Share

Belum Usai

Tubuh Jenia yang ringkih itu sudah banjir peluh. Seisi rumah yang biasa ditempati bersama Thomas, sudah dibersihkan.

Jenia masih sibuk mengatur napas yang terasa ngos-ngosan sambil duduk di depan televisi. Benda yang cukup jarang ditonton di waktu pagi hingga petang.

Jenia duduk di kursi makan. Semilir angin berhembus masuk dari jendela kaca yang sengaja dibiarkan terbuka lebar.

Bahan makanan yang masih tersisa di kulkas, bisa diolah agar Jenia bisa makan. Tanpa harus pulang ke kediaman mertuanya dengan perut lapar. Apalagi Thomas hanya memberikan uang sekadar untuk ongkos saja.

Jenia menarik napas dalam-dalam. Berkali-kali diembuskannya agar merasa lebih lega. Nyatanya, tidak. Ganjalan di dalam hatinya tetap saja enggan beranjak.

"Kenapa takdir hidup selucu ini? Aku harus bertemu dengan mantan pacar yang berengsek itu dengan status ipar." Jenia menatap kesal pada satu titik objek di depan matanya.

Terlebih lagi melihat sikap sok polos yang ditampilkan Jamael. Jenia benci. Ingin rasanya Jenia memukuli Jamael atas semua sikap pengecut yang menyeretnya dalam kubangan lumpur kesedihan.

Pernikahan yang diimpikan Jenia kandas dua kali. Pertama, ketika Jamael mengingkari janji. Kedua, ketika Thomas menyadari bahwa istrinya bukanlah perawan.

Jenia tidak pernah tahu kalau Thomas yang pernah didengarnya suka gonta-ganti pasangan, ternyata menuntut kesempurnaan Jenia sebagai perawan. Miris sekali.

Bukan satu atau dua kali Jenia mendengar selentingan kabar tentang Thomas yang menjadi pusat perhatian di tempatnya bekerja. Pun ada yang terang-terangan menunjukkan sikap ketus setiap kali Thomas datang menjemput.

Jenia pikir dengan sikap playboy yang pernah dimiliki Thomas, kekurangannya tidak menjadi masalah besar. Ternyata semua menjadi mimpi paling buruk yang entah kapan berakhirnya.

"Kenapa aku dipertemukan dengan dua laki-laki pengecut? Mereka hanya tau menyakiti hati perempuan saja." Jenia menghapus air mata dengan cara kasar.

Jenia benci sikap lemah ini. Namun, ingin melawan, dia tak berdaya. Thomas tak segan main tangan. Jenia sendiri tak bisa melarikan diri. Semua dokumen dan keuangan, diatur Thomas.

Nasib Jenia semakin buruk saja sejak menikah dengan Thomas. Belum lagi perlakuan buruk dari keluarga suaminya. Lengkaplah sudah.

Jenia melarikan perasaan kesalnya dengan menyantap makan siang buatannya. Setelah energinya terkuras banyak karena membereskan rumah, Jenia harus mengisi perut sebelum kembali ke kediaman mertuanya.

Usai membersihkan semua peralatan makan bekas pakai, Jenia pun pulang. Perempuan bertubuh ringkih itu sudah terbiasa menaiki transportasi umum. Walau Thomas memiliki mobil, tetap saja Jenia jarang ikut di dalamnya, sejak menikah.

Baru saja Jenia menjulurkan tangan untuk memutar kenop pintu, suara teriakan muncul dari arah belakang.

"Hebat sekali. Dari mana saja kau? Lupa kalau di sini cuma numpang, hah?"

Jenia memejamkan mata sejenak sebelum berbalik badan, dan memasang senyuman tipis. "Aku disuruh Thomas untuk membersihkan rumah kami setiap pagi."

Wanita yang memegang kantong belanjaan di kedua tangannya itu tertawa mengejek. "Pantas saja kau berbau apek. Ternyata hanya dijadikan pembantu."

Jenia masih terus tersenyum. Menanggapi tingkah adik ipar dan mertuanya, cuma akan menambah panjang daftar hukuman dari sang suami. Jadi, Jenia pilih aman saja.

"Lihat aku! Dinikahi untuk dijadikan ratu. Walau Papa sudah tidak ada, tetapi suamiku hebat. Dia begitu mencintai dan memanjakan aku."

Jenia menganggukkan kepala. Walau ada gerimis di hatinya mengingat dahulu pernah berada di posisi seperti sang ipar perempuannya itu.

Baik Jamael maupun Thomas, pernah melumuri hidup Jenia dengan kemewahan. Tak hanya barang bermerek, tetapi juga perhiasan dan cinta yang hangat.

Sayangnya, semua perhiasan dari Jamael, terpaksa dijual demi menyambung hidup. Jenia harus pontang-panting membiayai pendidikan dan hidupnya sendirian.

Ketika sudah mulai mendapatkan pekerjaan yang layak, Thomas datang. Lalu semua kembali lebih mengerikan ketimbang saat Jenia masih gadis.

Sudah sering kali Jenia berharap agar bisa kembali ke masa-masa awal menjadi remaja. Seandainya tahu akan berujung seperti apa, dia tak ingin membuang waktu dengan cinta picisan yang ditawarkan dua laki-laki berengsek itu.

"Ck! Susah memang kalau mengajak ngobrol perempuan miskin. Mana mengerti kamu tentang fashion kekinian." Tatapan mata Freya jelas-jelas menunjukkan sikap mencemooh apa yang dikenakan kakak iparnya.

Kaos dan celana jeans sepertiga kaki itu sama-sama berwarna pudar. Belum lagi ditambah dengan sendal selop yang ketinggalan zaman.

"Tapi, bagus banget kalo kau tetap bergaya kampungan seperti ini. Karena aku bisa meminta uang lebih ke Thomas. Aku harus membayar uang arisan sosialitaku minggu ini. Bye, Jenia Si Gadis Kampungan."

Jenia hanya bisa menatap sedih. Ingin meratapi nasib? Jenia sudah lelah melakukannya. Terkadang Jenia ingin pergi sejauh mungkin, tetapi ternyata kedua kakinya terikat kuat.

Tidak ada jalan selain pasrah dan mengikuti saja apa alur kehidupan yang digariskan untuknya. Jenia masuk menyusul langkah Freya.

Tiba-tiba, dari arah yang tidak terduga, tangan Jenia ditarik. Belum sempat berteriak karena terkejut, Jenia serasa ingin murka melihat siapa pelakunya.

"Kau!"

Di dalam ruang keluarga itu, Jamael mengunci lengan Jenia. "Ya. Ini aku, Pumpkins Juice."

Jenia berusaha memberontak. "Lepaskan aku! Kau pengecut!"

Jika bersama Thomas, Jenia sulit sekali untuk memberontak, apalagi berucap kasar. Tidak dengan Jamael. Emosinya selalu bisa meledak kapan saja tiap kali melihat wajah tampan sang mantan.

"Aku rindu, Jenia. Tolong, izinkan aku untuk menjelaskan semuanya." Tatapan mata Jamael mengiba.

Bukan hanya itu, keterangan dari koki di kediaman sang mertua, membuat Jamael harus melakukan sesuatu. Ia ingin menolong Jenia.

Air mata Jenia menetes. Rasa kesal dan amarah itu mengkristal. "Tidak ada gunanya untuk menjelaskan apa pun, Jamael. Kau dan aku sudah punya ikatan masing-masing. Maka menjauhlah!"

"Kau tak bahagia bersamanya, kan? Dia terus menyakitimu, kan?" Jamael seakan-akan tidak mendengar ucapan pengusiran dari mantan pacar pemilik hatinya itu.

"Apa urusannya denganmu, hah? Bukannya kau seharusnya tertawa karena berhasil menikah dengan adik iparku? Kau memperlakukan dia seperti ratu. Kalian bahagia, bukan? Kenapa harus mengusik ketenanganku?" Jenia meledak.

"Maafkan aku, Sayang. Aku memang pengecut."

Jenia meronta sekuat tenaga. Ketika cekalan di tangannya mengendur, Jenia tak menyia-nyiakan kesempatan.

Plakkk!

Jenia menampar pipi Jamael. Pipi yang pernah menjadi tempatnya melabuhkan kecupan manis dan hangat.

Jamael tersenyum perih. "Pukul saja sepuasmu, Pumpkins Juice. Aku memang layak mendapatkannya."

Seandainya bukan di kediaman sang mertua, Jenia pasti akan menerjang dan memukuli Jamael membabi buta. Namun, di sini, sebelum kewarasannya hilang, Jenia memilih untuk berbalik badan.

Jamael bergerak refleks. Jamael menarik lengan Jenia. Tubuh ringkih itu langsung masuk dalam dekapannya.

Keduanya terjebak dalam nostalgia masa lalu yang indah dan penuh cinta. Seperti terhanyut akan suasana hati, Jamael mendekat.

Seperti terhipnotis oleh tatapan mata yang begitu hangat, Jenia pasrah ketika Jamael mendapatkan pagutan.

Keduanya larut dalam euforia nostalgia cinta yang sepertinya masih belum usai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status