Share

Bab 03 Kehilangan Kesekian Kalinya

Ketika tiba di rumah sakit, ternyata Briana sudah dalam keadaan pembukaan lima. Dirga tidak ingin meninggalkan Briana sendirian dan bahkan bersikeras menunggu sampai bayinya lahir, meskipun Davira sudah datang dan berterima kasih padanya karena telah mengantar Briana.

Davira masuk ke ruangan bersalin untuk menemani Bri, sementara Dirga menunggu di luar dengan perasaan cemas. Beberapa jam kemudian, Briana berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat secara normal. Setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Dirga menemui Briana dan bayi kecil yang tertidur pulas di pangkuan Davira.

"Bri, selamat ya. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu," kata Dirga sambil mengusap rambut Briana.

"Terima kasih, Pak." Briana hanya tersenyum dengan paksa, lalu terdiam.

Air matanya tiba-tiba mengalir begitu saja. Perasaan sesak yang selama ini berusaha dia lupakan, kini kembali menghampiri dirinya.

Anak itu memiliki mata coklat seperti dia, rambutnya sedikit bergelombang, dan warnanya tidak hitam seperti miliknya. Bentuk hidung dan bibirnya juga sama persis seperti si brengsek.

Mengapa anakku sangat mirip dengannya? Bisakah aku menerima kenyataan ini dan menjalani hidup dengan wajah yang sangat aku benci?

"Bri, kenapa kamu sedih? Kamu ingat mantan suamimu, kah?" tanya Dirga yang duduk di samping Briana.

"Bri, sudahlah, nggak usah dipikirin. Kata orang, wajah bayi itu berubah-ubah. Nanti juga lama-lama pasti mirip kamu kok, toh kamu yang hamil dan melahirkan dia. Jangan pedulikan si Gian brengsek itu." Kata Davira berusaha menenangkan Briana.

"Vir, jangan sebut namanya. Gue benci," teriak Briana dengan marah, tanpa memedulikan bahwa suaranya bisa membangunkan bayi kecil itu.

"Maaf, maaf."

***

Sejak kejadian malam itu, Gian yang harus mengejar pendidikan S2 di luar negeri terus dihantui perasaan bersalah. Meskipun dua tahun berlalu, Gian belum juga kembali. Dia dipaksa orang tuanya untuk bekerja di perusahaan asing tanpa menggunakan nama besar keluarga mereka. Setiap malam, ia merasa bersalah atas tindakannya. Namun, keadaan juga memaksanya untuk tidak bisa mencari Bri, wanita yang dicintainya.

Gian, yang dulunya bodoh dan salah menilai Briana sebagai seorang pelacur, akhirnya menyadari kesalahannya setelah menemukan noda merah di sprei yang ditinggalkan Briana. Noda itu menjadi saksi bisu atas kesalahannya sebagai seorang pria.

Dering ponsel yang berdering membuyarkan lamunannya, dia melihat panggilan video dari Daffa, sahabatnya semasa kuliah di luar negeri.

"Hai, Gian. Wah, makin jelek aja itu muka," sapa Daffa.

"Hei, Daffa, lo jelek. Tunggu saja minggu depan, Gue akan pulang ke Indonesia. Gue yakin akan lebih ganteng daripada lo," balas Gian sambil tertawa.

"Sialan lo. Eh, by the way, apakah lo benar-benar akan pulang? Itu bagus, gue mau memamerkan sesuatu," jawab Daffa sambil tertawa pula. Dia kemudian memamerkan ruang kerja yang kini menjadi miliknya, sebagai wakil direktur.

"Apa lo udah jadi direktur?" tanya Gian.

"Wakil direktur, bego! Gue menggantikan Kak Dirga. Lo harus datang ke sini suatu saat," jawab Daffa.

"Tentu saja." Ucap Gian.

"Permisi, Pak. Ini laporan bulan Juni yang Bapak minta."

Kamera ponsel Daffa merekam seorang wanita yang baru saja memasuki ruangannya. Gian sangat terkejut saat melihat wajah wanita itu. Beberapa saat kemudian, Daffa mematikan panggilannya.

"Briana? Apakah itu benar-benar Briana? Akankah dia memaafkanku setelah empat tahun berlalu?"

Setelah melihat wajah Briana meskipun hanya sebentar, hati Gian semakin gelisah. Dia memutuskan untuk segera pulang dan mencari Briana untuk meminta maaf. Gian segera mengunjungi Daffa untuk memastikan apakah wanita yang muncul di kantornya adalah Bri, wanita yang kesuciannya telah dirampok secara paksa olehnya.

"Lo bilang lo bakal pulang minggu depan, ini hanya lelucon, kan?" cela Daffa saat Gian tiba di apartemennya.

Gian, yang belum sadar bahwa dia sudah menjadi ayah, langsung menuju ke Jakarta setelah tahu tentang Briana.

"Apa lo udah mendapatkan informasi tentang wanita itu?" Gian tidak menjawab, justru dia kembali bertanya kepada sahabatnya, Daffa.

"Bri, maksud lo? Apa lo tertarik padanya? Lupakan saja, dia akan menikahi Kak Dirga." Jawab Daffa.

"Apa!?" Gian hampir berteriak karena terkejut. "Jadi Briana sudah punya calon suami?"

"Kak Dirga mengatakan begitu," jawab Daffa santai.

Mendengar kabar tersebut, Gian merasa sangat kecewa. Hatinya terasa hancur. Sekali lagi, kesempatan untuk memiliki Briana hilang dari genggamannya.

"Dari mana lo mengenalnya?" tanya Daffa setelah melihat Gian hanya terdiam.

"Kami teman sekelas di SMA." Jawab Gian.

Sejak kelahiran anak yang tidak diinginkan itu, Briana mulai menjalani hidup bersama putranya dan Davira. Davira, yang masih menjalani karir sebagai artis, dengan ikhlas membantu Briana dalam membesarkan anak laki-laki yang diberi nama Ethan. Bahkan, Davira yang mendorong Briana untuk mendaftarkan Ethan ke yayasan yang didedikasikan untuk merawat dan menjaga anak selama orang tuanya bekerja.

Davira sering menemani Ethan bermain, ia akan menjemput Ethan di tempat penitipan selama ia tidak sibuk, dan kemudian mengantarkannya pulang jika Briana belum pulang. Meskipun ibunya melarang, Davira sangat menyukai Ethan. Rasa sukanya pada bocah itu membuat Davira sering berbohong kepada ibunya sendiri demi bisa bertemu dengan Ethan.

Pagi ini, saat masih sangat pagi, Davira sudah datang ke rumah kontrakan Briana. Dia langsung mencari keberadaan Ethan.

"Ethan, Tante merindukanmu," kata Davira sambil memeluk Ethan yang baru saja selesai sarapan.

"Tante sudah lama tidak datang ke sini, Ethan juga kangen Tante, tau,?" balas Ethan sambil membalas pelukan Davira.

"Hari ini, Ethan hanya bersama Tante ya, Tante bosan dan tidak punya rencana lain. Tidak perlu pergi ke tempat penitipan hari ini," kata Davira sambil melepaskan pelukannya.

"Tapi, nanti Mama marah, nggak?" tanya Ethan dengan wajah polosnya.

"Mau kemana?" tanya Briana yang sudah bersiap dengan pakaian kerjanya.

"Eh, Bri. Gue mau ngajak Ethan pergi jalan-jalan, boleh kan? Hari ini gue nggak ada kerjaan. Malam ini gue juga mau menginap di sini," jawab Davira.

"Lo berantem sama Mama lagi ya?" tebak Briana.

"Iya, begitulah."

"Baiklah, terserah lo. Ethan, jangan makan coklat dulu, tadi malam Mama melihat gigi kamu mulai berlubang," pesan Briana sambil menuangkan nasi goreng ke piring, satu untuk dirinya dan satu untuk Davira.

"Ih, Ethan tidak menyikat giginya ya," ejek Davira sambil mengetuk pipi bulat Ethan dengan ujung jarinya.

"Ethan sudah menyikat giginya, Tante. Itu coklatnya yang nakal, menempel di gigi Ethan," bela Ethan.

"Sudah, Mama harus pergi bekerja sekarang. Hari ini, kamu bersama Tante Vir ya, hati-hati dan jangan nakal!" Briana mencium pipi Ethan sebelum berangkat kerja dengan motornya.

Setelah tiba di kantor, seperti biasanya, Briana langsung menuju ruangannya. Berkat kinerjanya yang bagus, Dirga mempromosikan Briana menjadi kepala bagian administrasi.

Sebelum makan siang, Briana diundang oleh Dirga ke ruangannya.

"Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Briana dengan ramah, karena dalam urusan profesional, dia memang ahlinya.

"Bri, nenekku ingin aku membawa calon istriku ke rumah. Kapan kamu bisa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status