“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
“Paketnya tidak bisa dibuka jika belum dibayar, Bu,” ujar Adimas kepada seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba merebut paket dari tangannya. “Ini kan paket saya, terserah saya dong! Saya tidak akan bayar jika paketnya tidak lengkap!” sergah wanita itu dengan kasar. Wajah Adimas tampak putus asa saat melihat wanita itu mulai membuka bungkusan paket tersebut. “Peraturannya tidak boleh dibuka sebelum dibayar, Bu!” Adimas kembali mengingatkan. Ia akan terkena masalah jika hal seperti ini terjadi. “Hah, ya sudah! Ambil tuh!” Wanita paruh baya itu melemparkan dua lembar uang dua puluh ke tanah. “Dasar tukang paket bodoh! Hanya bermodal motor butut saja banyak ngatur!” ejeknya sembari berjalan masuk ke dalam. Adimas memungut uang tersebut dan mengembuskan napas panjang. Ia tidak percaya jika dirinya harus dimaki-maki untuk mendapatkan uang yang sedikit. Namun, pada situasinya sekarang, uang nominal itu bisa menjadi amat berharga. Akhirnya, Adimas mulai berjalan menuju motornya yang m
Bagaimana tidak. Seperti kejatuhan durian, tiba-tiba seorang gadis menghampirinya dan memintanya untuk menjadi seorang pengasuh. “Ya, semacam itu,” jawab wanita bernama Bella itu, “Tentu saja, kami akan memberikan bayaran yang pantas! Sepuluh, lima belas, bahkan tiga puluh juta pun kami sanggup membayarmu!” ujarnya dengan yakin. Adimas sedikit terkejut. Jumlah itu jauh lebih besar daripada gajinya mengantar paket-paket itu. Namun, Adimas bukanlah orang yang mudah dibohongi. Ia tidak bisa memercayainya semudah itu. “Tapi, mengapa kamu tiba-tiba menawarkan pekerjaan ini kepada saya? Bukankah ada banyak pengasuh yang jauh lebih berpengalaman?” tanya Adimas dengan sedikit curiga. Wanita cantik itu memandang ke arahnya dengan serius. “Memang banyak, tetapi kalian memiliki nasib yang sama. Kalian sama-sama dirugikan oleh pernikahan keduanya. Itu akan membuatmu lebih mengerti dirinya daripada pengasuh lain.” Dia menjelaskan. Alasan itu cukup masuk akal, pikir Adimas. Pada akhirnya, di
Hari pernikahan datang lebih cepat daripada yang Adimas duga. Hingga dalam waktu dua hari, ia sudah berada di sebuah aula dan mengenakan jas resmi. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pernikahan itu diadakan secara tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan seorang penghulu. Penampilan Karina tidak jauh lebih baik. Rambutnya masih berantakan. Wajahnya terlihat kusam dan dia mengenakan gaun putih sederhana. Adimas kira, pernikahan ini tidak akan berjalan mulus. Namun, rupanya Karina bisa duduk diam di sisinya tanpa berkata-kata. Tentu rasanya sangat aneh menikah dengan orang yang tidak dikenal. Karena itu, sementara penghulu bersiap-siap, Adimas mencoba menyapa. “Hai, Karina,” tuturnya sambil tersenyum manis. Ia mengulurkan tangan ke arah gadis itu. “Kau bisa memanggilku Adimas.” Karina tidak langsung bereaksi, tetapi ia menoleh, tanda bahwa ia bisa mendengar Adimas. Alih-alih menjabat tangan pria itu, Karina justru menamparnya. PLAKKK Adimas dan semua orang
Sesuai kesepakatan, Adimas dan Karina akan tetap tinggal bersama Markus dan istrinya di rumah keluarganya. Alasannya adalah agar mereka bisa memantau langsung perkembangan Adimas. Kini, pertanyaan dan peringatan dari David masih mengiang-ngiang di kepala Adimas. Hingga ketika keduanya tiba di rumah, Karina langsung pergi ke kamar untuk beristirahat, sementara Adimas masih merenungi pertanyaan yang sama. "Ada apa, Adimas?" Siska, ibu Karina, tiba-tiba datang dan menghampiri Adimas yang menunjukkan wajah serius. Wanita itu juga berada di tempat pernikahan mereka dan sudah mengganti busananya dengan pakaian yang lebih santai. Adimas belum terlalu mengetahui seluk-beluk keluarga ini, tetapi sejauh ini, Siska menunjukkan sikap yang baik. Adimas menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya tiba-tiba penasaran. Bagaimana awal mula Karina bisa menjadi seperti ini?” tanya pria itu. Sejak awal, Markus dan Bella hanya terus meyakinkannya bahwa Karina menjadi seperti ini karena David. Namun, apa
"Ayo, Karina. Kamu harus mandi agar David mau menemuimu," bujuk Adimas dengan suara lembut. Tubuh keduanya basah akibat terguyur hujan dan Adimas berusaha memutar otak untuk membuat Karina mau untuk mandi. Dia hanya menyebutkan nama David sebagai percobaan. Tidak disangka, Karina langsung menoleh ke arahnya dengan tertarik. "David?" tanyanya dengan suara lirih. Adimas tersenyum dan mengangguk. "Ya. David hanya ingin menemuimu jika kau sudah bersih dan wangi," jawabnya. Ia merasa bersalah karena harus membohongi Karina seperti anak kecil, tetapi mungkin hanya itu satu-satunya cara untuk menjangkau Karina yang tidak ingin mendengarkannya. Dan, benar saja. Karina langsung mengangguk patuh seperti kucing kecil dan mulai berjalan ke arah kamar mandi. Bahkan, tanpa perlu Adimas suruh. Pria itu memandangnya dengan tidak percaya. Untuk saat ini, Karina hanya mendengarkan David. Gadis itu mungkin bahkan tidak pernah menghiraukannya. Adimas menyusul Karina mendekati kamar mandi dan sedi