Ruangan serba putih itu memang seharusnya nyaman. Tapi, berbeda dengan situasi kali ini. Adrian, memandang Cecil, dengan canggung. Cewek yang sedang mengubek-ubek kotak P3K itu tampak sibuk mencari plester luka untuk ditempelkan ke dahi Adrian, yang terluka karena kecerobohannya. Sebelumnya, cewek itu sudah membersihkan lukanya dengan kapas dan cairan pembersih luka. Bukannya Adrian tidak suka, tapi masalahnya, Cecil juga tidak sedang tampak baik sekarang. Kemeja dan roknya kotor belum sempat dibersihkan, tapi dia malah sibuk mengurusinya di sini.
"Rian, gua minta maaf ya, gara-gara gua lu jadi apes gini," kata Cecil meminta maaf entah sudah beberapa kalinya. Cewek itu, kini sudah menemukan benda yang ia cari. Dengan segera, cewek itupun melepaskan kertas pelindung dan menempelkannya pada dahi Adrian yang sudah ia beri obat sebelumnya."Cil, gua kan udah bilang, gua bisa sendiri. Mendingan lo ke toilet deh, bersihin baju lo itu," jawab Adrian, mengungkapkan kekhawatirannya pada Cecil, yang menurutnya tidak lebih baik dari dirinya. "Ini luka kecil doang, Cil, gua gak papa beneran. Jangan bikin gua ngerasa jadi banci dong!" Kata Adrian yang masih belum bisa meyakinkan Cecil, kalau dirinya baik-baik saja. Mendengar apa yang diucapkan Adrian, Cecilpun, mendudukkan dirinya di samping Adrian, di atas ranjang UKS bersprei putih. Cewek itu menunduk, tidak berani menatap Adrian yang masih agak sebal padanya."Iya, maaf. Gua cuma ngerasa bersalah aja sama lo," kata Cecil, justru membuat Adrian, merasa bersalah. Bukan maksudnya membuat Cecil, jadi murung. Ia cuma mau, Cecil tidak perlu lagi menghawatirkan dirinya dan membuat cewek itu tersenyum lagi. Tapi, kata-kata justru membuat Cecil, meminta maaf entah sudah berapa kali sejak kejadian memalukan di kelas yang membuat mereka menjadi tontonan dan disoraki. Dibanding mempermasalahkan orang-orang yang mengejek mereka, Adrian sebenarnya lebih memperhatikan ekspresi lucu Cecil, yang saat itu wajahnya memerah malu seperti kepiting rebus. Bagaimana tidak? Posisi cewek itu saat itu berada di atasnya dengan wajah mereka yang hampir bertabrakan. Tentu saja, teman-teman sekelas mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memberikan siulan dan sorakan melihat kejadian langka itu. Adrian, yang saat itu masih pusing karena kepalanya membentur gagang pel dan kursi tidak begitu memperhatikan sekeliling. Yang jelas, hal itu pasti membuat Cecil, semakin dijauhi di kelas. Meskipun cantik dan lumayan pintar, siapa pula yang mau berteman dengan cewek ceroboh yang suka buat masalah?"Cil, jangan minta maaf terus dong. Maksud gua ngomong gitu, biar lo gak mikir berlebihan soal gue, soal kejadian tadi di kelas. Gua gak ada maksud buat nyakitin lo," jelas Adrian, berharap Cecil, bisa bersikap seperti biasa lagi. Tapi, alih-alih memberikan senyumnya kembali, Cecil, justru semakin murung bahkan matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis."Eh, jangan nangis dong! Cengeng amat lo! Udah, gak usah dipikirin. Disorakin gitu aja masa nangis sih?" Ujar Adrian berusaha menenangkan Cecil, dengan menepuk bahunya beberapa kali. "Nggak kok, gue gak nangis gara-gara disorakin. Gua cuma mikir aja, apa yang dibilang orang-orang itu bener? Kalau gua ini pembawa sial?" Kata Cecil, membuat Adrian, terkaget. Cowok itu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan suara tawa kencang yang membuat Cecil, bertanya-tanya."Lo ngomong apa sih? Mana ada orang bawa sial. Ada-ada aja," ujar Adrian, masih dengan senyum menghiasi wajahnya. Melihat senyum yang tidak disangka-sangka itu, Cecilpun tanpa sadar menarik sudut bibirnya ke atas. Dalam keadaan apapun, cowok itu selalu bisa menghiburnya. Ia bersyukur, di antara banyaknya orang yang menjauhinya, ada satu orang yang membuatnya berpikir untuk mundur. Ia bersyukur bisa bertemu dengan Adrian."Abisnya, banyak banget orang yang ngatain gua pembawa sial. Semua orang yang deket sama gue juga akhirnya sial. Termasuk elo," ujar Cecil, tampak begitu menyesali segala yang sudah terjadi. Demi apapun, ia tidak ada maksud untuk membuat segalanya kacau. Ia hanya, tidak bisa mengontrol diri. Itu saja."Apaan sih, gue gak sial. Elo aja yang terlalu mikirin. Cuma saran gue, lain kali, lo lebih ati-ati aja sih kalau ngapa-ngapain. Jadi, gak bakal ada kejadian kayak gini. Gue sih gak masalah, tapi elo yang nantinya bakal nyalahin diri lo sendiri kayak gini," ujar Adrian, membuat Cecil, akhirnya bisa berdamai dengan dirinya sedikit demi sedikit. Cewek itu pun menunduk, mengiyakan segala ucapan Adrian, yang menurutnya masuk akal. Sejak awal, dirinya tidak pernah menyangka akan bisa seakrab ini dengan Adrian. Cowok itu, terlalu sempurna untuknya yang selalu dijauhi oleh orang lain. Tapi, ada atau tidaknya Adrian, di sampingnya. Cecil, yakin, mereka yang membencinya akan tetap membencinya dan mereka yang menerimanya akan tetap menerimanya tanpa membutuhkan alasan. Itulah sebabnya Cecil, selalu berusaha menerima semua orang yang mendekatinya pada awalnya. Ia kira, orang-orang itu akan bisa menjadi kawan baik untuk saling berbagi. Tapi ternyata, tidak semuanya tulus dan menyisakan Adrian, seorang yang bertahan di sisinya."Iya Rian, gue bakal berusaha. Gue beruntung banget deh punya temen pengertian kayak elo. Jangan bosen-bosen ya gue repotin," kata Cecil, bercanda pada pada Adrian, yang menurutnya tampak begitu serius tidak seperti biasanya. "Enak aja, lo ngomong. Sana gih, bersihin tu baju! Gak malu apa? Cantik-cantik bajunya kok, kotor gitu!" Ujar Adrian, lagi-lagi mengusir Cecil, dengan cara halus. Sementara, cewek itu hanya nyengir kuda. Membuat Adrian, kembali mengeluarkan kikikannya. Cewek itu, memang terkadang usil, membuat Adrian, tidak pernah bosan berinteraksi dengannya."Iya, iya, nih gue ke toilet, mau bersihin baju," kata Cecil sambil melangkah pergi menuju tujuan selanjutnya. Tapi, baru beberapa langkah, cewek itu kembali terdiam, terlihat sedang memikirkan sesuatu."Kenapa lo? Ada yang kelupaan?" Tanya Adrian, mencoba menebak isi pikiran Cecil yang biasanya absurd. Benar saja, lagi-lagi cewek itu menoleh dan kembali memperlihatkan cengiran kudanya."Kalau gua ke toilet bersihin ni baju, yang ada baju gue basah semua dong. Malu nanti gue ke kelas pake baju basah. Gue mau ke koperasi aja deh, beli yang baru, hehe," ujar cewek itu membuat Adrian menggelengkan kepalanya."Terserah elo, anak sultan. Sana gih ganti baju," kata Adrian menanggapi disusul Cecil, yang segera ngacir ke koperasi yang sebentar lagi hampir tutup.Begitu Cecil, hilang dari pandangannya. Tawa cowok itu berubah menjadi senyum lembut yang samar. Cecil, selalu bisa mengalihkan dunianya. Adrian, bukanlah laki-laki yang pandai memendam perasaan. Tapi, demi Cecil, ia berhasil memendam perasaannya selama ini membuat cewek itu tidak sadar bahwa selama ini, Adrian menyukainya."Gue suka sama lo, Cil. Tapi, gue gak berani ngungkapin perasaan gue karena gue takut lo bakal menjauh dari gue, sama seperti nasib Yoga, dulu. Gua harap, dengan status kita sebagai temen, lo bisa nyaman sama gue selamanya," ujar Adrian bermonolog kepada dirinya sendiri. Semoga saja, kesabarannya berbuah manis.Ruangan temaram, lampu di dalam laboratorium kimia memang hanya dinyalakan satu. Sudah cukup sebenarnya, seluruh isi ruangan terlihat jelas, merekapun tidak sedang melakukan aktivitas yang membutuhkan banyak cahaya, hanya sedang mengobrol ringan menunggu para murid baru berdatangan dan memberi pertanyaan. Sejak beberapa saat lalu, Cecil, begitu terganggu dengan getar ponsel di sakunya. Adrian, menelpon sejak tadi, sedangkan dirinya begitu takut ada yang memergokinya masih menyimpan benda pipih itu dalam sakunya. Bukan apa-apa, sama seperti sahabatnya yang satu ini, ayahnya yang sedang bekerja di luar kota itu juga sangat overprotektif. Ia tidak mengizinkan Cecil, untuk mengikuti eskul yang mengharuskannya untuk menginap di sekolah seperti ini. Ayahnya itu, biasa menelpon paling tidak dua kali dalam semalam. Jika Cecil, tidak menjawab telepon dari pria paruh baya itu, ayahnya akan langsung khawatir. Ia bisa ketahuan kalau ia sedang berada di
Hujan masih turun begitu deras, Cecil dan Ririn, masih terjaga di tempatnya tanpa tahu apa yang akan dilakukan. Di situasi seperti ini, mereka seharusnya mengambil kesempatan untuk tidur mengingat sudah dua hari mereka tidak punya cukup waktu untuk tidur karena kegiatan kemah pramuka yang melelahkan ini. Tapi, mereka tidak bisa melakukannya dan akhirnya hanya bisa menatap langit-langit ruangan tanpa bersuara. Merasa bosan, Cecil, bangkit dari pembaringannya dan duduk bersandar pada dinding laboratorium yang dingin. Cewek itu memegangi perutnya, sebuah suara lirih keluar dari sana membuatnya malu. Wajah Cecil, semakin memerah ketika menyadari bahwa Ririn, juga ternyata masih terjaga di sampingnya. "Kenapa lo? Laper?" Tanya cewek itu pada Cecil, dengan senyum samar yang tidak Cecil lihat karena lampu sudah lama dimatikan. "Iya, nih," jawab Cecil, malu-malu dengan memperlihatkan cengirannya. Tidak diduga, Ririn, bangkit dari tidurnya, meraih sebungku
Hangat, kenapa semuanya menjadi hangat? Cecil, masih bisa mendengar rintik hujan di luar, sebelum tidurpun, segalanya masih terasa begitu dingin. Tapi, kenapa sekarang begitu hangat begini? Tapi, tunggu. Semakin lama kok semakin panas ya? Begitulah yang ada dalam benak Cecil, dalam tidurnya. Rasa gerah mulai menguasainya kali ini, pun keringat telah membasahi dahi dan lehernya membuat cewek itu tidak nyaman. Perlahan, cewek itu membuka matanya, semburat cahaya menyilaukan langsung menerpa iris matanya membuat Cecil, secara otomatis menyipitkan matanya. Bukan hanya itu, bau asap membuatnya langsung terbatuk-batuk. Tunggu, apa? Bau asap? Cecil langsung terkesiap, ia langsung terbangun dari posisi tidurnya dan terbelalak melihat kobaran api yang sudah membakar banyak perabotan di dalam laboratorium kimia yang memang terdapat banyak benda mudah terbakar. "AAAAAAAAA API, API APIIII," teriak Cecil, membuat Ririn yang masih terlelap d
Hujan masih deras mengguyur kota Jakarta kala itu. Tapi, di tengah guyuran hujan yang menderas, justru laboratorium kimia mengapi, berkobar memakan segala yang ada di dalamnya. Peristiwa yang tidak pernah ada dalam sejarah SMA Nusa Bangsa yang sudah berdiri selama empat puluh lima tahun. Pemadam kebakaran masih berusaha untuk menjinakkan api. Tapi, bukan hal itu yang menjadi perhatian dalam peristiwa ini melainkan adu mulut antara Yoga dan Nala. "Kok lo malah belaian si cewek pembawa sial ini sih? Liat tuh Ririn, kasihan kan dia? Trus ini laboratorium juga gosong kayak gini. Kita tiap taun ngepos di sini Ga, baru kali ini kan ada kejadian kayak gini, setelah ada tu cewek," kata Nala dengan nada penuh amarah di hadapan Yoga, yang mencoba membela Cecil, yang notabenenya juga korban dalam kecelakaan ini. Sebagai teman, seharusnya Nala juga senang Cecil tidak kenapa-kenapa. "La, lo tu kenapa sih? Kenapa lo benci sama Cecil? Lo kan
Adakalanya, seseorang membutuhkan banyak usaha untuk sekadar diterima di lingkungannya. Begitulah yang dirasakan oleh Cecil sekarang. Pihak sekolah dan kepolisian sudah menyelidiki penyebab kebakaran itu. Terbukti bahwa Cecil, tidak ada hubungannya dengan kejadian dini hari itu. Kebakaran yang menghanguskan laboratorium kimia itu, disebabkan oleh kosleting listrik yamg disebabkan oleh kabel yang terbuka. Tidak besar sebenarnya, tapi tetap saja, jika percikan api itu sudah menyambar tumpahan cairan kimia mudah terbakar yang tidak terlihat, akan menimbulkan api kecil yang lama kelamaan membesar dan akhirnya membakar seluruh isi laboratorium. Salahkan saja para tikus yang menggigiti kabel itu. Bukannya menemukan makanan, tikus itu malah membuat Cecil, untuk kesekian kalinya ditolak oleh orang-orang. Hal itu jelas terlihat pada hari ini. Cecil, mencoba mendatangi kelas Ririn, untuk melihat kondisi teman barunya itu, memastikan Ririn, baik-baik s
"Pokoknya, gue nggak mau tau. Cecil, harus jauh dari Yoga, apapun caranya," begitulah yang selalu ada dalam kepala Nala, akhir-akhir ini. Cewek itu benar-benar kesal dengan keberadaan Cecil, yang menurutnya sudah mengganggu ketentraman pertemanannya dengan Yoga. Cewek itu, kembali mengetuk-ngetuk layar ponselnya untuk menghubungi seseorang. Tapi, belum sempat ia menekan tombol untuk menelpon orang yang dimaksud, orang itu sudah ada di belakangnya, ia menyentuh punggung Nala, untuk memberitahukan eksistensinya. "Kenapa lo manggil gue?" Kata orang itu tiba-tiba membuat Nala terkaget. Cewek itu pun, berbalik, menghadapkan wajah ayunya pada laki-laki berbadan kekar dengan tato melingkar di lengannya. "Ngangetin aja sih, salam kek gitu," kata Nala, protes namun diabaikan begitu saja oleh pria bertato yang tampak mengerikan itu. Laki-laki itu malah memutar bola matanya, tanda bahwa ia benar-benar tidak peduli dengan perkataan Nala yang sedang menyindirnya i
Jam istirahat telah membuat seisi kelas gaduh. Para siswa terlihat membentuk kelompok-kelompok kecil dengan saling mengobrol dan berbagi makanan, tidak terkecuali Nala. Cewek itu tampak begitu bersenang senang dengan beberapa kawannya. Ia tertawa begitu lepas menanggapi candaan seseorang dan turut membagi cerita lucu pada mereka. Tanpa ia sadari, Yoga telah memasuki kelasnya dan langsung menuju tempat duduknya. Cowok itu melangkah dengan cepat seakan tergesa. Ia tidak ingin membuang waktu untuk mengetahui kebenaran atas apa yang terjadi kepada Cecil kemarin. "Nala," panggil cowok itu pada Nala, yang masih belum mengetahui eksistensi Yoga di belakangnya. Rekahan senyum langsung terbit dari wajah cewek itu begitu melihat Yoga. "Yoga? Sejak kapan lo di sini?" Tanya cewek itu masih dengan senyum di wajahnya. Tapi, Yoga tidak datang untuk berbasa-basi. Tatapan cowok itu begitu dingin pada Nala yang masih menyambut baik kedatangannya itu. "G
Yoga dan Nala saling diam untuk beberapa saat, kecamuk berbagai pikiran dan perasaan begitu mengganggu mereka. Jika saja, mereka berdua merasa begitu aneh. Mereka tidak pernah merasa begini canggung jika berdua. Selalu ada candaan yang terlempar juga hati dan pikiran yang selalu dibagi. Jika ada masalah, biasanya mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan cara baik dan cepat. Tapi, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk hari ini. Yoga dan Nala, tampak seperti dua orang yang tidak pernah dekat sebelumya. Mereka menaruh curiga dan dusta hingga Yuda, merasa hubungan mereka tidak sesehat dulu. Ada masalah yang tidak bisa diluruskan dan hubungan mereka sepertinya tidak mudah kembali terjalin. "Gue tau ternyata gue salah. Lo bukan cewek sebaik yang gue kira. Kecewa gue sama lo."Itulah kata-kata terakhir Yoga sebelum meninggalkan Nala saat itu. Tatapannya penuh kekecewaan, tidak lagi memandang Nala seperti dulu. Nala, bukan lagi anak baik yang ia kenal.