Bab7[Ta, dah nyampe?] chat dari Rio, ku sembunyikan ponselku dari Kenzo. MasyaAllah, aku berasa sedang selingkuh. Mengapa mesti aku terjebak pada permainan dan sandiwara ini. [Lagi sama Kenzo,]balasku kilat. sambil larak lirik ke arah Kenzo. "Chat siapa?""Temen,"Aku mengambil hidangan yang orang tua Kenzo suguhkan, umi pinter masak. Aku suka masakan umi. "Ta, gak mau lanjut kuliah?" tanya Ummi. "Nanti, ummi." Aku mengambil air putih di depanku. Suasana di rumah Kenzo membuatku nyaman sekali, perlakuan orang tuanya sangat menjadikan aku seolah anak emas. Kenzo pun sangat manis kepadaku, meski kutahu sebenarnya dia bagaimana. Lebih buas dari harimau, naudzubillah. "Kamu kalo mau kuliah ya sok aja, Ta," kata Kenzo menimpali obrolan. "Iya, Ken, nanti."Aku beranjak, hendak membereskan piring di atas meja makan. "Kamu mo ngapain?" tanya Kenzo. "Cuci piring lah,""Issh, diem. Ada si bibi." Kenzo menarikku agar duduk lagi. "Iya, Ta, biar si bibi saja." Ummi beranjak pamit ke ka
Hampir dua jam, Rio belum juga pulang. Dia baik-baik saja tidak ya. Kasian Rio, dia sebenarnya baik. Cuma entahlah ada apa dengan dia. Sepertinya dia putus asa. Aku masih asik membuka foto Rio, sampai mataku terkantuk kantuk. Kurasakan pipiku dibelai lembut, dan hangat. "Ta, capek ya." Ops, ternyata Rio yang datang. "Maaf, aku ketiduran." Aku gelagapan. "Gak apa apa, Ta,"Aku cepat bangun, tapi karena buru-buru kakiku tersangkut. Awww, tubuhku oleng tapi ditangkap Rio dengan cekatan. Mata kita beradu pandang. "Tiati, Ta," ujarnya. "Iya, maaf,"Aku menemani Rio di meja makan, melihat dia mengambil makanan dengan sangat bernafsu. Mungkin dia sangat lapar. "Kenapa liatin gue?""Kamu lapar, ya?" aku malah balik tanya. "Kamu juga makan, buruan.""Nanti saja, Yo,""Yaudah, gue gak jadi makan,""Hilih, iya-iya gue makan juga."Akhirnya aku ikut makan dengan Rio. Senang sekali lihat dia semangat lagi, bergairah lagi. "Belajar dari mana lu masak?""Mama,""Keren, enak semua masakan, L
Bab 8Masih saja aku kepikiran soal tulisan Rio di foto itu, bagaimana jika Kenzo mengetahuinya. Bisa jadi Rio mati di tangan Kenzo. Tidak, harus aku rahasiakan semuanya. Apalagi sekarang Kenzo mulai curiga denganku, dan seperti yang Rio bilang anak buah Kenzo banyak. Aku yakin gerak-gerikku diawasinya. Aku harus pandai mengambil hati dia. Jangan sampai aku sendiri yang terjebak pada permainan ini. Bagaimana jika seandainya Rio nekat merebutku dari Kenzo, astaghfirullah, ngomong apa aku. Jangan terlalu gede rasa Tita. Barangkali Rio hanya mengagumi bukan menyukai atau mencintai. "Ta, ada nak Kenzo di depan." Mama memberi tahu aku kalau ada Kenzo di depan. "Terima kasih, Ma, nanti aku keluar," seruku tersenyum menjawab Mama. "Iya, sayang, pake jilbabmu, Nak,""Tentu, Ma,"Kuraih bergo yang kutata rapi di tempat khusus jilbab, sengaja aku pilih warna senada dengan bajuku. Agar enak dipandang kalau matching. Tanpa lama aku segera menemui Kenzo di teras depan. "Tumben gak bilang dulu
"Yo, bangun, kita ke rumah sakit sekarang." Kuguncang tubuh Rio yang kaku, astaga dia pingsan. Apa yang harus aku lakukan, ya Allah. Telpon ambulan, ya aku segera men dial nomor ambulan. Lima belas menit kemudian mobil ambulan pun datang, petugas segera membopong tubuh kekar Rio yang terkulai tanpa daya.Lindungi Rio, ya Allah. Sesampainya di rumah sakit, aku menunggu dokter memeriksa Rio. Kasian dia, mungkin matanya infeksi karena kurang telaten dia periksa ke dokter. Kulihatdari matanya merembes tetes darah, innalillahi. Rio pasti kesakitan, sampai dia mengaduh padaku. Lama dokter memeriksanya, kulihat jam di tangan menunjukan pukul 22.37. Orang rumah tak ada yang tahu aku pergi, pasti mereka kebingungan mencariku. Jangan sampai mereka cari tahu aku lewat Kenzo. [di mana kamu, nak?] ada pesan masuk di whatsapp ku. Papa. [di rumah sakit, tadi buru buru temen minta tolong mau lahiran] astaga, apa yang kutulis ini. Ampuni hamba ya Allah. [Ya sudah, kamu hati hati, jagain temenny
Lepas subuh aku ambil Al-quran untuk kubaca dengan do'a yang terhatur untuk seorang Rio. Semoga Allah memberinya kesembuhan. Kuambil secarik kertas lalu kutulis sebuah puisi, mumpung aku ada ide untuk menulis. Lupa aku berhutang pada Rio untuk membalas coretannya kemarin. Sampai terkantuk-kantuk aku menulis dan ... Sudah delapanbelas jam Rio tidak ada mengirim pesan, tak ada penjelasan apapun tentang siapa akun itu dan apa maksud puisi mereka. Sampai ini ternyata perasaan dia terhadapku.***RasaAku berkelana melewati rimba aksara, menembus lebatnya kataAku berenang dalam kubangan gelap dan terangnya pikiranMencari rasa yang sepat singgah pada manik jiwaTerbang mengikut angin berhembus sampai akhirnya leyap pada batas nyataLuka hanyalah setitik duka yang tersirat dalam kisah semestaAku pun pergi pada cinta, kuiklaskan diri dalam rengkuhnyaCumbuannya membangkitkan gelora hasrat jiwa, hadirkan selaksa bahagia**Jadi lagi satu puisi, coba up lagi di medsos. Siap dikritik, dari
Bab 10Astaghfirullah, mimpi yang sangat gila. Kenapa jauh panggang dari api, ah, mimpi hanya bunga tidur Tita. Aku lupa baca doa mungkin. "Kenapa, Nak?" tanya papa. "Gak, pa, cuma mimpi,""Cepat ambil wudhu, kita subuh berjamaah."Aku segera beranjak menuju kamar mandi, mengambil air wudhu. Sholat berjamaah dengan keluarga selalu kami lakukan setiap hari. Kebetulan rumah kami agak jauh dari mushola atau mesjid. ***"Abi ada nanyain gue, ya, Ta.""Ken,yang chat beneran abi?" aku malah balik tanya"Yaiyalah masa yaiya dong," jawabnya dengan bercanda."Kenzo, serius!""Iya Non, lu mah serius bener dah. Pantesan dikit-dikit nangiis" kan Kenzo malah meledek"Terus yang barusan telpon gue, ibu tiri lu?" tanyaku lagi"Kang sensus beraksi," jawabnya sambil tertawa."Heh lu ngerjain gue?" "Ya kagaklah, Non. itu memang tulisan gue." Kenzo mencubit hidungku gemas."Lu cerita yang benerlah, Ken," kataku manja."No abi itu kadang gue yang pake" Kalimat itu yang dahsyat terdengar di telingaku
Rio menatapku tajam, kulihat netranya bercerita pilu. Aku diam tergugu, tangannya mengepal dan kuyakin hatinya bergejolak. "Ta, gue sakit liat lu sama, Kenzo," ujarnya lirih. "Jangan, Yo, kamu harus bahagia." Kupalingkan muka mencoba teta drp tenang. "Tak mungkin bahagia tanpa kamu, Ta." tangannya meraba tanganku, gegas aku melepaskannya. "Tita," lirihnya lagi. "Stop." Aku beranjak. Aku takut Rio akan semakin terluka karenaku. Dia baik, tapi hanya ada perjanjian di antara kita. Meski hatiku berkata ada debar yang tak biasa saat bersamanya. Ah, tidak. Ada Kenzo yang mengisi ruang hatiku. Kuambil sapu, mulai dari ruang tamu yang sudah seperti anak-anak yang meninggalkan mainannya. Sangat berantakan sekali. Kurapikan meja dan kursi, kutata seindah pandangan mata. "Heh, Lu, mau kemana?" tanya Rio sedikit berteriak, astaga lupa, aku mesti kerja. aku putar balik, kupastikan aku patuh pada perjanjian kemarin. "Napa si lu, dah bosen ngurusin gue?""Gak ih, bawel.""Mau lu si Kenzo ma
Sebelum berangkat melihat pertarungan Rio, aku pulang untuk minta izin papa. Kenzo yang meminta izin, dia lelaki yang sangat bertanggungjawab terhadapku dan keluarga. Lepas solat magrib berjamaah, aku mengganti pakaianku. Jamsuit warna biru dipadukan dengan cardigan warna cream, serasi dengan jilbab segi empat warna senada jamsuit. Aku dan Kenzo berpamitan, kami bilang mau nonton. Orang tuaku hanya berpesan untuk tetap jaga diri, dan jangan pulang terlalu larut. Kami gantian menyalami mereka. Kenzo memacu mobil sedikit gila, tak mau melewatkan tontonan yang menurutnya akan fenomenal di masa ini. Seorang kuda juga pemakai narkoba akan tarung dengan seorang bandar juga preman di pasar ciborty. Aku hanya diam di sampingnya sambil berdzikir untuk keselamatan kami juga tak lupa terselip nama Rio dalam do'aku. "Kamu tak ikut taruhan, kan?""Kita cuma nonton, Tita, gue ogah buang duit buat cunguk seperti dia."Astaghfirullah, andai dia tahu kalau aku sedang dalam perjanjian bersama Rio.