Briana benar-benar mengusir Gian, tidak mau menjelaskan apa pun pada Gian meski laki-laki itu melibatkan Daffa. Briana bahkan mengancam akan menghubungi Dirga kalau Gian terus mengganggunya di jam kerja.
Gian akhirnya kembali ke kantor dan menunggu waktu pulang untuk kembali menemui Briana. Saat perjalanan ke kantor, tanpa sengaja ia bertemu Davira dan Ethan yang sedang menyeberang di lampu merah, tepat di depan mobil Gian.
Tentu saja Gian sangat syok melihat wajah Ethan yang sangat mirip dengannya waktu kecil. Akan tetapi, saat melihat Davira, ia jadi ragu karena ia tidak pernah mengenal Davira. Gian menepikan mobilnya, lalu mengejar Davira yang masih menunggu taksi.
"Maaf, permisi," Gian berusaha menetralkan napasnya yang tersengal-sengal.
Davira melihat wajah Gian dan langsung menyembunyikan wajah Ethan yang ada dalam gendongannya.
"Ya, ada apa?" tanya Davira dengan tenang, ia sudah sangat pandai berakting. Apalagi, sekarang ia mendapat tawaran main film yang mengharuskannya mengasah kemampuan itu, meski ia hanya menjadi figuran.
"Apa saya boleh lihat wajah anaknya, tadi sekilas saya kayak kenal," jawab Gian dengan ekspresi memohon.
"Maaf, ini anak saya. Kami sedang liburan di sini, tidak mungkin Anda kenal saya atau anak saya," balas Davira dengan tegas.
"Maaf, hanya lihat sebentar," mohon Gian.
"Maaf ya, Mas, saya bisa lapor polisi, loh. Jangan-jangan Mas mau berbuat jahat, orang bilang Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri." Kata Davira.
"Saya cuma mau pastikan..."
"Pastikan apa? Itu mobil Mas bukan, menghalangi jalan tuh, awas nanti kena razia satpol pp." ucap Davira yang langsung memotong ucapan Gian.
"Mas pindahkan mobilnya, kalau ngobrol jangan di jalan," teriak seseorang.
Gian langsung kembali ke mobil, dan Davira langsung kabur naik taksi yang kebetulan lewat.
"Huft, selamat," Davira mengelus dadanya. "Untung aja nggak ketahuan. Gila sih, muka Gian mirip banget sama Ethan."
Gian yang kehilangan jejak Davira semakin dibuat pusing. Ia meminta Faris untuk bergerak cepat menyelidiki Briana. Bisa-bisa dia gila karena menunggu kepastian.
Malam harinya, Faris menemui Gian. Ia menyerahkan hasil penyelidikan anak buahnya.
"Jadi, anaknya Briana itu anak kamu?" tanya Faris saat Gian memeriksa cetakan foto yang diberikan Faris barusan.
"Ini Ethan? Jadi, Ethan anak aku? Aku sama Briana punya anak?" Gian terkejut sekaligus bahagia memandangi foto-foto Ethan yang sangat mirip dengannya.
"Gian, jawab dulu. Kamu pernah nikah siri sama Briana?" tanya Faris dengan suara yang lebih tinggi.
"Aku pernah memaksa dia untuk melakukan itu dengan aku," jawab Gian sambil menatap mata Faris.
"Maksudnya, kamu memaksa dia seperti itu?" tanya Faris yang tidak mengerti dengan perkataan sepupunya tersebut.
Gian mengangguk. "Hanya sekali saya melakukannya. Saya tidak pernah berpikir bahwa dia akan hamil dan..."
"Briana pasti sangat membenci kamu, Gi." Ucap Faris memotong perkataan Gian.
"Aku tidak tahu bahwa akibatnya akan seburuk ini, Faris." Balas Gian.
"Memiliki anak tanpa diakui, diusir oleh orang tua, Briana menderita sangat karena perbuatanmu." Gian menunduk, apa yang dikatakan Faris memang benar. Semua ini adalah kesalahan dia.
Gian berdiri hendak pergi dari kafe, tapi Faris mencegahnya.
"Kemana kamu akan pergi? Mau menemui Briana pada malam seperti ini, menciptakan keributan, dan membuatnya malu? Gi, kesalahanmu sangat serius. Meminta maaf saja tidak akan cukup untuk mengganti semuanya." Kata Faris mencegah Gian pergi menemui Briana.
"Harus bagaimana, Ris? Aku memiliki anak, dan Aku tidak ingin melihat mereka menderita seperti ini, Aku akan menikahi Briana." Kata Gian dengan mantap.
"Briana memberitahu Ethan bahwa kamu bekerja jauh. Lebih baik kamu memenangkan hati Ethan terlebih dahulu, lama kelamaan Briana akan melihat ketulusanmu." Faris menepuk pundak Gian memberikan semangat.
***
Keesokan harinya, Gian menemui Ethan dan Briana di rumah mereka, membawa banyak mainan anak laki-laki. Dengan penuh keberanian, Gian mengetuk pintu.
"Ethan, tolong buka pintu, Mommy masih memasak dan takut terlalu gosong," teriak Briana yang mendengar suara ketukan pintu.
"Iya, Mommy." Sahut Ethan.
Ethan menuruti dan membuka pintu.
Gian yang melihat Ethan membuka pintu langsung berjongkok dan menatap putranya.
"Ethan, apa kabar?" tanya Gian sembari menyentuh wajah putranya.
"Om siapa?" tanya Ethan dengan polosnya.
Gian sangat ingin memeluk putranya, tapi dia tahu bahwa itu akan membuat Ethan merasa tidak nyaman dan bahkan mungkin ketakutan.
"Mama ada?" tanya Gian.
"Mommy? Mommy masih memasak, Om siapa ini?" tanya Ethan lagi.
"Om ini..."
"Siapa, Ethan?" teriak Briana yang sekarang keluar setelah mematikan kompor. Briana masih mengenakan apron untuk menutupi pakaian kerjanya.
"Ini Daddy, Ethan. Daddy sangat merindukan Ethan," kata Gian, membuat Ethan menatap ibunya.
Briana masih sangat terkejut dengan kedatangan Gian, terutama setelah Gian mengatakan pada Ethan bahwa dia adalah ayahnya.
"Mommy, dia benar-benar Daddy, kan?" tanya Ethan sambil menarik tangan Briana.
"Bri, Ethan."
"Kamu sudah tahu, bukan? Baiklah, apa lagi yang kamu inginkan?" tanya Briana.
"Jadi, benar, ini Daddy, Mom?" tanya Ethan, wajahnya sudah memerah menahan air mata.
Briana mengangguk, dan Ethan memeluk Gian.
"Daddy pergi ke mana, kenapa Daddy tidak pulang? Ethan sangat merindukan Daddy." Tangis Ethan mulai pecah.
"Masuk saja, tidak baik jika kita dilihat oleh tetangga." Briana meninggalkan Ethan dan Gian yang berpelukan.
"Maaf, ya, Ethan. Daddy sudah bekerja sangat lama, Sayang," kata Gian sambil menggendong Ethan dan membawanya masuk.
"Daddy, jangan pergi lagi, ya. Ethan ingin punya Daddy seperti teman-teman Ethan." Pinta Ethan.
"Tentu, Sayang. Daddy akan di sini, menjaga Ethan dan Mommy," jawab Gian sambil melirik Briana.
"Janji, Daddy, jangan tinggalkan Ethan dan Mommy lagi." Ucap Ethan.
"Baiklah, Sayang. Anak Daddy sangat tampan, persis seperti Daddy. Oh ya, Daddy membawa banyak mainan di mobil, kita ambil, ya." Kata Gian.
"Hore!" Ethan bersorak girang, dan Gian juga tersenyum bahagia mendengar tawanya Ethan. Hati Gian terasa hangat mendengar suara tawa putranya.
Gian membuka pintu mobil sambil tetap menggendong Ethan. Beberapa tetangga melihat adegan ayah dan anak yang sangat mirip itu. Gian mengeluarkan semua mainan yang dibelinya untuk Ethan. Dia tidak tahu pasti mainan mana yang disukai Ethan, itulah sebabnya Gian membelikan berbagai jenis mainan anak laki-laki.
Gian kesulitan membawa mainan Ethan sambil tetap menggendong putranya.
"Mommy, Ethan mendapat banyak mainan dari Daddy," kata Ethan, memamerkan mainannya pada Briana.
Briana melihat kesal ke arah Gian yang dengan seenaknya membawa banyak mainan untuk Ethan. Briana selalu mendidik Ethan untuk tidak boros, tetapi Gian justru melakukan sebaliknya.
"Ethan, masuk ke dalam kamar dulu. Mommy ingin berbicara sebentar dengan Daddy!" kata Briana, tetapi Ethan tidak langsung menurutinya.
"Tapi, Mom. Ethan ingin bermain dengan Daddy," jawab Ethan.
Briana mulai memandang tajam ke arah Ethan, dan akhirnya Gian menyuruh Ethan untuk menuruti ibunya.
"Masuk sebentar ya, Ethan. Nanti Daddy akan menemani Ethan bermain." Gian mencium pipi Ethan dan mengusap lembut rambut cokelatnya yang mirip dengan miliknya.
Ethan mengangguk, lalu mengambil beberapa mainan dan membawanya ke dalam kamar.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Briana setelah yakin Ethan tidak mendengarkan percakapan mereka.
"Aku minta maaf, Bri. Aku hanya berusaha..."
"Kamu pikir dengan banyak mainan, kamu bisa menebus semua kesalahan kamu?" tanya Briana langsung memotong penjelasan Gian.
"Bri, kenapa kamu tidak bilang kalau kamu hamil?" tanya Gian.
"Jadi ini salahku? Harusnya kamu yang memikirkannya, Gi. Harusnya kamu yang mencari aku untuk meminta maaf, untuk menanyakan keadaanku. Apakah kamu melakukannya?" maki Briana.
"Iya, aku salah. Aku tahu aku pengecut. Aku tidak berpikir bahwa kamu mungkin hamil. Aku tidak memikirkannya sejauh itu, Bri. Maaf." Gian menundukkan kepalanya.
Briana menarik napas berkali-kali untuk menahan amarahnya. Dia tidak ingin Ethan mendengar mereka bertengkar.
"Pergi, Gi! Aku dan Ethan tidak butuh kamu." Pinta Briana.
"Tapi Ethan juga adalah anakku, Bri. Aku juga ingin memberikan kebahagiaan dan kasih sayangku kepada Ethan. Jangan halangi aku, Bri. Kali ini, meskipun kamu marah, meskipun kamu memukuli aku, aku tidak akan meninggalkan kalian lagi." Ucap Gian.
Briana menatap Gian dengan pandangan benci saat ia dengan seenaknya mengakui Ethan sebagai putranya. Meskipun dia adalah ayah biologisnya, selama ini dia telah absen dari hidup mereka. Tiba-tiba saja, Gian muncul dan mengklaim dirinya sebagai ayah biologis Ethan."Empat tahun ini, kamu kemana, Gi? Di mana kamu saat aku hamil? Di mana kamu saat aku dan Ethan harus menjalani hidup tanpamu?" Briana melepaskan amarahnya dengan banyak pertanyaan yang selama ini hanya terpendam di dalam hatinya.Gian meraih tangan Briana, tetapi ia langsung menepisnya dengan kasar."Aku minta maaf, Bri. Saat itu aku sempat datang ke rumahmu, tapi kamu tidak ada. Lalu, aku pergi kuliah dan bekerja di LA. Ketika aku kembali, kamu sudah tidak tinggal di rumah itu, dan aku tidak sempat mencarimu karena aku..." jelas Gian."Semua itu hanyalah alasan, Gi. Aku tahu kamu sangat membenciku, tapi tindakanmu sangat keji. Apa yang telah kulakukan sehingga kamu bersedia menghancurkan hidup
Setelah Briana memberi tahu Dirga bahwa Gian sudah kembali, Dirga merasa semakin bingung. Dia belum mendapatkan restu dari neneknya, dan sekarang harus menerima perjodohan dengan wanita yang tidak dia cintai."Bri, ada yang ingin aku bicarakan," kata Dirga dengan ragu."Nanti saja, Pak. Saya memiliki banyak pekerjaan, dan saya sudah terlambat," jawab Briana sambil menyalakan komputernya, mengabaikan Dirga yang ingin berbicara serius dengannya."Silakan nanti siang, datanglah ke ruangan saya. Ini sangat penting!" Dirga memohon.Briana mengangguk, dan Dirga segera meninggalkan ruangannya.Sebenarnya, Briana memiliki perasaan terhadap atasannya itu, tapi dia lebih memprioritaskan hubungannya dengan Ethan di atas segalanya. Terutama jika keluarga Dirga menentang adanya Ethan, maka dia harus bersikap hati-hati.***Di kantor, Gian tampak sangat bahagia. Ia beberapa kali tersenyum bahagia.Faris, yang melihat sepupunya yang juga atas
Akhirnya, Briana menuruti permintaan Ethan untuk mengizinkan Gian ke rumah mereka. Ethan merengek, meminta Briana duduk di depan memangkunya. Ethan terus bertanya pada Briana, apa pun yang Ethan belum pernah lihat sebelumnya."Anak Daddy ternyata pintar banget ya," kata Gian saat mereka berhenti di lampu merah. Briana menatapnya dengan tidak senang."Seperti Mommy," tambah Gian dengan lirih."Mommy tadi di taman ada yang bilang Ethan ganteng, mirip Daddy. Ethan ganteng nggak, Mom?" tanya Ethan yang kini menatap ke belakang ke arah Briana.Briana menjawab, "Em, iya mungkin. Tapi buat Mommy, Ethan yang paling ganteng, di antara semua laki-laki di dunia ini.""Nomor satu?" tanya Ethan."Iya, nomor satu Ethan." Jawab Briana."Berarti nomor dua Daddy 'kan Mom?" tanya kembali Ethan."Daddy nomor seribu," Briana menatap sinis pada Gian yang kini meliriknya."Berarti Daddy jelek? Ethan juga jelek dong?" Ethan memasang raut muka
Gian masih mengakui dosa-dosanya pada mama dan neneknya. Meski sang mama sudah sangat geram ingin menghajar putranya itu, tapi masih berusaha ditahannya.“Kamu nggak berusaha cari dia?” tanya nenek.Gian menggeleng.“Jadi perempuan itu benar-benar wanita malam?” Mama kembali bertanya.“Dia masih suci saat aku ngelakuinnya, tapi sumpah Ma, aku nggak tau bedanya gadis suci sama nggak. Aku baru tau pas temenku di LA cerita, beneran aku nggak tau.” Jelas Gian.“Dasar anak nakal.” Mama memukul Gian dengan bantal, Gian menahannya, tapi nenek langsung mencubit pinggang dan menjewer telinga Gian bersamaan.“Ampun Ma, ampun Nek. Aku nggak sengaja, beneran nggak sengaja. Ampun.” Gian berusaha menghindar tapi mama dan neneknya terus menghajar Gian.Sampai akhirnya mereka lelah, dan mulai penasaran dengan Ethan, cucu mereka.“Jadi perempuan itu menikah dengan laki-laki lain?
Gian sangat ingin menyampaikan pendapatnya dan menjelaskan perspektifnya mengenai situasi ini. Namun, tangan neneknya menghalanginya untuk berbicara, sehingga ia terpaksa diam dan mendengarkan apa yang Briana katakan.Gian menggeser kotak tisu yang terletak di depannya, karena Briana tengah menunduk, sehingga wanita itu tidak dapat melihatnya dengan jelas. Neneknya bertanya, “Apa yang terjadi setelah dia menodaimu?” sambil meraih tisu untuk membantu Briana menghapus air mata.Briana menjawab dengan suara yang parau karena menangis, “Saya sengaja tidak pergi segera karena saya tahu dia dalam keadaan mabuk, dan saya berharap dia akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi, keesokan paginya, dia malah menawarkan untuk mengganti pakaian yang telah dirusaknya. Padahal, harga diri saya juga telah rusak, tetapi dia sama sekali tidak merasa bersalah. Saya tahu, dia sangat membenci saya. Tetapi, apakah pantas dia menghancurkan hidup saya hanya karena saya
Briana tertawa sinis mendengar penawaran Gian. Menikah? Semudah itu sakit hatinya diselesaikan dengan menikah?"Tidak, Gi. Aku tidak bisa, bahkan demi Ethan. Suatu hari nanti, Ethan juga akan mengerti mengapa orang tuanya seperti ini," tolak Briana."Kamu bisa melaporkan aku ke polisi, Bri. Asalkan kamu mau memaafkanku, sungguh, aku tidak tahu bahwa semuanya akan berakhir seperti ini," mohon Gian."Aku tidak sekejam itu, Gi. Itu hanya akan menyakiti hati Ethan. Penyesalan selalu datang di akhir." Ucap Briana dengan bijak."Apa yang harus aku lakukan lagi, Bri? Bagaimana aku bisa menebus kesalahanku padamu?" tanya Gian yang sudah prustasi."Jangan tanyakan padaku, pikirkan sendiri!" Briana meletakkan kotak berisi kenangan masa lalu di meja di samping Gian. Lalu, Briana berjalan masuk untuk melihat Ethan.Ketika sampai di kamar Gian, Briana melihat mama dan nenek Gian berada di sana."Tadi mama melihat kamu sedang berbicara dengan Gian,
Davira merasa bingung harus memberikan jawaban yang tepat. Dia memberikan isyarat kepada Briana untuk menjelaskan situasinya sendiri. Namun, Briana juga merasa kebingungan dalam menanggapi pertanyaan Ethan."Tante, kenapa Tante diam saja? Apakah Tante tahu kenapa Daddy tidak tinggal di rumah Ethan?" tanya Ethan lagi."Ethan, makan dulu!" perintah Briana, yang langsung mendapat tatapan protes dari anaknya."Mommy, Ethan masih ingin ngobrol sama Tante," rengek bocah itu."Ethan, tidak melihat bahwa Tante juga bingung. Sekarang, makanlah, Mommy akan memberimu makan. Jangan pikirkan itu lagi, yang penting Ethan sudah bertemu Daddy, bukan?" kata Briana."Iya, Mommy," jawab Ethan sambil turun dari pangkuan Davira."Maaf ya, Ethan Sayang. Tante tidak tahu," kata Davira sembari mengusap pipi Ethan. Ethan membalasnya dengan anggukan lemah, padahal ia sangat penasaran.Setelah Ethan selesai makan, ia bermain game di ponsel Briana. Sementara itu
Ethan menikmati saat-saatnya bersama Gian dan Briana. Gian telah memenuhi satu permintaan kecil dari anak kecil yang polos itu. Tangan kecil yang tidak bersalah itu menggenggam erat tangan Briana dan Gian, bergerak serasi mengikuti langkah-langkah kecilnya di dalam pusat perbelanjaan."Daddy, Ethan ingin naik itu!" Ethan menunjuk ke arah eskalator yang sedang beroperasi. Keberuntungan datang ketika mereka melihat seorang anak kecil yang dipegang oleh ayahnya saat naik eskalator."Baiklah. Ayo kita ke sana," kata Gian sambil menggendong putranya. Nampaknya Gian sangat bahagia memiliki Ethan. Dia mencium pipi Ethan dengan penuh kasih sayang, lalu melirik Briana yang memperhatikannya. "Ada yang ingin kamu beli, Bri?" tanya Gian.Tanggapan Briana adalah, "Tidak, aku hanya senang menikmati waktu bersama Ethan.""Baik. Jika ada yang ingin kamu beli, beritahu saja, Bri. Jangan ragu-ragu." Kata Gian.Briana hanya mengangguk. Mereka pun mengikuti keinginan