Kufokuskan mendengar cerita mereka tentang seseorang yang dicongkel matanya, Kenzo bilang harus ada tumbal atau setor kepala pada pihak polisi lantas Rio mau melapor ke polisi atas tindakan Kenzo. Rumit sekali cerita mereka.
Haruskah aku yang mencari tahu sendiri tentang Rio? andai aku tahu rumahnya, sudah kudatangi dia.
"Permisi,""Eh, Neng Tita, masuk dulu tunggu sebentar ya ibu ambilkan baju kamu," kata bu Ratih.
"Maaf bu-ibu, tadi saya denger kalian ngomongin soal orang yang dicongkel matanya, siapa ya?"
"Oh itu, Neng, si Rio. Biar saja lah anak nakal kaya dia pasti kena tulah."
Ibu yang memakai kerudung krem itu yang menjawab tanyaku.
"Nakal gimana maksudnya, Bu?"
"Kan suka mabok, Neng, meresahkan pokoknya,"
Loh, Rio yang kukenal di tempat kerja sepertinya anak baik meski agak genit juga.
"Maaf, Rio, yang kerja di PT Lee kan?"
"Iya, Neng."
Benar ternyata, Rio yang sama. Kenapa bisa aku tidak tahu kalau dia pemabuk dan pemake. Eh sebentar, Rio paling jago melek. Dia lembur long shif aman saja apa mungkin efek narkoba seperti itu? dia doping buat kerja?
k"Si Neng kenal?"
"Iya, Bu, teman kerja,"
"Oh, kebetulan dia tetangga saya."
"Benarkah? boleh saya tahu alamatnya?"
"Boleh, di jalan Patimura no 37, Neng. Dia tinggal sendiri."
"Terima kasih, Bu"
Setelah kuambil bajuku, aku mencoba mengingat alamat yang diberikan ibu tadi. Besok, pulang kerja aku akan samperin Rio ke rumahnya. Hari ini aku terlalu lemah untuk mendengar cerita itu. Ada rasa yang entah apa berebut saling mengalahkan. Aku mulai ragu untuk melangkah, mulai goyah mempertahankan hubungan ini, tapi janjiku pada ayah enggan ku ingkari. Aku sayang ayah dan ibu, tapi masa depanku bagaimana jika harus hidup dengan bandar narkoba. [Ingat, jangan gegabah. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Rio bukan lawan yang kuat, saat ini saja dia sudah kalah.]Kenzo mengirimku pesan tersebut. Sekuat apa si kamu, Ken. Polisi itu bukan bapakmu, yang bisa menuruti perintahmu.
[Ken, polisi bisa menangkapmu]
[Diam!!! Kamu tidak tahu apa-apa, polisi itu sudah kukasih jatah satu kepala]
[Kamu nyogok polisi?]
[Tidak, hanya pelicin saja, tenanglah Tita. Urus saja semua urusanmu. Oke?]
[Tapi aku calon istrimu, Ken]
[Justru karena kamu adalah calon istriku, jadi tolong hentikan stalking tentang aku ato Rio. Nyawamu terancam jika melakukannya]
[Ah, Aku bingung]
[Istirahat, besok kujemput. Kalau masih ingin bekerja di sana turuti kata-kataku.]
[Iya, Ken]
Kenapa harus dengan ancaman, bagaimana caranya besok aku mencari Rio. Perlahan, mataku mulai terpejam lalu terbuka lagi dan terpejam lagi. Aku mencoba melawan kantuk, tapi tak berhasil. Rasa kantuk ini semakin menjadi saat aku baca alquran, ya Allah betapa dangkal imanku. Tolong lindungi aku dari salah jalan, tuntun aku jika pelita menuju jalanMu meredup bahkan padam. "Belum tidur, Nak?"Pintu kamar dibuka ayah.
"Kenapa, Yah?"
"Gak, Ayah cuma ngecek anak gadis ayah. Gimana kerjaku hari ini?"
"Biasa, Yah, lancar."
"Alhamdulillah, Kenzo gimana?"
Inikah waktu yang tepat untuk kuungkap semua? bagaimana perasaan ayah jika tahu semuanya.
"Kenzo baik, oiya ada salam dari umi sama abi,"
"Waalaikumsalam, mereka sehat, bukan?"
"Sehat, Ayah."
"Kalo kamu butuh teman bicara, kamu boleh cerita sama ayah ya, Nak."
"Baik, Ayah. Tita ngantuk, boleh Tita istirahat?"
"Tentu, Sayang. Jangan lupa berdo'a ya," ujar ayah sambil mengecup keningku manja.
"Dah Ayah."
Masih tak kuasa aku beritahu ayah perihal Kenzo. Kasian beliau, pasti nanti kepikiran. Biar kuatasi sendiri saja.***
Dimana rumah Rio? no 37. Upps, inikah? Aku berhenti di rumah sederhana dengan dinding yang banyak mengelupas.Pelan kuketuk pintu yang terlihat sudah tua itu.
"Siapa?" kudengar suara Rio berteriak dari dalam.
"Ini aku, Tita," jawabku.
Tak lama Rio membukakan pintu.
Kulihat mata Rio diperban sebelah kanan, dia kaget melihatku ada di hadapannya saat ini.
"Ta, ngapain ke sini?"
"Nengok kamu lah,"
Aku diajaknya masuk ke dalam rumah yang sederhana itu.
keder aku memulai pembicaraan dengan Rio, meski dia terlihat membuka diri. Aku takut salah bicara. Fatal akibatnya jika dia tahu aku calon istri musuhnya.
"Kamu kenapa, sampe matamu terluka?"
"Biasa, gak papa ko,"
"Ada masalah?"
"Apasi lu, gosah sotoy deh."
"Gue kehilangan elu peak, gak ada yang gangguin gue di tempat kerja,"
Rio tertawa mendengarnya,
"Elu kangen gue, kan?" tanyanya masih dengan diiringi tawa.
"Jangan ngaco, siapa yang ngangenin pemake kek ka--,"
Upps, kan. Aku keceplosan.
"Lu siapa? jangan sok tau deh,"
Aku coba mengimbanginya dengan ketawa agar terlihat seperti lelucon semata.
"Dih, marah, bener tah lu pemake"
"Sembarangan lu, cowok setampan gue masa iya pemake."
Kuiyakan saja apa katanya, kami tertawa bersama. Bersyukur Rio tak curiga padaku.
Karena kami bercanda terus, aku tak kuasa menahan ingin buang air kecil.
"Gue ikut ke kamar mandi, ya,"
"Sono, tar lu ngompol di mari lagi."
Lega rasanya mengeluarkannya."Siapanya elu?" tanya Rio melihatkan kontak Kenzo, dia seperti marah besar. Lidahku kelu, apa yang harus aku katakan pada Rio.
"Jawab!" bentak Rio benar-benar marah.
"Aku gak kenal," jawabku asal.
"Baiklah, gue bakal telpon polisi sekarang juga."
"Jangan, Rio,"
"Kenapa, siapa Kenzo buat lu?"
"Di--dia, calon suamiku,"
Kulihat tangannya mengepal menahan emosi, mendengar jawaban yang kuberikan padanya.
"Brengsek!" umpatnya.
"Lu, disuruh Kenzo mata-matai gue?" tambahnya. Aku menggeleng.
"Kenzo gak tau gue ke sini,"
"Bullshit!"
Rio menarikku kasar, "Lu lihat apa yang sudah cowok lu lakuin ke gue, Tita?"
"Gue gak tahu, Yo, maaf," jawabku.
"Taek lu, gue bakal balas perbuatan Kenzo."
"Jangan!" aku memelas meminta Rio menghentikan semuanya. jika saling balas tak akan berhenti sampai kiamat sekalipun.
"Baik, gue bakal maafin Kenzo, dengan satu syarat,"
"apa?"
"Lu mesti urus gue selama satu bulan di sini,"
"Maksud, Lu?"
"Lu urusin gue di sini, pagi ke sini pulang sore,"
Perjanjian macam apa ini? bagaimana kalau Kenzo tahu. Akan sangat fatal akibatnya. Ya Allah kenapa harus terjebak pada situasi macam ini. Haruskah aku patuh pada Rio, untuk keselamatan Kenzo. Sedang Kenzo sudah wanti-wanti untuk tidak stalking Rio. Apa ini sebuah kesalahan yang aku perbuat, apa jadinya jika Kenzo tahu perjanjian gila ini.
"Deal?"
"Aku gak tau, Yo,"
"Baik, gue telpon polisi sekarang."
"Jangan, iya iya gue turutin elu."
"Bagus"
"Persiapkan diri lu mulai besok, Tita Shanum yang cantik,"
Bergetar bibirku, sakit menerima semuanya.
Menerima kenyataan nasib di depan mataku. Haruskah aku ratapi? Menyerah? atau justru berontak melawan mencari kebahagiaanku sendiri. Sungguh, dunia memang panggung sandiwara tapi aku tak menginginkan sandiwara ini terjadi.
Bab 6Aku menyetujui perjanjian itu, aku lebih menyelamatkan Kenzo juga menyelamatkan harga diri keluarga. Aku risen dari pabrik dan disetujui Kenzo, dengan dalih aku ada pekerjaan lain. Kenzo dan keluarga percaya kepadaku. "Gak kerja pun kamu gak apa-apa, Ta," ujar Kenzo. "Simpan saja uangmu, Ken,""Uang yang aku kasih kurang gede?""Gak, Kenzo.""Lalu?""Simpan saja uangmu," jawabku tersenyum sambil ku sentuh pipinya. Sebenarnya ingin kukatakan aku tak mau uang haram, tapi dia pasti akan sangat marah. Pukul 8 pagi, aku berangkat ke rumah Rio. Aku mengendarai motorku, ya hasil kerja kemarin aku belikan motor. Lumayan, agar aku tidak terus menerus merepotkan Kenzo. Aku mengurus Rio, seperti layaknya asisten rumah tangga. Sampai rumahnya aku segera mengambil pekerjaan di dapurnya. Memasak apa yang ada di kulkas. "Ta, jangan terlalu pedas kalau masak." Teriak Rio. "Iya,""Preman gak suka pedes," omelku. Kusiapkan semua kebutuhan Rio, makannya, semua pokoknya. "Ta,""iya,""Kenap
Waw, keren. Dia jago mengolah kata-kata. "Hebat banget kamu,""Issh, gak juga ah.""kamu suka puisi?""Suka, kamu bisa bikin puisi kan? coba bikin buat aku, Ta.""Besok aku buatin ya,""Wokeh,"Rio memang pribadi yang menyenangkan, kenapa harus dia tercemplung di dunia hitam. "Ta, kriteria lelaki idaman lu kek apa?""Yang sekufu lah,""Lalu, kenapa mau dijodohkan? Kenzo bukan lelaki yang pantas buatmu.""Terus, kamu gituh yang pantas buatku?"Kami tertawa, Rio menjawil pipiku. kubalas dia dengan kucubit lengannya. Tiba-tiba terdengar pintu depan terketuk, kami terdiam saling pandang. Aku takut jika polisi yang datang. "Aman ko, Ta, paling tukang galon. Coba lihat sana"Aku beranjak keluar dari kamar Rio. Dia menguntit dari belakang. Dan benar saja, hanya tukang antar isi ulang galon. Berteman dekan mafia selalu deg-degan. Apalagi kalau jalan dengan Kenzo, dia jauh lebih senior dari Rio. "Takut ya, Ta?""Dikit,""Jangan takut, gue pasti lindungin elu,"Aku terkesiap, dia lindungi
Bab7[Ta, dah nyampe?] chat dari Rio, ku sembunyikan ponselku dari Kenzo. MasyaAllah, aku berasa sedang selingkuh. Mengapa mesti aku terjebak pada permainan dan sandiwara ini. [Lagi sama Kenzo,]balasku kilat. sambil larak lirik ke arah Kenzo. "Chat siapa?""Temen,"Aku mengambil hidangan yang orang tua Kenzo suguhkan, umi pinter masak. Aku suka masakan umi. "Ta, gak mau lanjut kuliah?" tanya Ummi. "Nanti, ummi." Aku mengambil air putih di depanku. Suasana di rumah Kenzo membuatku nyaman sekali, perlakuan orang tuanya sangat menjadikan aku seolah anak emas. Kenzo pun sangat manis kepadaku, meski kutahu sebenarnya dia bagaimana. Lebih buas dari harimau, naudzubillah. "Kamu kalo mau kuliah ya sok aja, Ta," kata Kenzo menimpali obrolan. "Iya, Ken, nanti."Aku beranjak, hendak membereskan piring di atas meja makan. "Kamu mo ngapain?" tanya Kenzo. "Cuci piring lah,""Issh, diem. Ada si bibi." Kenzo menarikku agar duduk lagi. "Iya, Ta, biar si bibi saja." Ummi beranjak pamit ke ka
Hampir dua jam, Rio belum juga pulang. Dia baik-baik saja tidak ya. Kasian Rio, dia sebenarnya baik. Cuma entahlah ada apa dengan dia. Sepertinya dia putus asa. Aku masih asik membuka foto Rio, sampai mataku terkantuk kantuk. Kurasakan pipiku dibelai lembut, dan hangat. "Ta, capek ya." Ops, ternyata Rio yang datang. "Maaf, aku ketiduran." Aku gelagapan. "Gak apa apa, Ta,"Aku cepat bangun, tapi karena buru-buru kakiku tersangkut. Awww, tubuhku oleng tapi ditangkap Rio dengan cekatan. Mata kita beradu pandang. "Tiati, Ta," ujarnya. "Iya, maaf,"Aku menemani Rio di meja makan, melihat dia mengambil makanan dengan sangat bernafsu. Mungkin dia sangat lapar. "Kenapa liatin gue?""Kamu lapar, ya?" aku malah balik tanya. "Kamu juga makan, buruan.""Nanti saja, Yo,""Yaudah, gue gak jadi makan,""Hilih, iya-iya gue makan juga."Akhirnya aku ikut makan dengan Rio. Senang sekali lihat dia semangat lagi, bergairah lagi. "Belajar dari mana lu masak?""Mama,""Keren, enak semua masakan, L
Bab 8Masih saja aku kepikiran soal tulisan Rio di foto itu, bagaimana jika Kenzo mengetahuinya. Bisa jadi Rio mati di tangan Kenzo. Tidak, harus aku rahasiakan semuanya. Apalagi sekarang Kenzo mulai curiga denganku, dan seperti yang Rio bilang anak buah Kenzo banyak. Aku yakin gerak-gerikku diawasinya. Aku harus pandai mengambil hati dia. Jangan sampai aku sendiri yang terjebak pada permainan ini. Bagaimana jika seandainya Rio nekat merebutku dari Kenzo, astaghfirullah, ngomong apa aku. Jangan terlalu gede rasa Tita. Barangkali Rio hanya mengagumi bukan menyukai atau mencintai. "Ta, ada nak Kenzo di depan." Mama memberi tahu aku kalau ada Kenzo di depan. "Terima kasih, Ma, nanti aku keluar," seruku tersenyum menjawab Mama. "Iya, sayang, pake jilbabmu, Nak,""Tentu, Ma,"Kuraih bergo yang kutata rapi di tempat khusus jilbab, sengaja aku pilih warna senada dengan bajuku. Agar enak dipandang kalau matching. Tanpa lama aku segera menemui Kenzo di teras depan. "Tumben gak bilang dulu
"Yo, bangun, kita ke rumah sakit sekarang." Kuguncang tubuh Rio yang kaku, astaga dia pingsan. Apa yang harus aku lakukan, ya Allah. Telpon ambulan, ya aku segera men dial nomor ambulan. Lima belas menit kemudian mobil ambulan pun datang, petugas segera membopong tubuh kekar Rio yang terkulai tanpa daya.Lindungi Rio, ya Allah. Sesampainya di rumah sakit, aku menunggu dokter memeriksa Rio. Kasian dia, mungkin matanya infeksi karena kurang telaten dia periksa ke dokter. Kulihatdari matanya merembes tetes darah, innalillahi. Rio pasti kesakitan, sampai dia mengaduh padaku. Lama dokter memeriksanya, kulihat jam di tangan menunjukan pukul 22.37. Orang rumah tak ada yang tahu aku pergi, pasti mereka kebingungan mencariku. Jangan sampai mereka cari tahu aku lewat Kenzo. [di mana kamu, nak?] ada pesan masuk di whatsapp ku. Papa. [di rumah sakit, tadi buru buru temen minta tolong mau lahiran] astaga, apa yang kutulis ini. Ampuni hamba ya Allah. [Ya sudah, kamu hati hati, jagain temenny
Lepas subuh aku ambil Al-quran untuk kubaca dengan do'a yang terhatur untuk seorang Rio. Semoga Allah memberinya kesembuhan. Kuambil secarik kertas lalu kutulis sebuah puisi, mumpung aku ada ide untuk menulis. Lupa aku berhutang pada Rio untuk membalas coretannya kemarin. Sampai terkantuk-kantuk aku menulis dan ... Sudah delapanbelas jam Rio tidak ada mengirim pesan, tak ada penjelasan apapun tentang siapa akun itu dan apa maksud puisi mereka. Sampai ini ternyata perasaan dia terhadapku.***RasaAku berkelana melewati rimba aksara, menembus lebatnya kataAku berenang dalam kubangan gelap dan terangnya pikiranMencari rasa yang sepat singgah pada manik jiwaTerbang mengikut angin berhembus sampai akhirnya leyap pada batas nyataLuka hanyalah setitik duka yang tersirat dalam kisah semestaAku pun pergi pada cinta, kuiklaskan diri dalam rengkuhnyaCumbuannya membangkitkan gelora hasrat jiwa, hadirkan selaksa bahagia**Jadi lagi satu puisi, coba up lagi di medsos. Siap dikritik, dari
Bab 10Astaghfirullah, mimpi yang sangat gila. Kenapa jauh panggang dari api, ah, mimpi hanya bunga tidur Tita. Aku lupa baca doa mungkin. "Kenapa, Nak?" tanya papa. "Gak, pa, cuma mimpi,""Cepat ambil wudhu, kita subuh berjamaah."Aku segera beranjak menuju kamar mandi, mengambil air wudhu. Sholat berjamaah dengan keluarga selalu kami lakukan setiap hari. Kebetulan rumah kami agak jauh dari mushola atau mesjid. ***"Abi ada nanyain gue, ya, Ta.""Ken,yang chat beneran abi?" aku malah balik tanya"Yaiyalah masa yaiya dong," jawabnya dengan bercanda."Kenzo, serius!""Iya Non, lu mah serius bener dah. Pantesan dikit-dikit nangiis" kan Kenzo malah meledek"Terus yang barusan telpon gue, ibu tiri lu?" tanyaku lagi"Kang sensus beraksi," jawabnya sambil tertawa."Heh lu ngerjain gue?" "Ya kagaklah, Non. itu memang tulisan gue." Kenzo mencubit hidungku gemas."Lu cerita yang benerlah, Ken," kataku manja."No abi itu kadang gue yang pake" Kalimat itu yang dahsyat terdengar di telingaku