaja menyentuh lengannya.
“Ayo mas kita pulang.” Ajak Arina sekali lagi yang diangguki oleh Alan.Lalu berjalan beriringan keluar menuju parkiran.
Tinggallah Damar terduduk antara malu, kaget dan bingung.
Ini seperti ke gep dengan mantan kekasih oleh mantan istri.
Gimana rasanya ke gep pak bos?
Bersambung...
Arina melangkah pasti, memasuki gedung kantor tempatnya dua tahun lebih ini mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.Apalagi yang dilihatnya kemarin malam cukuplah memantapkan hatinya untuk terus melangkah tanpa melihat kembali ke belakang apalagi menunggu masa lalu yang mulai mengganggu.Ditaruhnya tas pada meja kerja, tak dilihat lagi Wiwid pagi ini, ya hari ini Wiwid akan lamaran. Sebentar lagi sahabatnya itu akan dipersunting pria pujaannya yang tentunya saling mencintai, tak seperti dirinya yang menikah karna dijodohkan lalu berpisah karna hanya dirinya yang berusaha mencintai.Semoga kebahagian dan kebaikan menaungi rumah tangga sahabatnya itu. Do’a tulus terucap dari dalam hati Arina.Arina berjalan menuju pantri bawah, pantri khusus staf, dibawanya gelas keramik berwarna putih untuk diisi air minum, saat berjalan menuju pantri, dari arah pintu tengah yang dekat tangga menuju lantai atas, muncul Damar dengan kemeja hem warna biru cerah dengan celana kain warna hita
POV DamarBetapa senang mama dan papa saat tahu akan kubawa ke desa menengok cucu mereka. Tentu segala persiapan dilakukan mama dan papa, karna bukan hanya akan bertemu cucu yang didambakan namun juga akan bertemu sahabat mereka. Rasa malu dan sungkan masih ada, namun rencanaku untuk menyatukan kembali keluarga kami tak bisa ditawar lagi.Sebenarnya mama akan ke kantorku dulu bertemu dan minta maaf pada mantan menantu kesayangnnya itu, namun melihat pria kemarin mencoba mendekati Arina, tentu tak bisa kuanggap remeh.Aku harus berterima kasih pada mbak Eva dan mas Safri yang turut andil dalam menjalankan rencanaku, tentu saja tanpa Arina ketahui. Mereka berdua bukan hanya membantu mengurus Davian namun sekarang juga membantuku agar bisa bersatu kembali dengan Arina. Tentu mas Safri yang lebih dulu menyampaikan maksud pada pak Sayuti.Harusnya Arina pulang sore ini ke desa menengok putra kami, tentu rindu telah membuncah di dadanya, namun kuberi pekerjaan tambahan agar harus lembur sam
Sungguh Arina tak menyangka akan kehadiran Damar di rumah orang tuanya sore ini. Arina sebenarnya sudah merasa lain saat Damar memberinya tumpukan pekerjaan untuk menghitung nota yang sudah lama dan sudah dibayarkan, karna mati lampu dan tak mungkin lembur hingga larut meskipun Wiwid membantu tadi, Arina memutuskan untuk pulang, namun heran juga saat Wiwid berulang kali memastikan kalau dirinya tak pulang ke rumah ibu bapak dulu hari ini.“Besok aja Rin pulangnya,” wajah Wiwid nampak cemas, namun Arina berpura tak memperhatikan.Ah rupanya Wiwid juga ada dibalik kedatangan Damar ke rumah orang tuanya.Lalu saat Damar tak masuk kantor hampir seminggu, setiap Arina melakukan panggilan video pada ibu selalu ibu mengakhiri cepat- cepat dan bahkan sempat mendengar suara Davian memanggil papa namun ibu sudah langsung mematikan ponsel saat itu.Lebih kaget lagi saat Arina meihat bu Intan dan pak Mahmud kedua mantan mertuanya, pak Mahmud dan bapak bahkan nampak asyik berbincang di teras sampi
“Jadi, nak Damar ini datang bersama orang tuanya ingin melamar kamu lagi nduk.” Suara bu Fatimah membuat Arina sedikit kaget, tak percaya dengan kenekatan Damar yang tak main-main.Beberapa kali memang dirinya diberi sinyal langsung maupun tak langsung akan perasaan Damar padanya, bahkan yang terakhir keluar langsung dari bibir ayah putranya itu sambil memeluknya di sofa kantor beberapa hari yang lalu.Namun Arina tetap saja ragu, bayang-bayang kesakitan yang dirasa sewaktu ditalak belum juga enyah sepenuhnya dari pikirannya, bahkan bayangan saat Damar mencumbui wanita itu di ruang tamu, masih Arina ingat saat suatu malam Yasmin datang menjemput Damar minta ditemani makan malam, Yasmin langsung memeluk Damar yang keluar dari ruang kerja dan memagut bibir lelaki yang saat itu berstatus suaminya, tanpa mereka sadari Arina melihat karna hendak ke dapur ingin mengambil air minum. Ya dulu memang Yasmin sering datang ke rumah, saat Damar sudah memberi tahu Arina akan keberadaan wanita yang
Ucapan hamdalah terdengar, terucap dari bibir yang hadir di ruang tamu rumah orang tua Arina hari ini, setelah mendengar jawaban Arina atas lamaran orang tua Damar tempo hari. Dua setelah kedatangan pertama bu Intan dan pak Mahmud di rumah pak Sayuti, hari ini mereka datang kembali, tak hanya bertiga dengan Damar namun membawa rombongan sekitar tujuh orang, ada juga cincin dan kue – kue serta buah-buahan yang mereka bawah, bu Intan yang berdarah bugis dari pihak ibu beliau, tentu tak melupakan tradisi bila melamar anak gadis orang. Meskipun Arina ini janda dan mantan menantu beliau, namun diperlakukan tetap sama. Tak lupa mahar berupa uang yang pak Sayuti sebutkan, tak banyak. Namun bu Intan dan pak Mahmud menambahnya berkali lipat, sebagai wujud rasa sayang pada Arina, tak lupa sawah satu petak diserahkan untuk Arina sebagai mahar tambahan. Apapun yang terjadi dikemudian hari, sawah itu itu tetap milik Arina.Pak Sayuti dan bu Fatimah berulang menolak, namun bu Intan dan pak Mahmud t
Pov ArinaDamar Ganendra, pria pertama yang mencuri hatiku, namun dia juga pria pertama yang melukai perasaanku, mengikis cinta yang perlahan tumbuh dihatiku saat pertama kali kulihat mata tajamnya memandangku sore itu di rumah bapak.Sempat kulihat keraguan di wajahnya saat diberitahu bahwa kami berdua akan dinikahkan.Dan benar saja, keraguannya tak hanya di wajahnya namun tiga bulan setelah pernikahan kami, aku ditalaknya dihadapan wanita yang menjadi kekasihnya selama ini. Oh rupanya aku menjadi orang ketiga diantara mereka.Miris dan kecewa itu yang kurasa, ternyata aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang saling mencintai.Mengapa Bapak dan ibu tak menanyakan dulu apakah mas Damar ini punya kekasih atau tidak. Mengapa pula bu Intan harus memilih aku, sedangkan mas Damar punya kekasih yang jauh lebih cantik dan tentu punya segalanya.Penampilannya yang modis dengan rok diatas lutut dipadankan dengan kaos warna putih dan rambut sepunggung yang diwarnai tentu membuatnya nampak
Rahang Damar mengeras demi melihat gambar masa lalunya yang dikirim ke ponsel milik Arina. Nomor pengirim pun tak tersimpan di nomor ponselnya. Damar sebenarnya mencurigai salah satu karyawannya yang satu ruangan dengan Arina. Sebab beberapa hari yang lalu dilihatnya gadis berambut cepak itu duduk bersama Yasmin, bisa saja Rahma adalah keluarga atau kawan Yasmin yang mengetahui tentang hubungan dirinya di masa lalu dengan wanita itu.Sungguh kemarahannya pada sang pengirim gambar tak sebesar rasa khawatirnya pada Arina, takut – takut bila calon istrinya itu akan berfikir yang tidak – tidak tentang foto masa lalunya itu.“Koq, kamu disini, Mas?” Arina kaget dengan kedatangan Damar di rumahnya jam dua siang ini.Damar gelisah luar biasa saat menghubugi Arina sejak tiga jam yang lalu namun ponsel milik wanita itu tak aktif.Nalarnya sudah menduga yang tidak – tidak, apakah Arina terpengaruh dengan gambar itu lalu membatalkan pernikahan mereka yang tinggal dua hari lagi. Niatnya yang t
Kedua pengantin baru rasa lama ini terkapar di apartemen milik Damar. Rasa lelah membuat Arina langsung tertelungkup diatas kasur, sementara Damar merengangkan badan di atas sofa panjang. Seharian duduk sabagai raja dan ratu lalu selepas isya menyetir lagi balik ke kota, untung Davian tadi sudah tidur jadi tidak ada drama merengek.Pak Mahmud dan bu Intan memberikan voucher bulan madu di hotel namun Arina dan Damar memilih bulan madu di apartemen saja, ke hotelnya nanti sama – sama Davian saja sekalian ingin mengajak anak mereka berenang.Tadi bu Fatimah dan bu Intan menyiapak makanan di rantang bersusun lima dan kue – kue di wadah plastik lainnya untuk mereka bawa.“Pengantin baru nggak usah masak, pasti kalian capek nanti.” Ucap bu Intan pada anak dan menantunya.“Nanti kamu panasin lagi Rin makanannya buat Damar, sekalian bawa nasi aja, biar nggak masak lagi.” Bu Fatimah menyiapkan termos nasi kecil untuk mereka bawa. “Sekalian bawa gula dan teh kalau belum ada di apartemen kali