"Pokoknya, gue nggak mau tau. Cecil, harus jauh dari Yoga, apapun caranya," begitulah yang selalu ada dalam kepala Nala, akhir-akhir ini. Cewek itu benar-benar kesal dengan keberadaan Cecil, yang menurutnya sudah mengganggu ketentraman pertemanannya dengan Yoga. Cewek itu, kembali mengetuk-ngetuk layar ponselnya untuk menghubungi seseorang.
Tapi, belum sempat ia menekan tombol untuk menelpon orang yang dimaksud, orang itu sudah ada di belakangnya, ia menyentuh punggung Nala, untuk memberitahukan eksistensinya.
"Kenapa lo manggil gue?" Kata orang itu tiba-tiba membuat Nala terkaget. Cewek itu pun, berbalik, menghadapkan wajah ayunya pada laki-laki berbadan kekar dengan tato melingkar di lengannya."Ngangetin aja sih, salam kek gitu," kata Nala, protes namun diabaikan begitu saja oleh pria bertato yang tampak mengerikan itu. Laki-laki itu malah memutar bola matanya, tanda bahwa ia benar-benar tidak peduli dengan perkataan Nala yang sedang menyindirnya itu."Nggak usah banyak bacot, tugas gue apa?" Katanya tidak ingin berbasa-basi dengan Nala. Cewek itupun sama, tidak nyaman baginya mengobrol dengan orang yang lebih suka menggunakan otot dibanding otak seperti pria lusuh yang satu ini. Iapun, menyerahkan sejumlah uang pada preman teri itu."Segini doang? Mana cukup?" Kata pria itu meminta uang lebih pada Nala. Tentu saja Nala menolak. Meski sebenarnya juga takut, ia tidak akan begitu mudahnya menuruti permintaan orang yang sebenarnya ia panggil untuk ia perintah itu."Sabar dong, lo kan belum tau tugas lo apa, udah minta tambahan duit aja. Nih, lo liat cewek ini!" Kata Nala, memperlihatkan foto Cecil, di dalam telepon genggamnya. Laki-laki bertato itupun langsung terpesona melihat kecantikan Cecil yang diperlihatkan Nala melalui foto di hpnya. Tapi, laki-laki itu memilih diam, ia tidak mau menimbulkan kecurigaan pada hati Nala. Dalam hati, ia sudah membidik Cecil, sebagai target barunya hari ini."Tugas lo, cuma peringatin nih cewek, biar gak deket-deket lagi sama Yoga. Bilang Lo kakaknya Yoga, saudara atau apapun itulah lah. Biar si Cecil, jadi il feel sama Yoga dan ngejauh. Inget ya, tugas lo cuma itu aja. Jangan berbuat apa-apa selain itu, jangan sampe Cecil luka SEDIKITPUN. Gampang kan? Cukuplah duit segitu," kata Nala, yang langsung dibalas anggukan oleh preman pasar itu. Meski terlihat pengecut, Nala tidak ragu melakukan hal ini pada Cecil. Sebab, ia sudah pernah melakukannya pada cewek lain yang menyukai Yoga sebelumnya dan terbukti berhasil. Toh, Cecil tidak akan kenapa-kenapa. Sebagai sesama perempuan, ia juga tidak ingin Cecil, menerima kekerasan dari laki-laki. Ia memang pernah berniat baku hantam dengan Cecil. Tapi tentu saja tenaga laki-laki dan perempuan berbeda. Lagipula, ia hanya bermaksud untuk menjauhkan Cecil dari Yoga, hanya itu."Oke, gue terima tawarannya," kata preman itu sembari mengangguk-angguk. Nala yang melihatnya hanya mengernyit keheranan. Tapi, ia memilih mengabaikan hal itu dan menikmatinya saja."Gini dong kalo gue mintain tolong, gak usah banyak cing cong. Langsung aja disambet, kerja gampang dapet duit lagi. Inget ya, lo nggak boleh nyakitin Cecil, ngerti?" Kata Nala, memperingatkan sekali lagi agar laki-laki kekar itu tidak macam-macam dengan Cecil. Kalau cewek itu sampai kenapa-kenapa, lalu mengadu pada ayahnya, bisa terancam nanti Nala."Yaudah, gue samperin nih cewek pulang sekolah ya," kata laki-laki itu sambil berlalu pergi meninggalkan Nala yang langsung menuju kelasnya. Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa sudah waktunya bagi anak-anak SMA Nusa Bangsa untuk pulang, meninggalkan aktivitas melelahkan yang sudah menguras pikiran sejak pagi. Meski demikian, Cecil dan Adrian, pulang dua jam lebih lama karena mereka harus menyelesaikan tugas kelompok yang akan dikumpulkan besok.Alhasil, saat pulang, suasana sekolah sudah sepi. Saat itu, Cecil menunggu Adrian, yang sedang mengambil motornya di parkiran.
Biasanya, para siswa memang memilih melewati pintu belakang sekolah saat pulang. Pintu belakang memang menuju langsung dengan jalan raya yang bisa mereka lewati. Tapi, sebelum sampai ke jalan raya, para siswa biasa melewati lorong sempit yang diapit dinding pembatas sekolah dan perumahan warga. Lorong sempit itu hanya bisa dilewati oleh satu motor saja. Di sanalah Cecil menunggu. Tanpa diduga, seseorang telah menantinya di sana. Cowok berbadan kekar dengan tato melintang di lengannya menatap lekat Cecil dari atas ke bawah."Gila, ni cewek lebih cantik aslinya dari pada yang di foto," kata laki-laki itu tersenyum penuh nafsu pada Cecil yang masih tidak mengetahui keberadaannya. "Hai cantik, apakabar?" Kata orang itu menyapa.Cecilpun berbalik, melihat siapa yang menyapanya. Cecil, begitu terkejut melihat penampakan laki-laki yang ada di belakangnya itu. Secara refleks, ia memundurkan langkahnya, menghindari laki-laki bertampang garang yang sedang mencoba untuk mendekatinya itu."Hai Neng, mau tanya, ruang guru mana ya? Saya mau nemuin guru, ada urusan penting tentang adik saya yang sekolah di sini," kata laki-laki itu mencoba memancing Cecil. Untuk sementara, Cecil bisa tenang, ia sudah berburuk sangka dengan orang itu."Kalau ruang guru mas lurus aja ngikutin jalan parkiran ini terus belok kiri lurus terus nanti ketemu ruang guru," kata Cecil, mencoba ramah."Oh, gitu. Kalau saya mau ke hati Eneng, jalannya lewat mana?" Kata pria itu mulai mendekati Cecil. Cewek itupun mulai takut."Siapa lo? Jangan deket-deket gue!" Kata Cecil, membentak orang yang menyeringai menakutkan padanya itu. Bukannya menjauh, cowok itu malah semakin mendekat, ia juga menertawakan ucapan Cecil tadi seolah meremehkan."Jangan galak-galak gitu dong, ilang nanti cantiknya," katanya sambil terus mendekat ke arah Cecil, tidak peduli jika Cecil amat ketakutan melihatnya. Melihat Cecil ketakutan, justru menjadi hiburan tersendiri bagi cowok itu. "Jangan deket-deket gue bilang! Ardiaan!" Teriak Cecil, mencoba memanggil Adrian. Laki-laki itu tentu saja panik dan langsung membekap mulut Cecil dengan tangan besarnya yang kecoklatan. Cecil berusaha meronta, tapi tenaganya tentu tidak sebanding dengan lawannya.Tanpa disangka-sangka, pria itu memojokkan Cecil pada dinding, memandang penuh nafsu mata Cecil yang berair dan mencoba mengecup cewek itu. Tentu saja, Cecil sangat takut sampai tubuhnya bergetar dan isakannya semakin keras."Diem, gue gak bakal macem-macem lo tenang aja!" Katanya pada Cecil yang mulai menangis. Untungnya, Yoga yang kebetulan lewat melihat hal itu dan langsung memukul preman yang sudah berani mengganggu Cecil itu.Menerima pukulan keras di pipi kirinya hingga lebam, tentu saja membuat preman itu marah. Ia berniat memukul balik Yoga. Namun, begitu melihat Yoga, preman itupun langsung memilih kabur saja. Sebab, ia tahu Yoga adalah teman yang biasa pergi bersama Nala. Dan yang lebih parah, Yoga pasti bisa mengenalinya."Woy, pengecut. Jangan kabur lo!" Kata Yoga, berusaha mengejar preman itu pada awalnya. Tapi, begitu melihat Cecil, yang terjongkok sambil menangis ia lebih memprioritaskan Cecil pada akhirnya."Ada apaan nih?" Adrian akhirnya muncul. Cowok itu begitu terkejut melihat keadaan Cecil yang tampak kacau. "Cecil, lo kenapa?" Kata Adrian sambil merengkuh Cecil dalam pelukannya. Ia sempat melirik Yoga. Tapi rasanya tidak mungkin jika Yoga pelakunya."Drian, lo bawa Cecil pulang. Gue mau kejar tu bajingan," kata Yoga membuatnya mengerti dengan kejadian ini.
"Oke, lo ati-ati," kata Adrian sambil merengkuh bahu Cecil, yang tampak masih begitu terkejut dengan segala yang terjadi hari ini. Sepertinya, ia tidak ingin lagi terlibat urusan sekolah ini.
Cecil juga ingin bahagia
Jam istirahat telah membuat seisi kelas gaduh. Para siswa terlihat membentuk kelompok-kelompok kecil dengan saling mengobrol dan berbagi makanan, tidak terkecuali Nala. Cewek itu tampak begitu bersenang senang dengan beberapa kawannya. Ia tertawa begitu lepas menanggapi candaan seseorang dan turut membagi cerita lucu pada mereka. Tanpa ia sadari, Yoga telah memasuki kelasnya dan langsung menuju tempat duduknya. Cowok itu melangkah dengan cepat seakan tergesa. Ia tidak ingin membuang waktu untuk mengetahui kebenaran atas apa yang terjadi kepada Cecil kemarin. "Nala," panggil cowok itu pada Nala, yang masih belum mengetahui eksistensi Yoga di belakangnya. Rekahan senyum langsung terbit dari wajah cewek itu begitu melihat Yoga. "Yoga? Sejak kapan lo di sini?" Tanya cewek itu masih dengan senyum di wajahnya. Tapi, Yoga tidak datang untuk berbasa-basi. Tatapan cowok itu begitu dingin pada Nala yang masih menyambut baik kedatangannya itu. "G
Yoga dan Nala saling diam untuk beberapa saat, kecamuk berbagai pikiran dan perasaan begitu mengganggu mereka. Jika saja, mereka berdua merasa begitu aneh. Mereka tidak pernah merasa begini canggung jika berdua. Selalu ada candaan yang terlempar juga hati dan pikiran yang selalu dibagi. Jika ada masalah, biasanya mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan cara baik dan cepat. Tapi, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk hari ini. Yoga dan Nala, tampak seperti dua orang yang tidak pernah dekat sebelumya. Mereka menaruh curiga dan dusta hingga Yuda, merasa hubungan mereka tidak sesehat dulu. Ada masalah yang tidak bisa diluruskan dan hubungan mereka sepertinya tidak mudah kembali terjalin. "Gue tau ternyata gue salah. Lo bukan cewek sebaik yang gue kira. Kecewa gue sama lo."Itulah kata-kata terakhir Yoga sebelum meninggalkan Nala saat itu. Tatapannya penuh kekecewaan, tidak lagi memandang Nala seperti dulu. Nala, bukan lagi anak baik yang ia kenal.
Pagi ini, lagi-lagi Cecil, enggan berangkat ke sekolah. Ia tahu, tidak baik baginya terus-terusan mogok sekolah seperti ini. Tapi.. sudah lama ia tidak semangat sebenarnya. Toh, tidak ada yang peduli ia berangkat atau tidak. Ia hanya seseorang yang ada dan tiadanya tidak dianggap. Terlebih lagi, ia merasa agak lemas dan pusing. Bagaimana tidak? Dari kemarin, belum ada makanan yang mengisi perutnya. "Cecil, Cil?" Panggilan akrab itu, mengagetkan Cecil dari pembaringannya. Cewek itu, segera menuju pintu dan membukanya secara tidak sabar. Bahkan, pandangannya yang mulai berkunang-kunang tidak ia hiraukan sama sekali demi segera menemui sang pemilik suara yang sudah lama tidak ia temui.Benar saja, dada bidang ayahnya yang masih dibalut jas kerja langsung menyapa pengelihatannya begitu ia membuka pintu. Wajah pucatnya mendongak, mencari wajah teduh yang biasa tersenyum dan sangat jarang ia temui. "Papa!" Ucap cewek itu sembari memeluk sang ayah yang langsung m
Dalam ruang kerjanya, ayah Cecil memijit keningnya yang teramat pusing. Matanya menekusur huruf demi huruf yang tercetak dalam kertas putih yang dipegangnya. Dadanya naik turun menahan amarah, tapi tidak ada yang bisa dilakukan karena semuanya telah terjadi. Ia merasa gagal melindungi Cecil. Pria itu membanting kertas yang dipegangnya ke atas meja, duduknya kini tampak tidak tenang. Sementara sekretarisnya yang sedari tadi memperhatikan terlihat agak takut. Tidak pernah ia melihat bosnya begini marah hingga nafasnya tersengal. "Kamu sudah memastikan semuanya benar kan? Tidak ada kesalahan?" Kata pria itu menatap wanita berblazer hitam itu tajam. Sementara itu, sekretarisnya hanya mengangguk dan mencoba bersikap tenang, berusaha profesional. "Iya, pak. Semuanya sudah saya pastikan benar. Saya mendapat informasinya langsung dari wali kelas, guru dan sahabat Cecilia, Adrian Wiguna Putra," kata perempuan itu menjelaskan. Jujur saja, sebena
Rumah Adrian, seharusnya ramai pada saat ini. Kakaknya yang sedang libur kuliah kini pulang dan sedang bermain game dengan Yoga yang berkunjung ke rumahnya. Tadinya, Yoga ingin mengajak Adrian mabar. Tapi, cowok itu anehnya masih saja galau, siapa lagi kalau bukan karena Cecil. "Lo kenapa sih Rian, kerjaannya galau mulu? Kalau kuatir, samperin aja ke rumahnya kan beres," ujar Yoga memberi saran pada Adrian yang pandangannya masih sedih sambil memetik gitar asal-asalan. "Gue udah ke rumahnya, tapi dia gak mau nemuin gue. Gak tau deh kenapa, kalau gue punya salah kan dia biasanya ngomong, gak diem kayak gini," kata Adrian, masih dengan ketidak jelasan kabar Cecil yang menggunakan dirinya. "Yaudah lah, gue tau kok Cecil orangnya gimana. Nanti kalau udah baikan, dia pasti kabarin Lo kok," kata Yoga yang masih berusaha meyakinkan Adrian. Cowok itu tahu benar, Adrian menyukai Cecil. Pasti, sebuah siksaan baginya karena tidak bisa berkomunikasi dengan ce
Tidak seperti biasanya, Adrian begitu menantikan Hari Senin. Jantungnya berdebar-debar menantikan pelajaran pertama untuk hari ini. Bukan karena pelajaran tentu saja, melainkan karena hari ini ia akan bertemu kembali dengan Cecil. Agak aneh sebenarnya, karena pada hari saat Cecil mengirimkan sebuah jam tangan untuknya, cewek itu masih tidak bisa dihubungi. Ia kira semua masalahnya sudah. Teratasi, tapi bagaimana mungkin Cecil masih begitu tertutup seperti ini? Maka dari itu, Adrian berangkat sekolah terburu-buru pada hari ini. Ia sampai begitu pagi, tidak ada seorangpun yang ada di kelas selain dirinya. Entahlah, apa yang sedang merasukinya hingga sampai seperti ini. Pun, jika Cecil benar-benar datang, ia tidak akan seniat itu bukan untuk berangkat sekolah pukul enam pagi. "Drian, tumben banget lo dateng pagi-pagi banget?" Setelah menunggu lima belas menit, bukannya Cecil, malah Nala yang datang. Cewek itu memandang Adrian, penuh tanya. Sementara
Di rumah Cecil, di pagi yang sama. Cecil menatap wajahnya di dalam cermin. Ia memperhatikan segala yang terpahat di sana. Matanya, hidungnya, alis, pipi, semuanya. Ia tahu, benar-benar tahu jika kecantikan adalah hal yang diinginkan oleh semua perempuan. Iapun bersyukur karena diberikan pahatan wajah yang sama persis dengan sang ibu, yang sukses menjerat hati ayahnya begitu dalam. Hingga saat ini, setelah tahun ke sepuluh kematian ibunya, tidak ada satu wanitapun yang bisa menggantikan posisi ibunya meski ayahnya tergolong masih muda pada saat meninggalnya sang ibu dan banyak pilihan yang menunggu jawab. Itu semua, karena ibunya sosok yang cantik, persis seperti dirinya. "Tapi sayangnya, cantik nggak selalu membawa keberuntungan," itulah yang Cecil rasakan saat ini. Kalau dipikir-pikir, bukan hanya dia seorang yang merasakannya, tapi juga sang ibu. Karena cantik itulah, ibunya mati muda. Seorang pria h
Cecil mebghembuskan nafas, mencoba mengendalikan degup jantungnya yang masih bergemuruh. Ia tentu saja khawatir, bagaimana tanggapan orang tentang penampilan barunya ini? Tapi, keputusan adalah keputusan, bila ia seperti dulu, kemungkinan hal buruk yang lalu juga akan terjadi dan ia tidak mau itu. "Ayo Cecil, sekolah baru, lembaran baru. Harus semangat!" Kata Cecil menyemangati dirinya sendiri. Iapun keluar dari mobil, mengetuk kaca depan mobil untuk sebentar berbincang dengan supir yang sudah mengantarnya. "Makasih ya, Pak Sarto. Hati-hati pulangnya," kata cewek itu tersenyum manis pada laki-laki yang sudah lama bekerja dengan keluarganya itu. Laki-laki berperawakan tinggi kurus itupun balas tersenyum padanya. "Iya non, makasih. Nanti saya jemput lagi jam dua siang ya," jawab laki-laki itu dengan nada medok sebelum berpamitan pulang pada Cecil, melaju dengan mobil sedannya kembali ke rumah Cecil yang sudah lama pula jadi tempat tinggalnya.