Share

Tak Bisa Tidur

Cuaca di kota Chesnut cukup baik pagi ini. Sayangnya, tubuh Jenia terasa remuk. Semalam, Thomas tega membiarkannya tidur di lantai yang dingin. Hanya berlapis selembar selimut tipis, milik Jenia sendiri.

Tak hanya itu, entah jam berapa akhirnya Jenia bisa memejamkan mata. Karena tak mudah baginya untuk membuang rasa yang bercampur aduk. Mengingat ada Jamael di lantai bawah.

Jenia benci melihat sikap sok tenang yang ditampilkan mantan kekasihnya itu. Jenia benci melihat bagaimana mesranya Freya menggelayut manja di lengan kokoh yang pernah menawarkan kedamaian padanya.

Entah berapa lama dan banyak Jenia membatin sambil menatap hampa ke langit-langit kamar. Bukan hanya itu, Jenia pun melengkapinya dengan ratapan tanpa suara. Hanya air mata yang berlinang sampai akhirnya dia kelelahan.

Sekarang, Jenia terbangun dengan wajah yang mengerikan. Mata panda itu berpadu dengan cekungan yang tampak makin dalam. Belum lagi tulang pipi yang menonjol.

Jenia bergegas bangun lalu melipat selimut. Takut mengganggu tidur lelapnya Thomas, Jenia berjingkat pelan menuju arah kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan diri, Jenia mengeluarkan pakaian yang akan dikenakan Thomas ke kantor. Digantungnya rapi di tempat yang bisa dijangkau suaminya.

Jenia melirik jam, masih ada waktu luang untuk membuat sarapan. Maka dia pun keluar dari kamar, berjalan menuju dapur.

"Selamat pagi, Nona Jenia." Emma si koki, menyapa dengan ramah.

"Jenia saja, Bibi," balasnya tak kalah sopan dan ramah. "Ada yang bisa aku bantu?"

"Tidak ada, Nona, eh Jenia. Duduklah. Anda ingin dibuatkan apa?"

Jenia menggeleng. "Tidak, jangan repot-repot. Aku bisa makan apa saja setelah semuanya selesai sarapan."

Mata wanita paruh baya itu menyorot sedih, tetapi langsung dialihkannya pandangan. Agar menantu tertua di rumah itu tidak merasa dikasihani.

"Bibi hendak memasak apa?"

"Nona Muda suka sekali *farmers omelette* dan untuk Nyonya biasanya ditambah irisan *bacon*. Tuan Muda biasanya makan apa saja yang ada di meja."

Jenia menganggukkan kepala. Thomas memang terkadang tidak rewel urusan perut. Lelaki itu hanya suka mengomel jika pakaian kerjanya tidak sesuai presisi. Harus licin tanpa bekas lipatan.

Jenia membayangkan menu kesukaan Freya. Itu adalah kentang yang ditumis dengan bumbu lalu disiram telur serta susu. Makanan yang mengenyangkan dan enak.

"Apa Bibi hanya memasak menu khusus untuk ketiganya saja?" Entah mengapa Jenia memikirkan menu sarapan pagi untuk Jamael.

Emma yang sedang menyiapkan bahan makanan, langsung menoleh. "Maksudnya, Tuan Jamael?"

"Ya. Karena semalam aku melihatnya datang bersama adik ipar."

"Oh, beliau sama sekali tidak pernah rewel. Dia akan makan tanpa suara dan komentar, Nona. Sepertinya dia suami yang baik dan menyenangkan." Emma tertawa pelan.

'Ya, dia memang baik dan menyenangkan. Tapi itu sebelum dia mengingkari janji dan meninggalkan aku sendiri. Lalu aku terjebak dalam pernikahan menyedihkan ini.' Jenia membuang muka.

Baru saja membahasnya, Jamael masuk ke dapur lalu tertegun di depan bingkai pintu. Perempuan yang pernah mengisi hati, hari dan ranjangnya, ada di sana.

'Walau kondisinya sudah jauh berbeda, tetapi detak jantung ini masih sama, Jenia.' Jamael menatap sendu. Sungguh betapa ingin merengkuh tubuh ringkih itu dalam dekapan untuk meminta maaf.

Sayangnya, semua tidak bisa lagi sama. Ada cincin yang melingkar di jemari keduanya. Ikatan pernikahan yang sah di depan Tuhan dan hukum.

"Ah, Tuan Muda. Panjang umur. Jenia baru saja bertanya tentangmu." Emma tertawa kecil.

Berdesir darah Jamael. Muncul keinginan untuk menggoda mantan kekasihnya itu. "Oh, ya? Dia bertanya apa, Bibi Emma?"

Jangan tanya apa yang Jenia alami. Wajahnya seperti terbakar api dan detak jantungnya terdengar sangat kencang. Jenia sampai harus memalingkan wajahnya.

"Nona bertanya tentang menu sarapan yang Anda sukai. Ya, aku menjawab kalau Anda tidak pilih-pilih makanan." Emma berucap santai sembari mulai memasak.

"Bibi benar. Aku memang tidak pernah pilih-pilih makanan," jawab Jamael seraya mengambil posisi untuk duduk di sebelah Jenia. "Hanya ketika jatuh cinta saja, aku pernah memilih dengan sangat hati-hati."

Kalimat itu diucapkan sangat pelan, tetapi terdengar jelas di telinga Jenia. Api kemarahan kembali berkobar setelah mendengar suara Jamael. Tatapan keduanya bertemu.

Jika Jenia menatap penuh emosi, Jamael sebaliknya. Ia rindu dengan bibir tipis milik Jenia. Pinggul ramping menggoda yang pernah berdansa bersama Jamael di malam-malam terindah dalam hidupnya. Lalu desah manja yang terdengar serupa simponi merdu di telinga.

'Terkutuklah kau, Jamael! Kenapa malah membayangkan malam bersama Jenia? Bukannya kau seharusnya bersimpuh meminta maaf atas semua kesalahan dan sikap pecundang itu?' Hati Jamael malah mengejek apa yang sedang dipikirkan oleh otaknya.

"Aku tau apa arti pandangan itu. Menjauh, Jamael! Pecundang sepertimu hanya tau mematahkan hati," bisik Jenia, sinis.

Jamael yang baru selesai berolahraga lari keliling komplek perumahan, tampak seksi di mata Jenia. Dengan peluh masih menetes juga aroma tubuh yang Jenia hafal betul.

Bukan hanya Jamael, tetapi Jenia pun mengingat dengan detail masa lalu semanis dan sepanas apa yang mereka punya. Hanya saja, di kepala Jenia, ada rentetan kekejaman Thomas yang menjadi hukuman atas kesalahan dalam menjaga kesucian.

"Bibi, aku kembali nanti saja. Sepertinya Thomas butuh aku di kamar." Sengaja Jenia menekankan kata kamar, agar Jamael tak lagi menatap penuh cinta.

Sialnya hal itu memang berpengaruh di Jamael. Apalagi melihat sikap terburu-buru Jenia keluar dari dapur.

Emma menghampiri Jamael seraya meletakkan secangkir kopi. "Padahal Nyonya dan Tuan Muda, tidak ada yang memperlakukan Nona dengan baik. Kadang, aku berpikir kalau Nona Jenia itu titisan peri karena hatinya begitu tulus."

Thomas mengerjap, meyakinkan diri kalau Emma benar-benar sedang membocorkan rahasia pernikahan Jenia. "Dia ... menderita?"

Emma melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang lain di antara keduanya. "Tentu saja. Aku sering mendengar Nyonya mencaci maki menantunya lewat ponsel. Lalu tertawa puas setelah menjatuhkan mental gadis itu."

Jamael menelan ludah. 'Pantas saja tubuhnya begitu kurus. Aku bahkan bisa melihat bagaimana dalamnya cekungan di tulang selangka itu. Kurus tak terurus.'

"Ah, maafkan aku karena sudah bergosip sepagi ini, Tuan Muda. Tapi tolong jagalah rahasia ini. Karena istri Anda pun tidak suka padanya." Emma berbisik sekali lagi.

"B-baik, Bibi Emma."

Bukan Jamael gugup karena menyimpan rahasia. Namun, rasa prihatin atas nasib Jenia membuatnya merasa bersalah. Semalam, Jamael pun tak bisa memejamkan mata dengan mudah.

Semua kenangan manis bersama Jenia, rasa penyesalan juga permintaan maaf yang mungkin tak ada gunanya, bercokol terus di kepala Jamael. Ia ingin memperbaiki keadaan, tetapi Jenia dengan tegas menolak.

Pagi ini, Jamael melihat luka di mata yang dahulu selalu menyorot hangat. Setelah sempat tertegun dan tak habis pikir dengan perubahan drastis yang terjadi pada penampilan Jenia.

Ingin sekali Jamael mendatangi Jenia, mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Hanya berbicara, karena tak mungkin melanjutkan apa yang pernah terputus paksa di antara keduanya.

Lamunan itu terhenti ketika melihat sosok Thomas yang memasuki ruang makan. Jamael tak mampu menahan diri untuk mencari keberadaan Jenia.

"Cari siapa?" tanya Thomas, ikut menatap ke arah pintu.

Jamael tersenyum tipis. "Kekasihku."

Thomas tertawa kecil. "Freya? Jam segini? Sebuah keajaiban jika dia bangun pagi, Bro."

Jamael hanya mengedikkan bahu. Tentu Thomas tak perlu tahu kalau sebenarnya Jenia lah yang dicarinya, bukan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status