Share

Meminta Restu

Di kampung halaman Alena.

Alena dan Rama keluar dari taxi, mereka kemudian mengeluarkan koper dan tas mereka. Orang tua Alena kemudian keluar dan bergegas menghampiri putrinya itu. Alena memeluk Ibu dan Bapaknya, Rama kemudian mengulurkan tangannya dan bersalaman dengan orang tua Alena.

“Saya Rama Pak Bu,”ucap Rama.

“Ayo kalian masuk dan beristirahat dulu,pasti lelah!” sahut Pak Candra.

Mereka akhirnya masuk ke dalam rumah , Alena dan Rama bergegas untuk membersihkan badan mereka. Setelah mandi, Rama menghampiri Pak Candra yang terlihat sedang duduk santai di halaman belakang rumah.

“Bapak, saya boleh ikut duduk disini?”tanya Rama kepada Pak Candra.

“Oh tentu saja boleh,sini temani bapak!”jawab Pak Candra begitu ramah kepada calon menantunya itu.

Mereka pun berbincang dan sesekali terdengar gelak tawa diantara mereka. Alena yang sedari tadi memperhatikan mereka dari dapur merasa sangat bahagia, ia berharap kedua orang tuanya merestui hubungan mereka.

“Bapakmu kelihatan akrab dengan Rama,”ucap Bu Candra yang sontak mengagetkan Alena.

“Eh Ibu, iya bu semoga saja Bapak suka sama Rama,”jawab Alena sambil tersenyum.

Setelah makan malam selesai, Alena, Rama dan kedua orang tuanya duduk di ruang tengah sambil melihat acara TV. Kemudian Rama mulai membuka percakapan dan ingin menyampaikan maksudnya datang bertemu orang tua Alena.

“Bapak, Ibu, saya ingin menyampaikan sesuatu,”ucap Rama dengan penuh rasa gugup.

Alena yang duduk di sebelah Ibunya itupun juga ikut merasa gugup dalam hati ia selalu berdoa semoga orang tua nya merestui hubungan mereka.

“Begini Pak Bu, saya dan Alena sudah cukup lama saling kenal, dan saat ini saya ingin menyampaikan bahwa saya mempunyai niat untuk melamar dan menikahi Alena. Saya memohon restu kepada Bapak dan Ibu selaku orang tua Alena,” ucap Rama dengan penuh harap.

“Bapak dan Ibu sangat senang mendengar niat baik dari nak Rama, saya juga yakin kalau Alena pasti juga mau menerima lamaran mu dan mau menikah denganmu. Bukan begitu Alena?” tanya Pak candra.

Alena hanya mengangguk dan tersenyum membalas pertanyaan Bapaknya itu.

“Kalau Bapak sama Ibu yang penting kalian sama-sama suka saja,”ucap Pak Candra sambil melirik Alena.

Mendengar ucapan Pak Candra Rama merasa lega begitupun Alena, kegugupannya sedikit berkurang, ia merasa sangat bahagia.

“Oh ya nak Rama kamu tahu wetonmu hari apa?”tanya Pak Candra.

“Weton itu apa pak?”tanya Rama balik.

“Hari lahir mu nak, kalau tidak tahu sebutkan saja tanggal dan tahun lahirmu.”pinta Pak Candra

Kemudian Rama menyebutkan tanggal kelahirannya.

“Besok bapak akan coba ke rumah sesepuh desa ini untuk mencarikan hari baik buat kalian menikah,” jelas Pak Candra.

Rama masih merasa belum mengerti untuk apa menetapkan tanggal pernikahan di rumah sesepuh desa dan kenapa harus menggunakan tanggal lahir. Pak Candra melihat bahwa Rama sedang merasa kebingungan.

“Di kampung kita ini memang seperti itu adat dan tradisinya, untuk menikah harus dicari tanggal baiknya dari hari lahir kedua calon pengantin, jadi tidak bisa sembarangan. Adat ini sudah turun temurun dan ini harus dipatuhi karena kalau tidak pasti ada saja musibah yang diterima,” jelas Pak Candra.

Rama terdiam ,ia berusaha memahami apa yang diucapkan Pak Candra, walaupun sebenarnya menurut dia ini sangat aneh, karena selama ini yang ia ketahuai kalau mau menikah ya tinggal menentukan tanggal sesuka hati calon pengantin saja, bahkan mencari tanggal cantik.

Malampun semakin larut, Rama,Pak Candra dan Bu Candra sudah terlelap tidur, tapi tidak dengan Alena. Dia merasa tubuhnya sangat lelah tapi ia tidak bisa tidur, ia telah mecoba memejamkan matanya tetapi tetap saja tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah , setelah percakapan bersama keluarganya tadi ia selalu terpikirkan masalah tanggal pernikahan. Alena tahu betul bagaimana keluarga mereka sangat kental dengan adat dan tradisi dari leluhur mereka. Entah mengapa ia merasa takut kalau hasil perhitungan weton mereka tidak cocok. Karena memang kemungkinan itu bisa saja terjadi, dan ia sering mendengar cerita-cerita seperti itu sedari ia kecil dulu. Sebab itulah pikiran dan hatinya merasa sangat gelisah.

Jam demi jam pun telah terlewat, malampun telah berganti pagi. Pagi ini begitu cerah udara sangat segar. Setelah sarapan Pak Candra bergegas pergi ke rumah sesepuh di desa itu. Pak candra berangkat dengan wajah yang sangat sumringah, ia bahagia karena putri semata wayangnya akan segera menikah.

Tapi Alena masih saja merasa gelisah dan takut, ia duduk termenung di depan rumah sambil melihat tanaman-tanaman milik ibunya.

“Kamu aku perhatiin dari tadi kelihatan nggak tenang, kamu kenapa?’’tanya Rama.

Kemudian Rama duduk disebelah Alena.

“Kamu kan harusnya bahagia Karena orang tua kamu sudah setuju dan bahkan hari ini Bapak langsung mencarikan tanggal untuk kita menikah,” ungkap Rama.

Alena merasa bingung apakah dia harus menceritakan apa yang ada dalam pikirannya pada Rama. Tapi jika ia menceritakannya Rama pasti akan lebih bingung dari pada dia, karena Rama sama sekali tidak mengerti dan mengenal tentang adat dan tradisi keluarga Alena.

“Aku baik-baik saja, cuma masih nggak nyangka aja kalau kita sebentar lagi akan menikah,”ucap Alena yang mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

Tapi Rama merasa kalau itu bukanlah hal yang dipikirkan oleh Alena, tetapi Rama tidak mau mendesak Alena untuk jujur. Rama hanya tersenyum dan memegang erat tangan Rama, dan secara tidak langsung mengatakan bahwa Rama akan selalu ada untuk Alena apapun masalah yang dihadapi oleh Alena.

Beberapa jam telah berlalu, terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Dan itu adalah Pak Candra, Pak Candra masuk ke dalam rumah, tapi ia terlihat sangat lesu dan tidak seceria waktu tadi berangkat.

Pak Candra kemudian menghampiri istrinya, dan terlihat mereka sedang berbincang.

“Nanti malam kita bicarakan kepada Rama dan Alena,”ucap Pak Candra sambil berlalu meninggalkan Bu Candra di dapur.

Terlihat dari raut wajah Bu Candra juga merasa gelisah dan sedih. Entah apa yang tadi dibicarakan oleh Pak Candra sehingga mampu membuat kebahagian itu berubah menjadi kegelisahan.

Malampun tiba, Pak Candra sangat berat untuk mengungkapkan isi hatinya, tapi bagaimanapun ia tetap harus mengatakan. Mereka duduk di ruang tengah, Alena duduk disebelah Rama. Alena yang seharian sudah merasa gelisah semakin gugup dan takut mendengar apa yang akan di bicarakan oleh orang tuanya. Alena sudah bisa merasakan bahwa semenjak pulang dari sesepuh desa, Bapaknya menjadi diam dan terlihat murung tidak seceria pagi tadi. Jantung Alena berdegup begitu kencang, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Berbeda dengan Alena, Rama masih nampak santai dan ceria. Karena yang ada dalam pikirannya hanyalah sebentar lagi ia dan Alena akan menikah.

“Rama, Alena, bapak tadi sudah kerumah sesepuh desa untuk membicarakan tentang pernikahan kalian, dan sesepuh desa juga sudah menghitung weton kalian,” ucap Pak Candra dengan gugup.

“Lalu kapan tanggal pernikahan saya dengan Alena Pak?”tanya Rama penasaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status