Share

Bab 05 Badut

Gian masih enggan membuka pintu mobil, meskipun Briana sudah sangat khawatir tentang keadaan anaknya.

"Kamu mau ke mana? Aku akan mengantarmu," ucap Gian, menahan tangan Briana saat wanita itu mencoba membuka pintu dengan paksa.

"Bukan urusanmu. Dan jangan pegang-pegang aku. Aku jijik padamu!" protes Briana, membuat Gian mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat perdamaian.

"Maaf, maaf. Sekarang, tolong beri tahu aku, kamu mau ke mana? Ingin bertemu dengan Ethan?" tanya Gian.

Briana mengerutkan kening saat Gian menyebut nama Ethan. Apakah Gian sudah mengetahui tentang Ethan? Apakah dia tahu tentang anak mereka? Apakah Gian datang untuk mengambil Ethan darinya?

"Kamu tahu tentang Ethan?" tanya Briana, suaranya kini pelan dan tidak marah seperti sebelumnya.

"Aku tidak tahu pasti, tapi karena kamu menyebut nama Ethan tadi, aku akan mencari tahu. Sepertinya kamu sangat khawatir tentang dia," ujar Gian dengan senyuman sinis, hatinya masih terasa sakit melihat Briana bersama Dirga, dan sekarang tambah terluka karena Briana mengkhawatirkan orang lain.

Briana memandang wajah Gian, tiba-tiba teringat pada Ethan, dan kecemasannya semakin mendalam.

"Aku ingin turun! Buka pintu mobil ini!" Briana mengambil dompetnya, mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu rupiah, dan meletakkannya di atas dasbor mobil Gian.

"Apakah uang ini cukup untuk membayar bensin dari restoran ke sini?" Briana berkata sambil memandang uang tersebut.

Briana masih sangat ingat saat Gian melemparkan uang padanya pada malam itu. Malam ketika ia kehilangan segalanya, malam yang membuat Ethan hadir dalam hidup Briana. Malam yang memaksa Briana untuk menghadapi kenyataan bahwa ia harus membesarkan anaknya seorang diri dengan bayang-bayang wajah yang selama ini dibencinya.

"Bri, apakah kamu masih dendam padaku? Saat itu aku sangat mabuk, Bri. Aku tidak tahu kalau kamu masih perawan," ucap Gian dengan suara pelan.

Briana tidak bisa menahan air mata yang mulai menetes, tetapi dia segera mengusapnya.

"Kalau kamu tidak membukanya, aku akan membukanya dengan paksa." Briana meraih sepatu hak tingginya dan bersiap untuk memukul kaca mobil Gian.

"Baik, baik, Bri. Aku akan membukanya, tapi besok aku akan datang lagi untuk menemui kamu," kata Gian.

Briana tidak peduli, dia segera keluar mobil setelah berhasil membuka pintunya.

"Aku akan menunggu di sini sampai kamu mendapatkan taksi." Kata Gian.

Dengan penuh kemarahan, Briana membanting pintu mobil Gian dan bergegas berjalan ke arah pangkalan ojek, bukan ke arah halte yang berada di belakang mobil Gian.

"Kemana dia akan pergi?" gumam Gian sambil terus mengamati Briana.

Tidak lama kemudian, Briana menaiki ojek, dan Gian mengikutinya. Gian sangat penasaran tentang laki-laki bernama Ethan yang membuat Briana begitu khawatir.

Gian terus mengikuti Briana, tetapi dia kehilangan jejaknya saat berhenti di lampu merah. Itu membuatnya semakin kesal dan penasaran. Ke mana Briana pergi untuk bertemu dengan Ethan?

"Siapa sih Ethan? Ini sungguh menjengkelkan!" gerutu Gian.

Kemudian, ia mencoba menghubungi Daffa, berniat menanyakan tentang Ethan. Namun, Daffa tidak tahu siapa Ethan yang dimaksud oleh Gian.

"Apa aku harus meminta bantuan Faris? Dia kan memiliki hubungan dengan intelijen. Pasti dia bisa menyelidiki Briana, dan aku bisa tahu siapa Ethan itu."

Gian kemudian menghubungi sepupu jauhnya, Faris. Meskipun awalnya ragu, Gian akhirnya berhasil meyakinkan Faris untuk membantunya. Ia mengiming-imingi hadiah berupa mobil sport terbaru jika Faris berhasil mendapatkan informasi tentang Briana.

"Kenapa kamu tidak memberikan pekerjaan seperti ini sejak dulu? Kalau aku tahu hadiahnya sebagus ini, pasti aku akan membantu," kata Faris yang masih berbicara dengan Gian melalui telepon.

"Aku tidak punya uang saat itu. Bahkan hadiah ini merupakan hasil kerja kerasku selama di luar negeri," curhat Gian pada Faris.

"Apa kabarmu, Gi? Kamu adalah pewaris tunggal Salman Grup, kenapa kamu tidak bisa membeli mobil itu?" ejek Faris yang kemudian menertawakan Gian.

"Aku bahkan belum kembali ke perusahaan sama sekali. Yang pasti, dapatkan informasi tentang perempuan itu secara lengkap!" pinta Gian.

***

Setelah memastikan bahwa mobil Gian tidak mengikuti, Briana langsung bertemu dengan Davira, yang berada bersama Ethan. Anak kecil itu menunduk, takut bahwa ibunya akan marah karena perilakunya sebelumnya.

"Sudah, tidak apa, Bri. Ethan masih kecil, aku panik tadi, dan aku yang salah," Davira langsung meminta maaf sebelum Briana bisa memarahi anaknya.

Briana melihat anaknya yang menunduk, menyembunyikan wajahnya, sementara masih menjilati es krim di tangannya.

"Maaf Mommy, Ethan salah. Ethan minta maaf." Ethan mengulurkan tangannya ke arah ibunya, tetapi wajahnya masih tertunduk, penuh ketakutan.

"Apakah begitu cara meminta maaf? Tidak berani menatap mommy? Apakah ini cara yang benar?" tanya Briana yang sebenarnya mencoba menahan tawanya.

Ethan mengangkat wajahnya. Wajah polosnya sudah memerah karena ketakutan. Ia memang salah, dan dia seharusnya tidak pergi begitu saja tanpa memberi tahu Davira. Hingga membuat Davira khawatir mencarinya.

"Maaf, Mommy. Janji, Ethan nggak akan ngulangi lagi. Ethan salah, maafin Ethan," ucap bocah itu sambil mengulurkan tangannya. Ia berusaha menahan tangis ketika memandangi wajah ibunya, tetapi air mata tak terbendung dan pun mulai menetes. "Maafin Ethan ya, Mommy, Ethan emang nakal. Mommy jangan tinggalin Ethan, ya."

Briana sebenarnya ingin tertawa melihat putranya yang menangis, meski sambil menjilati es krim yang mulai meleleh. Ia meraih tangan Ethan dan duduk di sampingnya.

"Oke, kali ini mommy maafkan, tapi lain kali, no way!" Briana memeluk Ethan dan menghapus air mata di pipinya. "Sekarang, ceritain sama mommy, kenapa Ethan meninggalkan Tante, padahal Tante Vir bilang tunggu! Iya kan, Tante?"

"Iya, Tante kan udah bilang, Tante mau pipis bentar. Eh, malah Ethan ninggalin Tante, sampai Tante nangis-nangis nyari Ethan," kata Davira, yang membuat Ethan menatapnya dengan ekspresi sedih.

"Maaf, Tante. Tadi Ethan lihat badut, terus badutnya buka kepala. Ethan lihat kayaknya nggak serem. Terus, Ethan ikutin. Ethan kira itu Daddy atau temennya Daddy, ternyata bukan," jawab Ethan, membuat Briana dan Davira saling memandang.

Briana merasa bingung, mengingat bahwa Ethan sangat takut pada badut. Mengapa dia menduga bahwa badut itu adalah ayahnya?

"Kenapa Ethan ikutin badutnya? Kan Ethan takut sama badut?" tanya Davira yang sangat penasaran.

"Kata Om Dirga, daddynya Ethan kerja jadi badut," jawab Ethan dengan jujur. Ia pernah bertanya kepada Dirga mengenai pekerjaan ayahnya, dan Dirga mengatakan bahwa ayahnya bekerja sebagai badut, karena Dirga tahu bahwa Ethan sangat takut pada badut.

"Om Dirga bilang begitu?" tanya Briana dengan rasa terkejut. Ia selalu mengatakan kepada Ethan bahwa ayahnya bekerja di tempat yang jauh, karena ia tahu suatu hari nanti Ethan akan bertemu dengan ayahnya. Karena itu, ia selalu menghindari mengatakan bahwa Gian sudah meninggal, meskipun sebenarnya ia sangat ingin mengungkapkannya.

"Iya, kata Om Dirga, daddy itu selalu seperti badut yang sering mengganggu Ethan saat tidur." Kata Ethan.

Briana tidak bisa berkata-kata lagi. Ia masih terkejut karena baru saja bertemu Gian, dan sekarang Ethan juga membicarakan laki-laki itu.

"Kalau begitu, Ethan nggak boleh ikutin badut atau orang lain seperti tadi. Hanya mommy yang tahu wajah daddy. Jadi, kalau nggak bersama mommy, jangan mencari daddy, ya!" nasehat Davira.

Ethan hanya mengangguk, bibirnya sedikit mengatup. Es krim di tangannya telah mencair, tetapi ia sekarang tidak peduli. Meskipun ia sangat ingin bertemu dengan ayahnya, namun karena ucapan Davira, Ethan menjadi ragu untuk mencari tahu lebih lanjut tentang ayahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status