Share

Diboyong Pulang

Melihat angkuhnya sosok berstatus Ibu mertua itu, Jenia berkali-kali meneguk ludah. Kesan tak ramah yang selama ini selalu muncul, sekarang semakin tampak saja.

Wanita paruh baya yang sudah dihinggapi dengan kerut-kerutan halus di wajah itu, hanya menatap masam. "Kenapa lama sekali?"

Thomas mendengkus keras. "Mama jangan menambah buruk moodku. Semua gara-gara siput tak berguna di belakangku."

Jenia menggigit bibirnya. Padahal sejak turun dari mobil tadi, Thomas hanya melenggang santai. Semua barang bawaan Jenia lah yang membawanya sampai ke hadapan sang mertua.

"Bawa masuk ke kamar putraku. Astaga, bisakah aku meletakkan kau di kamar pembantu saja?" Daisy tampak sangat kesal.

"Terserah Mama saja. Aku lapar." Thomas masuk begitu saja, mengabaikan Jenia yang masih direpotkan dengan koper-koper itu.

Tidak ada satu pun yang berniat untuk membantu Jenia. Lagipula Jenia sudah mengetahui di mana letak kamar Thomas, di lantai dua. Jadi semuanya seperti membiarkan saja kegiatan itu.

Jenia ngos-ngosan setelah dua kali naik turun tangga. Yang ketiga kalinya, Jenia bingung apakah tas kumal berisi barang pribadinya boleh diikutkan masuk ke kamar Thomas.

Jenia celingukan. Tidak ada siapa pun. Masih terngiang jelas kalau ibu mertuanya keberatan Jenia tidur di kamar Thomas.

Perut Jenia berbunyi keras. 'Lebih baik aku letakkan saja dulu di kamar. Kalau Mama keberatan, aku bisa pindah.'

Ragu, Jenia menapaki tangga lalu menuju di mana dapur berada. Dia butuh makanan untuk membungkam rasa lapar. Kakinya berhenti menapak ketika melihat Thomas dan keluarga bercengkrama riang di area meja makan.

"Mau apa?" tanya Daisy, sinis.

"Mmh, ak-aku ... lapar, Mama," jawab Jenia, canggung.

"Duduklah! Temani aku makan." Thomas tiba-tiba bersuara, lengkap dengan senyum manis yang sangat langka terjadi.

"Tom, apa-apaan?!" Daisy tampak tak terima.

"Mama, Jenia istriku. Dia punya tempat di meja makan kita." Thomas malah santai membantah Daisy.

Sebenarnya, Jenia merasa heran. Namun, lirikan mata Thomas membuatnya harus menurut. Baru saja Jenia meletakkan bokongnya di kursi, tepat di sebelah sang suami, Thomas malah memindahkan daging asap beserta spaghetti carbonara ke atas piring kosong untuk Jenia.

"Habiskan! Lalu bereskan semua pakaian milikku."

"Ba-baik." Jenia gugup. Tanpa berani melirik ke arah ibu mertuanya, Jenia makan dengan lahap.

Suara dengkusan yang terdengar mencemooh, diabaikan oleh Jenia. Yang penting, perutnya terisi penuh.

Tak terdengar suara apa pun lagi dari sepasang ibu dan anak itu. Mereka seperti menjadikan Jenia sebagai tontonan menarik. Lengkap dengan kalimat hinaan dalam batin masing-masing.

"Terima kasih, Thomas, Mama," ucap Jenia tulus, sambil membereskan semua peralatan makan bekas pakainya.

Tak lupa Jenia pun membawa serta peralatan milik Thomas. Tanpa menunggu jawaban, Jenia langsung mencuci sampai bersih.

"Pergilah ke kamar. Jangan keluar sebelum aku perintahkan!" Thomas melirik sepintas.

"Baik. Aku permisi."

Ketika langkah kaki Jenia baru saja melewati pintu, terdengar suara gerutuan keras dari mulut Daisy. "Apa-apaan kau ini! Enak sekali dia makan dengan lahap masakan Mama."

Entah kenapa, Jenia mendadak ingin menguping pembicaraan itu. Karena memang sangat langka Thomas berlaku baik kepadanya.

"Ayolah, Mama. Dia masih istriku. Sesekali boleh saja kita berbuat baik untuknya. Setelah ini, dia akan sangat sibuk. Membereskan rumah ini dan rumahku."

Jenia mengigit bibirnya kuat-kuat. Ternyata mereka memang sulit untuk bersikap baik, sekeras apa pun Jenia berusaha.

"Lagipula, Freya akan datang berkunjung." Thomas menimpali lagi.

Jenia memejamkan matanya. Satu orang lagi yang akan menjadi sosok menakutkan baginya. Ingin lari, tetapi Jenia tak punya uang dan tempat berlindung.

"Ah, ya. Freya pasti punya segudang cara untuk mengerjai gadis murahan itu." Daisy tertawa puas. "Bagaimana dengan mantan pacarmu? Kalian jadi bertemu?"

Berdesir darah Jenia. Rasa penasarannya muncul, apakah selama ini Thomas berselingkuh di belakangnya?

"Tidak. Aku tak ingin menjalin hubungan dengan pengkhianat. Dia tak ada bedanya dengan si Keledai! Murahan."

Jenia tak tahu harus bersyukur atau tidak karena Thomas bersikap dingin ke mantan yang dibanggakan mertuanya itu. Hanya saja, julukan keledai itu tetap saja terasa menyakitkan.

Jenia tak ingin berlama-lama lagi di sana. Hatinya sakit. Lebih baik dia memisahkan diri dan menikmati kesendirian di kamar.

Jenia memindahkan semua pakaian ke lemari yang masih cukup kosong itu. Di laci bagian bawah, ada satu kotak berwarna merah. Tadinya Jenia ingin tahu apa isinya, tetapi hatinya melarang.

Baru saja selesai merapikan semua barang bawaan milik Thomas, giliran Jenia merasa bingung. "Di mana isi tasku disusun?"

Jenia menghela napas panjang, demi menghindari pertikaian, disimpannya tas lusuh itu di sudut lemari. Tatapannya menyapu sekeliling. Nuansa abu gelap mendominasi, memberi kesan maskulin pada seisi kamar.

Seumur-umur, baru kali ini Jenia akan tinggal lama. Karena sejak menikah, Thomas sudah memutuskan untuk tinggal terpisah. Mengingat hubungan mereka berdua sangat ditentang keras oleh pihak keluarga.

"Sekarang, aku harus mengalah. Entah berapa lama bisa bertahan di sini." Jenia menghela napas berat. "Mungkin sampai akhirnya dia menyerah dan mengusirku."

Pernikahan yang Jenia sendiri tak tahu akan berujung seperti apa, masih akan tetap dijalani. Walau entah sampai kapan. Selama ini, hatinya sudah terlanjur mati. Caci maki dan hujatan ditelannya semua.

Thomas tidak pernah lagi bersikap manis. Terkadang, Jenia tertawa miris mengingat perjalanan hidupnya. Segala perundungan membuatnya merasa jauh dari kata layak untuk sekedar dicintai.

'Sebenarnya cinta itu apa? Sejak aku ditinggalkan dengan segudang janji palsu, setelah itu pula harapanku mati.' Jenia merasa tak berharga.

Jenia beranjak ke arah balkon kamar. Semilir angin menyambutnya. Jenia sampai memeluk dirinya sendiri agar sedikit lebih hangat. Karena dress selutut yang dikenakannya terbuat dari bahan yang sudah menipis dimakan waktu.

Rambutnya berkibar dimainkan oleh angin. Pipinya kemerahan walau cukup cekung dan bentuk wajah yang makin tirus. Pendar cahaya kecantikannya tampak memudar.

Binar matanya pun redup. Seakan-akan kalah pada suratan takdir yang sedang dijalani. Suara debuman pintu membuatnya menoleh.

"Sudah selesai semua yang aku perintahkan?"

"Sudah."

"Ayo, turun. Kau harus menemui Freya. Tanyakan kepadanya apa yang bisa kau kerjakan untuk membantunya di rumah ini."

Jenia menelan ludah. Dia benar-benar akan dijadikan pembantu di rumah mertuanya sendiri?

"Kenapa wajahmu malah berkerut seperti itu? Ck! Kau semakin jelek saja!" Thomas menggerutu. "Sudah aku katakan kalau tenagamu dibutuhkan di sini dan di rumah lama. Tidak ada yang gratis, Keledai!"

Jenia hanya diam. Melawan pun tak akan ada gunanya. Thomas tak akan segan memukul dan melontarkan kalimat kasar.

"Ayo, turun. Jangan pasang wajah masam! Jangan menambah malu di depan orang lain." Thomas berjalan mendahului.

Jenia yang mengekori langkah Thomas, mendadak tertegun di anak tangga lantai dasar. Matanya mengerjap berkali-kali.

'Ya Tuhan, apakah aku sudah mulai kembali berhalusinasi seperti dahulu? Aku harus memendam kembali ingatan menyedihkan ini.' Jenia menatap sedih pada satu titik objek pandangan yang mendadak membuatnya bungkam.

Sementara itu, wanita muda yang mengenakan dress selutut tanpa lengan balas menatap sinis. "Kakak, ada apa dengan istrimu?"

Thomas menoleh ke belakang, menatap gusar pada istrinya yang mendadak berubah menjadi patung batu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status