Share

Bab. 2

Damar diam memerhatikan wajah panik Arina, wajah yang masih sama tiga tahun lalu yang dinikahinya lalu ditalak di depan wanita yang dicintainya saat itu. Tak ada yang berubah, hanya saja sedikit berisi. Wajah sendu Arina memerangkap memorinya.

Wangi apel yang menguar dari rambut lurus sebahu milik Arina, buat angan Damar melayang sesaat. Mengingat kenangan singkat mereka.

“Masih ada perasaan kamu untuk aku Arina?” Damar tak lagi formal mengucapkan itu. Dielusnya pipi mulus milik mantan istrinya yang wajah dan namanya masih bertahta di hatinya. Bahkan hari dimana Arina keluar dari rumah menggeret koper usang miliknya di depan Damar dan Yasmin, hati Damar tak utuh lagi.

“Semoga mas Damar dan Mbak Yasmin bahagia.” Ucap tulus Arina saat itu sebelum berlalu dengan netra berkaca.

Ijab qabul dan hubungan suami istri ternyata tak mampu mengeratkan pernikahan dadakan mereka. Hanya tiga bulan, setelahnya Damar dan Arina terpisah jarak dan waktu.

Arina berurai air mata saat itu.

Sementara Yasmin tersenyum jumawa.

Dan...Damar hatinya bercelaru, entah mengapa terasa ada yang hilang. Meski dirinya berbalas cumbu di ruang tamu dengan Yasmin sesudahnya.

Sementara hujan di luar sana, mengiringi kepergian Arina, kembali pulang ke rumah ibu dan bapak kala itu.

“Kalau sudah tidak ada pekerjaan lagi untuk saya. Saya mau balik ke ruangan, Pak.” Arina menampik halus namun tegas tangan  itu dari pipinya.

Damar terhenyak.  Setegas itu Arina sekarang.

“Aku mencarimu Arina. Seminggu setelah kepergianmu.”

Arina menahan perasaan yang tiba-tiba sesak. Mengingat lagi kenangan yang suram itu. Lalu embun sudah mengaburkan pandangannya.

“ Buat apa mencariku, tentu Bapak  sudah berbahagia dengan kekasih Anda.” Arina menggigit bibir menahan bulir yang akan jatuh.

“Sama sekali tidak Arina, dia tak sebaik yang kuduga.” Tampak Damar menahan kecewa dan geram.

“Saya permisi kembali ke ruangan kerja saya Pak, tolong buka pintunya!” Arina tak perduli.

Apa perdulinya, Arina pun hanyalah korban, mana dia tahu bila dirinya dinikahkan dengan kekasih wanita lain.

Pak Mahmud dan bu  Intan mantan mertua Arina yang meminta Damar menikahi Arina saat itu, dilamar baik – baik namun hanya dinikahi secara siri, alasan Damar tempatnya bekerja tak boleh menikah sebelum masa kerja dua tahun. Padahal hanya alasan Damar saja, agar mudah menjatuhkan talak. Pak Sayuti dan bu Fatimah mengiyakan saja, bagi mereka yang hanya petani kecil dengan sepetak  sawah yang penting ada yang mengawasi dan melindungi putrinya di kota tempatnya bekerja. Arina sudah bekerja di sebuah toko grosir saat dinikahi Damar tiga tahun lalu.

Sebenarnya orang tua Arina menggarap beberapa sawah, namun sawah pribadi yang dimiliki hanya satu petak, sisanya adalah milik pak Mahmud. Hasil sawah ini dibagi dua antara pemilik dan penggarap. Untuk pupuknya pak Mahmud dan pak Sayuti berkongsi dalam pembeliannya.

Persahabatan antara pak Mahmud dan pak Sayuti dimasa lalu yang membuat beliau ingin menikahkan putranya dan putri pak Sayuti. Pak Mahmud ini memang orang tuanya pedagang di kota dan juragan sawah di desa, namun begitu tak membuat pak Sayuti muda sombong dan Jumawa akan hartanya. Sebagai anak satu – satu tentu masa depan beliau sudah disiapkan dengan baik. Namun begitu pak Mahmud tetap rendah hati dan mau bergaul dengan pemuda desa lainnya, namun dengan pak Sayuti mudalah dirinya sangat dekat, keramahan orang tua dan kerajinan Sayuti muda yang membuat pak Mahmud senang bergaul dengan beliau. Bahkan menanam padi disawah pernah mereka lakukan bersama, setelahnya mereka akan ke sungai membersihkan diri, atau terkadang memanjat pohon asam di sebelah utara sawah milik orang tua pak Mahmud.

Mengapa tak menikahkan Damar dan Yasmin?, karna ada satu hal yang Damar tak tahu atau pura – pura tak tahu tentang orang tua kekasihnya itu.

“Seratus persen mama dan papa nggak merestui kamu sama cewekmu itu.” Ucap bu Intan dengan geram pada putranya saat Damar baru saja mengantarkan Yasmin pulang. Hari itu Damar pertama kalinya memperkenalkan Yasmin pada orang tuanya.

Tinggal di kota membuat pergaulan Damar sedikit liar. Jadi pak Mahmud ini setelah menikah dengan bu Intan yang anak seorang pedagang memutuskan hijrah ke kota membuka toko sembako sendiri, awalnya hanya toko kecil di pasar lama – lama kelamaan berkembang menjadi distributor besar, dengan suntikan dana dari mertua beliau, berdirilah perusahaan distributor consumer goods yang memegang hak jual beberapa keagenan produk kebutuhan masyarakat di daerah mereka, tentu selain dari mertuanya ada juga suntikan dana dari beberapa investor yang sudah mengenal beliu. Pak Mahmud dan bu Intan menjadi pengusaha yang sukses namun memilih hidup dan penampilan yang sederhana.

“Kenapa tak mencariku saat kamu hamil anak kita Arina?” suara Damar mengagetkan Arina. Dari mana Damar tahu kalau Arina hamil dan melahirkan anak mereka?, ah mudah saja bagi orang seperti Damar kan, menyewa orang untuk mencari tahu Arina.

Namun mengapa baru sekarang? Mengapa tak dari dulu mencarinya.

Ah dulu gelora asmara bersama Yasmin telah melenakan Damar.

“Buka pintunya pak!” netra Arina mulai berembun.

“Dia anak kita kan?” Damar mengenggam jemari yang tak terlalu halus itu.

“Saya mau kerja pak.” Arina mulai terisak.

“Jangan nangis sayang.” Damar menghapus air mata itu.

Sayang? Berapa lama panggilan itu tak didengar Arina. Bahkan dulu pun jarang diucapkan, hanya saat memburu hasratnya Damar mengucapkan itu pada Arina. Tak mencintai namun tetap menitipkan benih, bahkan sering sekali Arina dibuat keramas tengah malam saat itu.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status