Share

Tita si Inspek

Asolatu khoiruminanauw.... Aku terkesiap kaget mendengar suara adzan subuh. Ternyata mimpi lagi pas pertama jalan dengan Kenzo. 

Segera aku ambil handuk dan masuk kamar mandi. Aku kerja shif pagi kali ini. 

"Ta, buruan. Mau berjamaah, gak?" teriak ayah. 

"Sebentar,"

Terpaksa mandi bebek, demi ikut berjamaah dengan keluarga. Senangnya punya Ayah dan ibu yang baik. 

[Ta, aku jemput agak telat setengah tujuh gak pa apa kan?] chat wa dari Kenzo. 

[Iya, Ken]

[Yasudah, jangan lupa sarapan dulu]

[Kamu juga]

[Iya]

Kenzo Alfarizi, laki-laki yang dijodohkan denganku. Masih kupantau apa usaha dia selama ini, kuliah malah out. Uangnya banyak, sering transfer aku tapi tak pernah aku pakai. Aku takut itu uang tak halal, na'udzubillah. 

Kudengar suara klakson mobil di depan. Pasti Kenzo, dan benar saja. Fortuner barunya nongkrong depan rumahku. 

Setelah pamit sama ayah dan ibu, aku pun langsung meluncur ke tempat kerjaku. 

"Padahal tanpa kamu kerja, aku bisa memenuhi kebutuhanmu, Ta."

Tanpa menengok karena dia fokus nyetir dia bicara. 

"Terima kasih, aku bisa bekerja," jawabku tak lupa tersenyum. Aku lebih bangga memakai uang hasil keringatku sendiri. Meski uang gajianku lebih kecil dari uang yang tiap bulan dia transfer. Aku tak mau jadi benalu buat dia ataupun keluarga. 

"Ta, kapan kamu siap menikah?"

Oh my God, pertanyaannya membuatku tersedak. 

"Nanti ya, Ken. kita saling mengenal dulu. Aku takut kamu menyesal menikah denganku."

"Kenapa begitu, orang tuaku pasti tak salah pilih."

Memang, aku juga berpikir demikian. Tapi, makin kesini tingkahnya semakin aneh. Hampir tak pernah kudengar dia tidur, pasti saja rame dengan teman-temannya. 

"Iya si, Ken. Tapi yang jalani kan kita, jadi kita saling mengenal aja dulu."

"Berapa lama?"

"Satu tahun, maybe."

"Oke, Ta."

Suasana pabrik sudah mulai rame, aku segera ke tempat fingerprint lalu masuk ruangan. 

"Pagi, Tita," sapa Rio anak teknisi. 

"Pagi,"

"Cerah amat tuh muka,"

Aku melirik ke arahnya, "Gaje, lu"

"Cantik-cantik judes." Cibirnya padaku.

Posisiku lumayan aman di pabrik, seorang inspek di departemen linking. eitss, tunggu. Aku begitu gampang masuk pabrik ini dengan jabatan yang lumayan. Kenzo yang rekomendasikan, wih, sepenting itu seorang Kenzo di mata HRD. Siapa sebenarnya seorang Kenzo? 

"Oiy, jangan ngelamun"

Aku dikagetkan Rio, lagi. Tuh anak ngintilin aku terus. Andai Kenzo tahu bisa bermasalah dia. 

"Sono kerja!"

Sedikit kutinggikan nada bicaraku. Aku kurang suka terus dikuntit Rio. 

jarum jam masih setia berputar, tak terasa waktu merangkak begitu cepat. Hari sudah setengahnya berlalu. 

30 menit lagi bel istirahat bunyi. Aku masih asik keliling mengontrol hasil kerja operator di ruanganku. 

"Tita, sudah ada hasilkah untuk idepe 76?" tanya Mr Lee menghampiriku. 

"Sudah mister, saya sudah kirim ke bagian sample," jawabku. 

"God Job," pujinya mengacungkan ibu jari ke arahku. Untung saja aku gerak cepat membuat hasil linking ke bagian sampel. 

Kalau tidak, bakal ngamuk mister Lee. 

Kulihat Rio mengerling nakal ke arahku, astaga dia keterlaluan. Kuacuhkan saja dia. Akhirnya bel istirahat berbunyi juga, aku segera rapiin semua. 

[Ta, sudah rehat? ]

[Ni mau keluar ruangan]

[Aku di depan pabrik, ni. keluar gih] Tumben amat Kenzo. Ada apa ya? 

Aku segera keluar untuk menemui Kenzo. 

Dia melambaikan tangan di dalam mobilnya, 

"Tumben, ada apa, Ken?"

"Kebetulan lewat, Ta, nih aku bawain makan."

Kenzo memberikan satu kotak nasi plus ayam goreng. 

"Makan di dalam saja, sini,"tawarnya membukakan pintu mobil. 

"Oke," 

Akupun segera masuk ke dalam mobil. 

"kamu dah makan?"

"Sudah, kamu makan lah"

Aku mengangguk iya. Mengingat aku dikejar waktu, segera kusantap makanan yang dihidangkan Kenzo. 

"Duhur berjamaah, yuk?" ajakku.

Kenzo planga plongo. "Eu, eu .... "

"Yasudah, aku duhur dulu."

"Iya, maaf gak bisa temenin,"

Aku tersenyum mengangguk, bukan minta ditemenin wahai Kenzo, aku mau kita solat berjamaah. Ah, mungkin malu pikirku. 

Aku memasuki tempat wudhu cewek, sebelum mulai solat di mushola pabrik. 

"Mau berjamaah denganku?"

tawar Rio menghadangku.

Bukankah pahala sholat berjamaah jauh lebih besar dari sholat sendiri. Tapi Rio? tak apa, yang kucari pahala bukan pujian. 

"Hayuk"

"Oke"

Akhirnya Rio mengimamiku sholat duhur. 

***

Bekerja delapan jam di pabrik tekstil ini membuatku sedikit ceria, di sana aku temui berbagai macam karakter orang. bisa kujadikan pengalaman cerita-cerita mereka. 

Pernah kutemui seorang ibu muda yang

bekerja karena dipaksa keadaan. Baru melahirkan, ditinggal suaminya. padahal seumuran denganku. Kasihan sekali nasibnya, meninggalkan bayinya demi bertahan hidup. Semoga tidak kualami dalam hidup. 

"Mba Tita, ukuran bahunya yang tepat berapa idepe lima sembilan?" tanya operator line 7 itu. 

"Enam inci, coba tensyennya pas in ke Rio"

"Baik, mba,"

Operator yang kuketahui bernama Rina itu mencari cari Rio. 

"Noh, di line lima," tunjukku. 

"Oh iya mba"

Jam-jam terakhir aku harus membuat laporan hasil dari setiap idepe yang dikerjakan lima line peganganku.

Sedikit mumet karena suka tertukar nama. 

"Panggil gue, Ta? "

Astaga Rio, malah nyamperin ke mejaku. Membuat konsentrasiku buyar saja. 

"Rina yang butuh elu, bukan gue."

"Oh"

Kembali berkutat dengan lembaran-lembaran kertas putih, yang harus aku tulis dengan teliti. 

"Mba, tensyennya gak bisa berubah. mentok di 5,5 inci"

Rina kembali mengahadapku. Astaghfirullah, ini pasti kerjaan Rio. Aku beranjak, mengikutinya sampai mesin 14 get. 

Kuputar-putar tensyen mesin naik turun, kuatur sesuai pola idepe tersebut. 

"Coba jahit," perintahku. Rina mencoba satu pcs bahu. Tak menunggu lama, dia kerjakan hanya dalam hitungan menit. Rio mendelik, aku tahu apa yang ada dipikirannya. Dia sedang bermain-main dengan Inspek cerdas Tita Shanum. 

Kuukur jahitan bahu Rina, dan ternyata masih kurang 1 inci. Rio tersenyum mengejek, aku tak menyerah. Kurebut kunci yang sedang dipegang Rio. Kupakai untuk mengunci tensyen mesin biar pas. 

"Coba lagi," kataku memberi perintah lagi pada Rina. Dia manut, aku membuka kembali jahitan bahu yang kurang pas tadi. 

Lima menit kemudian, aku mengukur kembali jahitan baru Rina. Dan, berhasil. Rio tepuk tangan sambil berucap "Hebat,"

"Jangan bercanda sama saya," tegasku.

"Sorry, Nona"

Aku meninggalkan tempat itu, pekerjaanku masih belum beres. Masih harus kutulis angka-angka di kertas itu. Juga pedoman pola yang kubuat harus sesuai sampel. Semoga hariku menyenangkan setelah ini. 

Kuambil kalkulator, menghitung total jumlah hasil dari tiap line. 

"Ta, laporannya tinggal dulu. Ikut saya!" Tiba-tiba mister Lee menyuruhku ikut dengannya. Detak jantungku tak beraturan, ada apa gerangan. Kami ternyata menuju ruangan sampel. 

"Ini hasil kamu?" tanya mister Lee

"Iya,"

"Kasih lihat sama pengawas, Lisa, hasil dia lebih buruk dari punyamu. Bagaimana dia kerjakan pola hah?" 

Aku mengambil sampel yang kubuat itu, dan menghampiri pengawas line tiga, Lisa. 

"Kamu buat sampel pake pola yang mana?" tanyaku. 

"Yang dikasih mba lah," jawabnya sedikit bernada tinggi. 

"Mana ada hah, hasil lingking mu jauh beda sama punya Tita." Mr Lee menyerahkan hasil lingkingku ke hadapan Lisa, juga hasil Lisa. Tapi sayang, bel pulang berbunyi. Aku menghela nafas. Setidaknya aku bisa istirahat dari ruwetnya hari ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status