Share

Pingsan

Seorang perempuan dengan tinggi 167cm tampak tidur nyenyak di atas sofa. Rambut cokelat gelap miliknya tampak berantakan. Tadinya dia berniat untuk menunggu sang suami yang sudah dua hari belum kembali. Namun, malah ketiduran di ruang keluarga.

Suara pintu yang dibuka tak mampu membuatnya terbangun. Karena seharian tadi, ibu mertuanya memaksa untuk ditemani ke supermarket. Wanita itu baru kembali setelah Jenia memasak makanan yang dibawa pulang tanpa disisakan sama sekali.

Tubuh sempoyongan Thomas berhenti di depan sofa. "Lihatlah, Keledai ini! Seharian di rumah kerjanya hanya bermalas-malasan."

Melihat bawahan piyama pendek yang dikenakan Jenia agak tersingkap, seringai nakal muncul di kepala Thomas. Tanpa aba-aba, dilemparnya tas kerja ke lantai. Lalu ditindihnya tubuh Jenia. Tentu saja istrinya terkejut.

"Thomas, kau sudah pulang?" tanya Jenia dengan suara serak. Khas bangun tidur.

Thomas tak menjawab, malah sibuk mencari kepuasannya sendiri. Jenia meringis. "Ah. Sakit. Bi-bisakah lebih lembut?"

Akan tetapi, telinga Thomas seperti sedang tuli. Laki-laki itu terus saja bergerak, melenguh, menceracau lalu meledakkan hasratnya. Padahal Jenia belum merasakan sensasi yang sama.

Thomas menarik diri. "Walau kau bekas, tetapi masih bisa dipakai sesekali. Daripada aku harus mengeluarkan uang untuk menyewa jasa wanita jalang di luar sana."

Laki-laki yang tengah berkeringat itu tidak memungut lengkap pakaiannya. Hanya mencari bokser untuk dikenakan. Tanpa peduli pada perasaan Jenia, Thomas pindah ke kamar lalu tidur lelap dengan suara dengkuran kerasnya.

Jenia masih enggan beranjak. Sakit di bagian bawah tubuhnya, tak sebanding dengan luka hatinya.

Jenia sadar sudah tak suci sejak awal. Namun, bukankah Thomas yang begitu getol mengejar? Berkali-kali Jenia menolak halus, Thomas tetap saja mengirimi hadiah. Bahkan rekan kerjanya di pengalengan ikan tuna pun, sampai merasa risi dengan sikap berlebihan lelaki bermata kelabu itu.

Jenia luluh karena Thomas merawatnya dengan sabar ketika terkena demam tinggi. Penuh perhatian Thomas siaga penuh, menunggui Jenia sepulangnya ia dari kantor. Laki-laki itu bahkan rela menginap di rumah sakit demi memastikan pujaan hatinya baik-baik saja.

Sejak malam itu, Jenia mulai menerima semua perhatian Thomas. Dia mencoba untuk membuka pintu hati untuk cinta yang baru. Dan Jenia sudah mengatakan kalau dirinya jauh dari kata sempurna.

"Aku tak peduli apa pun keadaannya, Jenia. Kau cintaku dan hanya denganmu saja lagu pernikahan menggema di telingaku."

Jenia masih ingat momen itu. Saat Thomas bertekuk lutut sembari mengulurkan cincin yang diletakkan dalam kotak beludru. Saat itu, hubungan mereka baru saja dijalani selama tiga bulan.

Keteguhan hati Thomas selama enam bulan pendekatan, ditambah lagi masa tiga bulan pacaran, bagi Jenia sudah cukup untuk membuktikan cinta itu kembali menyapa. Dia luluh.

Jenia memakai pakaian terbaik yang dihadiahkan Thomas untuk berkunjung ke kediaman keluarga Evra. Sayangnya, penolakan mentah-mentah yang diterima.

Kala itu, Thomas berdiri tegak membela dan berkata kalau ia begitu menginginkan pernikahan bersama Jenia. Lalu semua mimpi indah Jenia tentang konsep pernikahan yang sakral pun berganti menjadi mimpi buruk tak berkesudahan.

Jenia menghela napas panjang berkali-kali. Tubuhnya mulai terasa dingin. Pelan-pelan Jenia membenahi pakaiannya. Lalu beranjak untuk memunguti pakaian milik Thomas yang berceceran di lantai, berikut tas kerjanya pula.

Jenia membiarkan tubuhnya basah di bawah kucuran shower, tanpa melepaskan pakaiannya. Lalu tubuhnya luruh ke lantai.

"Kalau aku sekotor itu, kenapa tidak melepaskan sejak malam itu? Kenapa malah menjadikanku tahanan di rumah ini?"

Jenia ingat bagaimana sumpah serapah yang diterimanya setiap hari. Pernah di titik putus asanya, Jenia meminta untuk dilepaskan dari belenggu pernikahan yang menyakitkan itu. Namun, Thomas menolak.

Thomas beralasan belum puas membalas sakit hatinya atas kebohongan yang dilakukan Jenia. Sebanyak apa pun dia meminta maaf, segigih-gigihnya Jenia membuktikan pengabdiannya sebagai istri, Thomas tetap mendendam.

Tak berhenti sampai di titik itu, Thomas mengiyakan hinaan dari Mama Daisy, kalau Jenia tak lebih dari wanita pembawa sial yang mandul.

Jenia tak pernah dibawa bepergian. Tidak dibelikan pakaian yang layak. Semua yang dia miliki hanyalah dari masa gadisnya dahulu. Uang yang dijatah pun tak bisa digunakan untuk membeli kebutuhan pribadi.

Apa Jenia pernah mengutarakan rasa keberatannya? Tidak. Karena pukulan dan tamparan menjadi jawaban jika dia berani membangkang. Jenia tak punya pilihan.

Tubuhnya sudah menggigil hebat, barulah Jenia berhenti menyiksa diri. Setelah membalut tubuhnya dengan jubah mandi, Jenia berjalan pelan agar tak menimbulkan suara.

Dengkuran keras terdengar. Pertanda Thomas sudah sangat nyaman di dunia mimpi. Tanpa peduli kesakitan yang Jenia terima.

Dengan cepat, Jenia mengganti jubah mandinya menjadi piyama tidur bercelana panjang. Lalu memilih untuk kembali tidur di sofa.

Entah jam berapa sampai akhirnya Jenia berhasil memejamkan mata. Namun, keesokan paginya, teriakan keras Thomas membuatnya langsung lompat dari sofa itu.

Kepala Jenia berdenyut hebat. Tatapannya seperti berbayang. Namun, kewajiban untuk mengurusi bayi besar bernama Thomas tak bisa ditangguhkan.

Dalam keadaan tidak sehat, Jenia memaksakan diri menyiapkan segala sesuatu terkait kebutuhan Thomas. Tepat setelah Thomas pergi bekerja, Jenia pingsan di ruang tamu. Tergeletak begitu saja di lantai yang dingin.

Thomas yang tadinya sudah berada di mobil, mendengkus keras karena menyadari ada berkas yang tertinggal. "Aku pasti akan terlambat," gerutunya.

Thomas meletakkan tasnya begitu saja di mobil. Lalu kembali ke rumah. Ketika membuka pintu lalu berjalan masuk, Thomas mendapati Jenia berada di atas lantai.

"Astaga. Dasar pemalas! Bisa-bisanya dia malah tidur santai di lantai." Thomas melewati Jenia, bergegas menuju kamar untuk mengambil berkas pentingnya.

Ketika kembali ke tempat yang sama, muncul kecurigaan yang membuat Thomas terpaksa membungkuk. Digoyang-goyangkannya lengan kurus Jenia. "Bangun! Hei, Keledai!"

Thomas terkejut ketika merasakan suhu tubuh Jenia yang panas. "Dia pingsan? Karena demam tinggi ini? Menyusahkan saja!"

Thomas terpaksa menggendong tubuh kurus Jenia kembali ke kamar. "Aku tak mau kau mati sekarang. Kau belum cukup membayar semua kebohongan, Jenia!"

Thomas masih menaruh kecewa dan dendam yang begitu besarnya karena cintanya diperdaya Jenia. Bahkan sampai seburuk apa pun perlakuan dan perilakunya ke Jenia, sebenarnya cinta itu tak juga berkurang.

"Kau tak tahu betapa aku merasa bodoh dan menjadi pecundang di matamu. Aku seperti mendapatkan sisa dari bekas perbuatan orang lain." Thomas masih terus mengutarakan isi kepalanya.

Di awal pernikahan, masih ada sisi hatinya yang ikut tersakiti tiap kali melukai perasaan Jenia. Namun, lama-kelamaan semua menjadi biasa. Kemarahan, kelelahan juga tumpukan beban pikiran atas pekerjaan, disalurkan dengan menyiksa Jenia.

Sialnya lagi, Thomas tak bisa membuka hati untuk gadis lain. Ia takut akan kembali terluka seperti mencintai Jenia sebesar itu.

Thomas tak mungkin memanggil dokter ke rumah. Karena ada bekas lebam di punggung Jenia. Emosinya tersulut karena Jenia terlambat menyediakan makan malam.

'Kenapa mencintaimu sesakit ini, Jenia?' Thomas menatap kesal ke arah istrinya yang belum sadarkan diri.

Baru saja Thomas hendak beranjak mencari sesuatu yang bisa membuat Jenia siuman, ponselnya berdering.

"Ya, Mama." Thomas membelalakkan mata mendengar kabar mengerikan yang diterimanya itu. "Baik, aku ke sana sekarang juga."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status