Share

Menjadi Seorang Pengasuh

Bagaimana tidak. Seperti kejatuhan durian, tiba-tiba seorang gadis menghampirinya dan memintanya untuk menjadi seorang pengasuh. 

“Ya, semacam itu,” jawab wanita bernama Bella itu, “Tentu saja, kami akan memberikan bayaran yang pantas! Sepuluh, lima belas, bahkan tiga puluh juta pun kami sanggup membayarmu!” ujarnya dengan yakin. 

Adimas sedikit terkejut. Jumlah itu jauh lebih besar daripada gajinya mengantar paket-paket itu. 

Namun, Adimas bukanlah orang yang mudah dibohongi. Ia tidak bisa memercayainya semudah itu. 

“Tapi, mengapa kamu tiba-tiba menawarkan pekerjaan ini kepada saya? Bukankah ada banyak pengasuh yang jauh lebih berpengalaman?” tanya Adimas dengan sedikit curiga. 

Wanita cantik itu memandang ke arahnya dengan serius. “Memang banyak, tetapi kalian memiliki nasib yang sama. Kalian sama-sama dirugikan oleh pernikahan keduanya. Itu akan membuatmu lebih mengerti dirinya daripada pengasuh lain.” Dia menjelaskan. 

Alasan itu cukup masuk akal, pikir Adimas. 

Pada akhirnya, dia menganggukkan kepala satu kali. 

“Baik, saya terima tawaran kamu,” jawabnya dengan yakin. 

Wajah Bella langsung berubah menjadi cerah. “Kalau begitu, mohon ikut saya!” ujarnya. 

Gadis itu meminta Adimas untuk masuk ke dalam mobil miliknya. Rupanya, gadis itu sudah mengintai Adimas dan menyaksikan peristiwa tadi. 

Kini, pria itu dibawa ke sebuah pemukiman orang elit kelas atas. Adimas melihat ke kanan dan kiri dan tidak ada perubahan pada raut wajahnya. 

Dia terlihat sangat tenang, seperti orang kaya saja, pikir Bella di kursi kemudi. 

Umumnya, orang-orang akan takjub melihat rumah-rumah mewah dan halaman-halaman indah yang terpampang. Namun, Adimas tetap tenang seakan tidak kagum. 

Tak lama, mereka berhenti di sebuah rumah besar bergaya minimalis yang memiliki halaman luas. 

“Ayo masuk!” ajak Bella. 

Raut wajah Adimas masih tetap tenang. Dia tidak merasa rendah meski memasuki rumah sebesar ini. Padahal, dirinya hanya seorang kurir. 

“Pah, Bella sudah menemukan pria yang cocok!” Gadis itu berujar seraya menghampiri seorang pria yang tengah duduk di sebuah sofa. 

Pria itu menatap ke arah datangnya Adimas. Dia adalah pria paruh baya berwajah sangar. Dia memandang ke arah Adimas dengan ragu. 

“Dia?” tanyanya. 

Adimas tahu. Saat ini ia hanya mengenakan jaket kulit dan celana jins lusuh. Sama sekali tidak menonjolkan maskulinitasnya. Pria itu tidak akan memercayainya begitu saja. 

Namun, Bella mengangguk yakin. 

“Benar, Pah.” 

Pria itu mulai berdiri dan menatap lurus ke arah Adimas. “Jadi, kamu yang akan menikahi anak saya Karina?” tanyanya, langsung to the point. 

Alis Adimas menukik tajam dan memandang ke arah Bella dengan bingung. 

“Apa? Menikahinya?” tanya Adimas dengan heran. Itu bukan apa yang ditawarkan Bella sebelumnya. 

“Tentu saja! Kamu akan mengurus segala keperluan, bahkan tidur dengannya. Bagaimana mungkin saya akan percaya jika tidak menikahinya?” Pria bernama Markus itu tampak bersikeras terhadap aturannya. 

“Wanita ini bilang saya hanya perlu mengasuhnya,” protes Adimas seraya memandang ke arah Bella seakan meminta penjelasan. 

Bella balas memandangnya dengan sorot penuh permohonan. “Jangan khawatir, kami akan memberikan bayaran yang lebih besar! Lima puluh juta dalam satu bulan pun akan kami bayar. Yang terpenting putri kami baik-baik saja,” pintanya dengan raut wajah putus asa. 

“Kami mohon, Nak. Kondisinya sangat mengenaskan. Saya yakin hanya kamu yang bisa menolongnya.” Markus menambahkan dengan tatapan penuh harap. 

Adimas semakin bingung. Ia tidak ingin terjerumus pada hal ini, tetapi tanpa sadar ia justru terjebak semakin dalam hingga harus menikahi seseorang. 

“Jika kamu berhasil membuatnya sembuh, kalian bisa bercerai. Dan kami akan memberikan pesangon yang besar. Mobil, rumah, emas atau apa pun yang kamu minta,” ujar Markus. 

Tak hanya melalui kata-katanya, pria paruh baya itu juga berulang kali menundukkan kepalanya seakan memohon kepada Adimas, membuat Adimas menjadi segan. 

“Hanya Anda yang bisa kami harapkan.” Bella menambahkan seraya menundukkan kepala. 

Keduanya menunduk ke arah Adimas dengan penuh harap. Membuat Adimas berpikir Karina pastilah anak kesayangan keluarga ini hingga ayah dan adiknya sampai rela mengorbankan harga dirinya untuk memohon kepadanya seperti ini. 

Kini, hati nurani Adimas pun ikut tergerak melihatnya. Pria itu menatap keduanya dengan iba sebelum akhirnya mengangguk. 

“Baiklah, saya akan menerimanya, tapi dengan satu syarat.” Dia mengumumkan. 

Markus dan Bella sontak mengangkat wajah mereka. Terlihat bahagia dengan keputusan itu, tetapi juga cemas. Seakan khawatir Adimas akan meminta macam-macam. 

“Katakan. Kami akan memenuhinya. Apa pun yang kau minta, kami akan mengabulkannya. Harta, jabatan, apa pun,” ujar Markus tanpa ragu. 

 Ia yakin itu adalah apa yang diinginkan oleh pria sederhana seperti Adimas. 

Namun, Adimas justru menggelengkan kepala. Ia tidak ingin salah satu benda yang disebutkan Markus. Matanya menatap ke arah Markus dengan yakin saat ia menjawab, 

“Saya ingin bertemu dengan putri kalian,” tutur Adimas. 

Hening. 

Sesaat, baik Bella maupun Markus terlihat ragu. 

Markus akan langsung memberikan uang tunai jika itu yang diminta Adimas. Namun, permintaannya di luar sangkaannya dan membuat Markus ragu. 

Pasalnya, jika Adimas melihat kondisi Karina, sudah pasti pria itu akan langsung menolaknya. 

“Mengapa? Tidak bisa?” Adimas bertanya lagi. Salah satu alisnya terangkat naik dengan penasaran. 

“Bisa!” Markus menjawab cepat, “Tapi, seperti yang kami bilang, dia mengidap gangguan jiwa. Sikapnya mungkin akan sedikit tidak terkendali,” ujarnya, memperingatkan. 

Markus amat khawatir Adimas akan membatalkan kesepakatan mereka setelah melihat Karina. 

“Tidak masalah! Saya hanya ingin melihatnya!” ujar Adimas, tampak yakin. 

Pada akhirnya, Adimas mulai dibimbing memasuki rumah itu lebih dalam. Ia dibawa kepada sebuah kamar yang letaknya di lantai bawah. Dari luar, kamar itu tampak normal. Namun, jantung Adimas nyaris berhenti saat Markus membuka pintunya. 

Kamar itu benar-benar berantakan. Seakan baru saja terjadi perkelahian di sana. Sementara itu, ia melihat seorang wanita dalam balutan gaun sederhana berwarna putih. Rambut gadis itu tampak berantakan dan ia menatap sendu keluar jendela, sama sekali tidak memedulikan tiga orang yang mengamati dari ambang pintu. 

Adimas bisa langsung melihat gangguan pada kejiwaannya. 

“Anda yakin akan memberikan apa pun yang saya minta?” Adimas bertanya lagi. Kali ini, nadanya terdengar lebih serius. 

“Ya! Katakan saja. Kami akan mewujudkannya jika kami sanggup!” jawab Markus dengan yakin. Sangat sulit untuk mencari pengasuh Karina. Jauh lebih sulit daripada mencari pengasuh anak-anak. Ia tidak ingin kehilangan seseorang seperti Adimas. 

“Baiklah, saya akan menikahi putri Anda!” 

*** 

Adimas kembali diantar ke rumah Kamala. Gadis itu masih belum kembali dan masih ada motor milik pria itu di sana. 

“Ayahku akan mengurus pernikahan kalian secepatnya. Tunggu saja kabar dariku,” ujar Bella dari dalam mobil. 

Adimas mengangguk, kemudian berjalan pergi menuju motornya. Ia sudah siap untuk menyalakan mesin kendaraan tersebut saat tiba-tiba ponselnya berdering. Ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal. 

“Hukumanmu telah berakhir. Kau bisa pulang ke rumah.” 

Adimas menyeringai tidak percaya membaca pesan itu. Ia mengabaikannya dan kembali memasukkan ponselnya ke kantong celana, bersikap seolah pesan itu tidak pernah ada. 

Hingga begitu ia keluar dari kediaman Kamala, tiba-tiba seorang pria menahannya. 

“Mengapa Anda mengabaikannya, Tuan Muda?” 

Adimas seketika mengerem motornya. Raut wajahnya tampak terkejut melihat pria yang sekarang berdiri di hadapannya. 

“Kau mengagetkanku!” sergah Adimas kepada Benny yang tidak lain adalah asisten sang ayah. 

Benny telah bekerja bertahun-tahun pada sang ayah hingga Adimas sudah menganggapnya seperti paman sendiri. 

“Hukuman Anda telah berakhir. Tuan besar dan Nyonya besar ingin Anda kembali ke rumah.” Dia menyampaikan seraya memberikan gestur pada mobil hitam mewah yang sudah menunggu mereka. 

Kedua orang tua Adimas mengutusnya langsung untuk menjemput putra tunggal dari keluarga konglomerat Nelson itu. 

“Sayang sekali, aku tidak ingin kembali ke sana sekarang,” jawab Adimas acuh tak acuh. 

Hampir setengah tahun lalu, sang Ayah menghukum Adimas dan mengusirnya dari rumah. Ia tidak diberikan uang sepeser pun, hanya sebuah motor usang yang sering  mogok. Karena itu, satu-satunya hal yang bisa Adimas coba adalah menjadi seorang kurir. 

Ia yang dulu disanjung-sanjung dan dihormati kini hanya mendapat hinaan dan caci maki. Adimas bahkan kehilangan calon tunangannya. Ia telah kehilangan segalanya. Kembali ke rumah itu pun tidak akan berarti. 

“Anda yakin? Perusahaan Anda sudah menunggu untuk Anda kelola. Dan perbuatan David dan Kamala saat merendahkan Anda juga membuat saya geram,” ujar Benny. 

Nada suaranya masih stabil dan tenang, tetapi Adimas tahu bahwa pria itu serius dan bisa mengirim banyak orang untuk membalaskan dendamnya.

Kening Adimas mengernyit seketika. “Tunggu–bagaimana kau mengetahuinya? Apakah kau memata-mataiku selama ini?” tanya Adimas dengan sorot memicing curiga. 

Benny tampak tidak terpengaruh dengan serangan pertanyaan tersebut. Raut wajahnya masih tenang dan stabil. 

“Itu karena kami semua khawatir, Tuan Muda. Tuan terbiasa dilayani dan tiba-tiba harus melakukan semuanya sendiri. Kami khawatir hal yang buruk terjadi,” jawabnya. 

Adimas mendengkus. Tidak menyangka jika dirinya akan diperlakukan seperti anak kecil. 

“Jadi, kalian tidak memercayaiku?” tanya pria itu. 

Sejak kecil, Adimas memang sudah memiliki banyak pelayan yang siap memenuhi kebutuhannya. Namun, bukan berarti ia tidak bisa hidup seorang diri dan Adimas merasa diremehkan dengan perlakuan itu. 

Akan tetapi, Benny mengabaikan komentarnya. 

“David hanyalah anak seorang pengusaha yang baru sukses dalam bisnisnya. Itu tidak sebanding dengan Anda. Jika Anda mau, Anda bisa menghancurkan dan mengakuisisi perusahaannya dalam sekejap,” tutur Benny. 

Ia sudah seperti paman Adimas. Jika seseorang berani merendahkan Adimas, maka Benny berani maju untuk membalaskan dendam. 

Sayangnya, Adimas menggelengkan kepala. Jelas menolak ide itu. 

“Untuk apa aku melakukannya? Membuat Kamala kembali padaku? Aku tidak menginginkan dia lagi. Cintaku sudah mati,” jawab Adimas dengan suara dingin. 

Mengingat Kamala pun tidak lagi membuatnya berbunga-bunga. Hanya ada rasa sakit dan kecewa. 

“Jadi, Anda benar-benar tidak ingin kembali, Tuan? Nyonya besar sudah mengkhawatirkan Anda.” Benny menambahkan. 

Adimas tersenyum kecil. Ia benar-benar merasa diperlakukan seperti anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada satu pun laki-laki yang ingin diperlakukan demikian. 

“Katakan padanya aku hanya akan kembali saat aku menginginkannya. Dan jika kau terus membuntutiku, aku benar-benar tidak akan pernah kembali ke rumah itu!” jawab Adimas dengan tegas. 

Setelah mengatakannya, pria itu berniat mengakhiri pembicaraan dan berjalan pergi, tetapi Benny kembali menahannya. 

“Baiklah, Tuan, tapi setidaknya terimalah ini.” Benny merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kartu ATM berwarna hitam dan kunci mobil. Itu adalah kartu ATM tanpa batas yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang eksklusif di negara ini, dan Adimas sudah memilikinya sejak ia lulus SMA. 

“Itu adalah kartu Anda yang sempat ditahan. Mobil Anda ada di tempat perawatan seperti biasa. Bisa diambil kapan pun Anda membutuhkannya,” ujar Benny. 

Ia biasa melihat Adimas mengendarai mobil sport miliknya dengan gagah. Melihatnya hanya membawa motor usang ke mana-mana membuat Benny tidak tega. 

Meski demikian, Adimas tidak langsung mengambilnya. 

“Aku akan menerimanya, tapi bukan berarti aku akan menggunakannya! Aku hanya menerimanya untuk membuatmu berhenti,” jawab Adimas sambil menerima kedua barang berharga tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam saku jaket. 

Ia bertekad tidak akan menggunakan mobil ataupun kartu tanpa batas itu. 

“Tidak masalah, Tuan Muda,” jawab Benny, “Kalau begitu, saya akan segera pergi. Ada banyak urusan yang harus saya selesaikan.” 

Benny mengangguk memberi hormat, kemudian melangkah pergi. 

“Tunggu–” ucap Adimas. 

Seperti robot, pria itu langsung berhenti dan membalikkan tubuh ke arah tuan mudanya. 

Adimas tampak berpikir sejenak. Menimbang-nimbang perkataannya selanjutnya, kemudian menggeleng. 

“Tidak jadi, lupakan saja,” katanya. 

Pada awalnya, Adimas berniat memberitahu Benny tentang pernikahan dan pekerjaan barunya. Namun, hal itu justru akan membuat keluarganya menjadi lebih khawatir. 

Ia ingin menyelesaikan hal ini dengan cara laki-laki sejati. 

Adimas kembali menyalakan mesin motornya. Akan tetapi, belum sempat ia bergerak maju, ponselnya kembali berdering. Ada sebuah pesan dari nomor tidak dikenal. 

“Ayah sudah selesai mempersiapkan semuanya. Kau bisa menikah dengan kakakku lusa.” 

Adimas mengerjap tidak percaya. 

Ia tidak menyangka akan secepat ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status