Share

Teman Sejenis

Hujan masih turun begitu deras, Cecil dan Ririn, masih terjaga di tempatnya tanpa tahu apa yang akan dilakukan. Di situasi seperti ini, mereka seharusnya mengambil kesempatan untuk tidur mengingat sudah dua hari mereka tidak punya cukup waktu untuk tidur karena kegiatan kemah pramuka yang melelahkan ini. Tapi, mereka tidak bisa melakukannya dan akhirnya hanya bisa menatap langit-langit ruangan tanpa bersuara.

Merasa bosan, Cecil, bangkit dari pembaringannya dan duduk bersandar pada dinding laboratorium yang dingin. Cewek itu memegangi perutnya, sebuah suara lirih keluar dari sana membuatnya malu. Wajah Cecil, semakin memerah ketika menyadari bahwa Ririn, juga ternyata masih terjaga di sampingnya.

"Kenapa lo? Laper?" Tanya cewek itu pada Cecil, dengan senyum samar yang tidak Cecil lihat karena lampu sudah lama dimatikan.

"Iya, nih," jawab Cecil, malu-malu dengan memperlihatkan cengirannya. Tidak diduga, Ririn, bangkit dari tidurnya, meraih sebungkus roti dan memberikannya pada Cecil.

"Mau makan ini?" ujar cewek itu tampak ragu-ragu menawarkan roti yang ia ambil pada Cecil. Melihat makanan di depannya, Cecil kegirangan dan menyambut bantuan Ririn, dengan sangat baik.

"Mau, mau," ujar Cecil, senang. Cewek itu kemudian membuka plastik pembungkus dan memakannya tanpa ragu. "Makasih, ya," kata Cecil, setelah  menelan beberapa gigitan roti di tangannya.

Sementara itu, Ririn malah tampak heran dengan perilaku Cecil. Tapi, tidak beberapa lama setelahnya, cewek itupun paham, bahwa Cecil, bukanlah orang yang seburuk yang ia kira. Jujur saja, Ririn merasa sedikit khawatir saat dipasangkan dengan Cecil, dalam tugas ini. Sebab, dari rumor yang beredar, Cecil, bukanlah pasangan kerja yang ideal baginya. Banyak yang bilang, Cecil anak yang manja, perebut pacar orang dan tidak bisa melakukan segala hal dengan benar.

Tapi, dari apa yang ia lihat tidak seperti itu. Cecil, malah tergolong anak yang rajin dan baik hati. Yah, memang ada beberapa anak laki-laki yang menggodanya karena Cecil, diakui Ririn, memang cantik.

Namun, tidak satupun di antara mereka yang mendapat respon baik dari Cecil. Cewek itu, hanya membalas sekenanya dengan tersenyum samar atau mengalihkan pembicaraan dengan kuis-kuis yang memang sudah disiapkan oleh panitia untuk para peserta.

Pada intinya, tidak ada gelagat aneh dari Cecil, seperti yang banyak orang bicarakan selama ini. Ririnpun, merasa nyaman berada di dekat Cecil. Menurut Ririn, cewek itu cukup polos dan tergolong tidak jaim. Contohnya saja sekarang, Cecil tampak begitu menikmati potongan besar roti isi keju tanpa ragu di malam-malam seperti ini, sesuatu yang bahkan tidak berani ia lakukan selama beberapa tahun belakangan.

"Enak rotinya?" Tanya Ririn, penasaran dengan benda empuk yang membuat Cecil, begitu senang itu. Cewek itu bahkan mencecap tepi bibir dan jemarinya untuk membersihkan sisa keju yang menempel.

"Enak banget," jawab Cecil, tanpa ragu. Cewek itu kemudian meraih botol air mineral ukuran sedang dan meminum isinya beberapa teguk. Ia terlihat begitu senang saat perutnya kembali terisi dan membebaskannya dari rasa lapar.

"Nggak takut gendut? Ini udah malem loh," ujar Ririn, mengemukakan isi pikiran yang sedari tadi ia tahan. Sebagai sesama cewek, Ririn mengerti benar bagaimana penampilan begitu penting. Untuk itulah, ia selalu menghindari asupan makanan di malam hari agar tubuhnya tetap ramping tidak peduli seberapa laparnya ia jika terjaga di malam hari. Tapi, bukannya melakukan hal yang sama, Cecil malah sebaliknya.

"Rin, gausah mikirin begituan tau. Kalo lo paper makan aja, bodo amat mau gendut apa nggak, yang penting lo bahagia," ujar Cecil,  begitu mudahnya membuat Ririn, tersenyum. Ia tidak tahu harus merespon bagaimana lagi. Yang jelas, ia mulai menyukai Cecil, sekarang. 

"Enak banget ya, jadi lo. Bisa makan bebas tapi bisa tetep kurus gitu," ujar Ririn, memberikan pujian pada Cecil. Bicara soal kurus, sebenarnya Ririn, lebih ramping dibandingkan Cecil. Bisa dibilang, Ririn terlalu kurus untuk cewek seusianya. Bukan keinginannya sebenarnya, hanya saja, ibu Ririn di rumah memang menanamkan pada putrinya jika anak yang cantik itu harus kurus. Agak kurang tepat memang dan itu membuat Ririn, terlalu membatasi porsi makannya hingga terkadang ia harus menahan keinginannya untuk makan sesuatu.

"Kalau soal itu sih, emang di keluarga gue emang bawaan perawakannya kayak gini Rin. Ditambah lagi, bibi di rumah gue jago masak, jadi gue emang suka makan," ujar Cecil, pada Ririn, yang hanya meresponnya dengan senyuman.

"Tapi gimanapun gue, sebenarnya gue tuh iri sama lo Rin," kata Cecil dengan nada lirih membuat Ririn, terkaget. Cecil iri padanya? Kenapa?

"Kok bisa gitu? Lo kan pinter, lebih cantik dari gue, lebih kaya lagi. Emangnya ada yang kurang?" Ririn bertanya dengan rasa penasaran yang tidak bisa ditahan. Dilihat dari manapun, Cecil jauh lebih sempurna dibanding dirinya. Lihat saja para adik kelas yang dengan berani menggodanya tadi. Meski ia tidak ingin diperlakukan demikian, tapi itu adalah bukti bahwa Cecil, memang memiliki pesona kecantikan yang tidak bisa dibantah.

"Lo salah Rin, lo lebih beruntung dibanding gue. Lo punya banyak temen yang selalu ada buat lo. Sedangkan gue? Temen gak punya, malah dijulitin mulu. Padahal, guea gak pernah tuh ganggu mereka," kata Cecil, mengungkapkan isi hatinya pada teman yang baru nembersamainya pada hari ini.

Mendengar hal itu, Ririn amat mengerti. Diapun sempat meragukan Cecil, sebagai seseorang yang bisa diajak bekerjasama pada awalnya. Tapi, begitu mengenal Cecil, lebih dalam, ia baru tahu sebenarnya cewek yang di sampingnya ini adalah orang yang begitu baik. Jujur, sekarang Ririn, malah merasa bersalah pada Cecil.

"Udah ah, udah malem nih. Tidur yuk," kata Cecil, menyudahi pembicaraannya dengan Ririn. "Maaf ya Rin, gue malah jadi curhat gini sama lo," lanjutnya merasa tidak enak pada Ririn. Ririn yang mendengarnya hanya terdiam. Tapi, di dalam ruangan temaram dengan posisi mereka yang berbaring saling membelakangi, Ririn tersenyum dalam diamnya.

"Gapapa kok Cil, lo kalau mau cerita gue mau kok dengerin," ujarnya. Cecil, yang mendengar hal itu jujur saja merasa terharu. Belum pernah ada teman perempuan yang berkata seperti itu. "Lain kali, kalo lo mau, kita hangout bareng yuk," ajak Ririn pada Cecil, yang masih saling membelakangi. Tentu saja, ajakan itu membuat Cecil, senang.

"Boleh, gue mau banget," kata Cecil, sebelum akhirnya terlelap bersama dengan Ririn di sampingnya.  Di malam itu, entah mengapa membuat keduanya tidur dalam kedamaian di dalam ruangan gelap yang dingin itu.       

Hari itu, Cecil begitu senang. Pada akhirnya, ia punya teman sejenis yang mau berbicara dan berbagi cerita dengannya. Semoga saja, tidak ada kekecewaan lagi. Ia mohon, jangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status