Adimas tengah menunggu Karina yang ditangani dokter saat melihat Markus berjalan masuk dengan langkah tegas.
"Karina--"BuukkkMarkus langsung meninju wajah Adimas tanpa ragu. Wajahnya tampak memerah kesal."Berani-beraninya kau membawa Karina ke tempat ini!" sergah pria paruh baya itu.Adimas tidak menjawab. Para pasien lain di sekitar mereka seketika terdiam mengamati pertengkaran di antara keduanya."Di mana Karina?!" bentak pria itu seraya memandang sekeliling. Memperhatikan beberapa tempat tidur yang tertutupi tirai.Tanpa menunggu jawaban Adimas, Markus menghampiri salah satu tirai dan menyibakkannya. Terlihat seorang dokter yang tengah memasang infus untuk gadis itu.Tanpa ragu, Markus meraih tangan Karina yang tampak lemah dan menariknya."Ayo, kita harus segera pergi dari sini!" ajaknya dengan kasar.Semua orang terkejut dengan tindakan Markus dan Adimas cepat-cepat menghentikkannya."Karina harus segera mendapat penanganan!" tegas Adimas melawan Markus. Raut wajahnya tampak geram dengan sikap pria itu."Tidak perlu! Aku akan segera membawa Karina dari sini," geram Markus dan kembali memaksa Karina untuk berjalan.Dokter pria yang sejak tadi terdiam dan tidak habis pikir itu membuka suara dengan tegas."Anda tidak diperbolehkan membawa pasien yang tengah diobati, Tuan," ujarnya, setengah memberi peringatan meski ia tahu Markus tidak akan mendengarkannya."Kau pikir aku akan mempercayai kalian untuk menangani putriku? Tidak! Rumah adalah tempat paling aman baginya. Menyingkir sekarang!" sergah Markus, setengah mendorong dokter itu dan menarik Karina pergi dari sana.Karina tampak lemah dan kesakitan, tetapi gadis itu tidak menolak. Hanya menurut dan mengikuti langkah Markus dengan terseok-seok.Adimas tidak tahu apa yang membuat Markus begitu membenci rumah sakit dan segala dokter di sini. Namun, kini pertanyaan dokter itu menjadi lebih beralasan. Markus jelas tidak ingin Karina mendapat penanganan dari orang yang berpengalaman."Berhenti," ujar Adimas. Suaranya terdengar berbeda, jauh lebih tegas dan berwibawa."Apa lagi?" jawab Markus tidak sabar.Jika Adimas berniat memaksa Karina untuk tetap berada di sini, Markus akan tetap membawa Karina pulang. Namun, tidak.Adimas menghampiri keduanya dan mengambil alih tangan Karina dari cengkeraman pria itu. Pergelangan tangannya terlihat memerah."Biar saya yang bawa Karina. Anda akan menyakitinya jika seperti ini," ujar Adimas dengan suara berat. Rahangnya tampak mengeras menahan amarah. Dia ingin membela Karina sekarang juga, tetapi itu akan membuat keributan di rumah sakit."Terserah padamu saja!!" sergah Markus, kemudian mengempaskan Karina dan berjalan pergi dengan kesal.Karina terlihat lemah dan pucat. Ketika Adimas menyentuhnya, suhu tubuh gadis itu masih terasa panas dan perlahan Adimas kembali menggendongnya."Ini pasti berat bagimu. Tahan sedikit lagi, Karina. Aku pasti akan menyembuhkanmu," gumamnya, kemudian mulai membawa Karina pergi dari sana.Dokter itu hanya menggelengkan kepala. Tidak habis pikir bagaimana mungkin ada orang tua yang rela bertindak demikian kepada anaknya.Di sisi lain, Benny juga masih berada di sana dan ia menyaksikan semua perlakuan Markus kepada Adimas. Kini, pria itu terlihat kesal.Dengan cepat, ia meraih ponselnya."Halo? Ya, tolong cari tahu informasi mengenai Markus Covey. Kekayaan, bisnis, usaha, keluarga, dan lainnya. Bawakan semua informasi itu padaku!" titahnya.***Begitu tiba di rumah, Adimas perlahan membaringkan Karina di atas tempat tidur. Tangan gadis itu masih gemetaran karena panas dan terdapat luka di pergelangan tangannya karena bekas jarum infus.Beruntung, sebelum Markus datang, ia sudah mendapat beberapa resep obat dari seorang suster.Dia berjalan keluar dan berniat mengambil air minum. Baru tiba di depan kamar, sudah ada Markus yang berdiri di sana."Dasar pria berengsek! Sudah miskin, tak tahu malu! Kau pikir siapa kau di sini? Kau hanya suami yang bekerja sebagai pengasuh! Jangan melampaui batas dan melawanku!" dampratnya. Jari telunjuknya teracung untuk menunjuk-nunjuk ke arah Adimas.Pemuda itu tidak menjawab. Dia hanya terdiam, tetapi rahangnya terlihat mengeras menahan kesal."Mulai besok, kau tidak hanya menjaga Karina, tapi kau juga akan mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ini adalah peringatan pertamaku! Jika kau berani melawan lagi, aku mungkin akan memberimu hukuman yang berat," ancam Markus pada Adimas.Pria itu langsung melenggang pergi setelah mengatakannya dan Adimas hanya mengembuskan napas panjang untuk mengatur emosi, kemudian melanjutkan niatnya untuk mengambilkan air."Ini, Karina, kau harus minum obat terlebih dahulu agar lebih sehat," ujar Adimas lembut kepada Karina yang tengah terjaga dengan tubuh gemetaran.Beruntung, kali ini Karina langsung menurut dan Adimas membantu meminumkan obat tersebut."Aku akan menjagamu di sini semalaman. Kau harus beristirahat nyenyak agar cepat sembuh," tutur Adimas seraya menarik selimut untuk menghangatkan tubuh Karina.Perlahan, gemetar gadis itu berkurang dan Karina mulai memejamkan matanya.Adimas duduk di pinggir ranjang, setengah meratapi nasibnya yang kini berakhir seperti sekarang. Tiba-tiba ponselnya kembali berdering.Tidak ada nama pada penelepon, tetapi Adimas hafal itu adalah nomor Benny."Halo--""Sepuluh persen saham di Golden Company, Hotel Karisma, Gedung Pallace, dan beberapa rumah di daerah Beverly." Benny menyebutkannya begitu saja."Apa maksudmu?" Adimas bertanya."Itu adalah aset keluarga Covey. Mana yang ingin diambil alih oleh, Tuan Muda? Anggap saja, ini sebagai bentuk balas dendam Tuan Muda. Saya melihat semuanya dan merasa sakit hati melihat Tuan diperlakukan seperti itu. Sekarang, katakan yang mana, dan aku akan mengurus sisanya untuk Tuan Muda," tutur Benny.Adimas langsung mengerti arti perkataan pria itu. Benny memang telah bekerja puluhan tahun pada sang ayah dan dia sudah hafal betul apa yang harus dilakukan dalam kondisi seperti ini.Namun, Adimas menggelengkan kepala."Tidak," katanya, "Aku akan membalas dendam, tetapi bukan sekarang. Masih belum waktunya. Aku akan membalaskan dendam pada waktu yang tepat," jawab pria itu.Sesaat, iris hitamnya berkilat ambisius dan raut wajah Adimas menjadi serius.Mendengar itu, Benny langsung mengerti."Baik, Tuan Muda. Tuan bisa meminta bantuanku kapan pun," ujarnya, tampak selalu sigap seperti biasa. "Saya akan membantu tuan membalaskan dendam pada orang-orang yang bertindak semena-mena kepada tuan." ***Setelah memberikan hukuman kepada Adimas, Markus langsung bergegas pergi menuju pos satpam di depan kediaman mereka.Satpam itu telah menunggu dengan kepala tertunduk."Bagaimana bisa kau kelepasan mereka?" tanya Markus tanpa basa-basi."Aku berjaga di sini sepanjang malam, Tuan, tanpa tidur semenit pun, dan aku tidak melihat dia keluar," jawab pria itu dengan patuh.Markus mengepalkan tangannya dengan kesal. "Itu artinya dia menggunakan pintu belakang," simpulnya.Namun, bagaimana bisa dia pergi sambil menggendong Karina? Bahkan, rumah sakit terdekat dari kediaman mereka membutuhkan waktu dua puluh menit dengan mobil."Tapi, aku memang melihat mobil mewah keluar dari area ini. Kukira, itu adalah Nona Bella," ujar satpam itu menjelaskan.Alis Markus seketika bertaut. Kemarahan menghilang dari wajahnya, digantikan oleh ekspresi heran."Mobil mewah?" tanyanya.Satpam itu mengangguk. "Ya, desainnya sangat mirip dengan jenis Buggati, Tuan," jawab satpam itu.Tidak ada mobil seperti itu di kediaman Covey dan satpam mengira itu adalah milik teman Bella, tetapi justru Adimas yang satu-satunya keluar dari kediaman itu."Itu pasti bukan Adimas! Dia hanya pria miskin, mana mungkin bisa mempunyai mobil semewah itu?" sergah Markus dengan tidak percaya."Tapi, kalau begitu, itu milik siapa?" Satpam itu kembali bertanya.Markus tidak dapat menjawabnya. Tidak mungkin itu milik Adimas, 'kan?Adimas tidak pernah menjadi seperti ini sebelumnya. Ini kali pertama pria itu terjaga semalaman untuk menjaga seseorang dan memang Adimas tidak pernah tenang. Setiap beberapa jam, pria itu terbangun dan mengecek suhu tubuh Karina, Mengganti kompres gadis itu. Dan selalu siap siaga tiap kali Karina terbangun. Bahkan, kali ini, saat Adimas terbangun di sisi Karina, pria itu mendapati Karina telah membuka mata dan menatap ke arahnya. "Kau sudah bangun," sapa Adimas, sedikit terkejut karena Karina memandangnya dengan serius. Khawatir pipinya akan menjadi sasaran sepagi ini. "Kau... bukan David," tutur gadis itu, terdengar serak dan lemah. Adimas berkedip dua kali dengan heran dan memandang lurus ke arah Karina. Mengapa tiba-tiba gadis itu menanyakannya? Apakah selama ini Karina menganggapnya sebagai David. Jika demikian, bisa-bisa gadis itu tidak akan menuruti Adimas lagi. Namun, Adimas mengambil risiko itu dan mengangguk. "Benar, aku bukan David," jawabnya dengan tegas. Di luar
Siska tidak berkutik di tempatnya. Iris hitamnya membesar melihat video yang terputar dan dia mematung. Hingga sedetik kemudian, Siska merebut ponsel itu dengan kasar dari Adimas. "Siapa bilang kau bisa menyentuh barang dengan sembarangan?!" omelnya dengan nada tinggi. Terdapat kegugupan dalam nada suaranya, seakan ia baru saja tertangkap basah melakukan hal yang salah. Adimas mengabaikan amarah itu dan terus mengejar. "Bagaimana bisa ada video itu? Apa yang dilakukan Karina?" tanyanya. Ia tidak dapat membendung rasa penasarannya lagi. Bagaimana mungkin, Karina bisa berada di klub malam dan dikelilingi pria seperti itu? "Kau membuka ponsel orang lain. Benar-benar pria lancang!" tuduh Siska dengan geram. Raut wajahnya kini terlihat marah dan berusaha melawan Adimas. Sementara itu, Adimas masih terlihat tenang, tetapi rahangnya mengeras dan membuat pria itu terlihat lebih tegas. "Jika kulihat, latar belakang ponsel itu adalah foto Karina. Berarti, itu milik Karina, bukan? Aku ber
Adimas tidak tahu kapan hukumannya akan berakhir. Pagi itu, Adimas baru saja selesai menikmati sarapan bersama Karina dan tengah mencuci semua piring kotor saat tiba-tiba Markus berjalan ke ruang tengah dengan tergesa. Tak lama, Bella dan Siska ikut berkumpul di sana. "Ada apa, Yah? Mengapa tiba-tiba Ayah memanggil kami?" tanya Bella. Raut wajah gadis itu kelihatan sembab dan sebal karena sang ayah mengganggu waktu tidurnya.Begitu pula Siska yang tampak sedikit kesal karena rutinitas perawatannya harus terhenti. Markus mengabaikan hal itu dan mengumumkan. "Ayah baru mendapat kabar dari Fero dan katanya dia akan kembali hari ini," ujarnya. Semua orang seketika terkesiap mendengarnya. Adimas tidak tahu siapa pria itu, tetapi dia jelas cukup berpengaruh hingga membuat semua orang terkejut. "Kakak akan kembali hari ini?" tanya Bella. Kedua matanya terbelalak tidak percaya. "Apakah dia sudah menyelesaikan studinya?!" Sang ibu ikut bertanya. "Jika dia kembali, tentu saja itu berarti
"Apakah kau benar-benar akan menjalani hidup malang seperti ini?" Pria itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. Adimas menelan saliva dengan terkejut. "A--ayah...." Adimas menoleh ke arah Benny dan seakan menuntut sebuah penjelasan dari pria itu. Namun, belum sempat Benny membuka suara, ayahnya sudah bersuara lagi. "Ayah sudah mendengar semuanya dari Benny. Apakah kau benar-benar akan menjalani hidup malang seperti ini? Kau bisa saja menyebut bahwa kau adalah anakku dan keluarga itu pasti akan memperlakukanmu dengan baik," ujar Dirga, salah satu orang paling sukses di keluarga Nelson. Nama Dirgantara Nelson telah terkenal di seluruh negeri. Pria itu adalah pria paling sukses di negaranya. Meski demikian, nama Adimas tidak lantas turut menjadi tenar. Adimas sengaja tidak pernah membawa nama sang ayah ke mana pun ia pergi. Begitu pula saat di keluarga Covey. Sekali ia membongkar identitasnya di depan keluarga itu, pastilah Markus dan Siska akan memanfaatkan nama keluarganya yang b
"Lama sekali, padahal hanya membeli sebotol anggur!" Fero mengomel saat Adimas datang dan memberikan pesanannya. Kini, pria itu tengah bersantai di tepi kolam renang dengan mantel mandinya. Adimas ingin sekali membalas perkataannya itu dengan menceburkannya ke kolam renang, tetapi pria itu hanya terdiam dan berjalan pergi tanpa mengatakan apa-apa. Dalam perjalanan, tanpa sengaja pria tampan berambut hitam itu berpapasan dengan Bella yang terlihat baru saja mandi. Gadis itu hanya mengenakan mantel mandi yang sedikit terbuka. Bella amat yakin Adimas akan terpesona dengan penampilannya. Namun, pria itu hanya terus melewatinya tanpa menoleh sedikit pun. Hingga perhatian Bella tertuju pada sebuah bingkisan yang dibawa Adimas. "Kulihat kau baru saja pergi keluar." Bella mulai bersuara untuk basa-basi. "Apa yang kau beli?" tanyanya. Ia berusaha melihat ke dalam bingkisan dan menemukan sebuah kain di dalamnya. Adimas berhenti berjalan dan menoleh ke arah gadis itu. Raut wajahnya tidak
“Apa yang kau lakukan?” Suara Markus terdengar dari belakang punggung Adimas. Pemuda itu tengah berdiri di dapur dengan sebuah piring di tangannya, siap untuk mengambil sarapan untuk Karina dan dirinya. “Aku akan mengambil sarapan untuk Karina,” jawab Adimas. “Kalian mengambil sarapan sebelum kami? Dasar menantu yang lancang!” sergah Markus. “Pelayan!” Seorang pelayan wanita datang menghampiri mereka dalam waktu singkat. “Ya, Tuan. Apa yang bisa saya bantu?” “Siapkan sarapan untuk kami! Bawa semua makanan yang sudah disiapkan!” titah Markus tanpa memedulikan Adimas yang berdiri di sana. “Kalau begitu, aku akan mengajak Karina kemari,” ujar Adimas. Pria itu meletakkan kembali piring di tangannya dan berniat pergi saat tahu-tahu Siska menghalanginya. “Tidak! Kau mau dia makan bersama kami? Bagaimana jika dia makan dengan berantakan? Itu akan mengganggu selera makan kami! Tidak, Karina tidak diizinkan makan di meja makan bersama yang lain,” tutur Siska dengan tegas. Raut wajahny
Adimas tahu ia akan segera kembali terjebak dalam masalah. Tubuh Adimas dan Bella seakan mematung begitu melihat keberadaan Markus di sana dan menatap nyalang ke arah mereka. Adimas bisa melihat Bella yang menjadi panik dan gusar seketika. Posisi dan jarak di antara keduanya tidak diragukan lagi akan menimbulkan fitnah, terlebih dengan Bella yang busananya setengah terbuka. Markus langsung mengambil langkah maju dengan tegas. "Jelaskan padaku, apa yang terjadi di sini!" damprat pria itu. Dia memandang ke arah Adimas dan Bella bergantian. Menuntut penjelasan atas tindakan mereka. "Anda sudah salah paham--" "Diam!" Markus menyentak Adimas dengan suara bernada tinggi. Dia memandang ke arah Bella yang masih berdiri diam. "Mengapa kau tidak mengatakan apa-apa, Bella? Apa yang terjadi di sini? Mengapa busanamu seperti itu?" Markus menyerang anak gadisnya dengan pertanyaan bertubi-tubi. Bella menatap ke arah Adimas, kemudian mulai terisak. "Aku tidak tahu, Ayah. Aku hanya datang
Pagi-pagi, Adimas sudah mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Membersihkan rumah, mengepel, dan mencuci baju. Ia harus menyelesaikan semua itu sebelum siang. "Biar saya yang melakukannya, Tuan," ujar Bibi Heni kepada Adimas. Ia tidak tega melihat menantu di keluarga ini justru harus mengerjakan pekerjaan semacam ini. "Tidak perlu, Bi," jawab Adimas seraya menggeleng, "Jika ketahuan membantu, Markus akan semakin marah dan Karina mungkin menjadi sasarannya," tutur pria itu. Sorot Bibi Heni seketika melembut. Hatinya menghangat mendengar jawaban itu. "Saya tidak menyangka jika Nona Karina akan mendapatkan pria seperti Tuan. Jika orang lain yang merawatnya, keadaan pasti akan sangat berbeda," ujar Bibi Heni dengan tulus. Adimas ikut tersenyum mendengarnya, meski dalam hati ia juga merasa miris. Ia tidak tahu mengapa dirinya, yang notabene seorang pewaris konglomerat, justru menjadi pembantu di rumah mertuanya. Adimas selalu menunggu waktu yang tepat untuk pergi. Jika ia membawa Karin