Share

Bab. 1

Seorang gadis menguap lebar saat pelajaran sejarah sedang berlangsung. Sontak sebuah tangan seseorang di sampingnya menutup mulutnya. Gadis itu menoleh kemudian menampilkan cengiran lebarnya.

"Kebiasaan," decak seseorang di sampingnya.

"Gue lupa, hehe" kekehnya pelan sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Lupa terus. Apa sih yang lo inget?" cibir seseorang di sampingnya.

"Nadiv," jawab gadis itu sambil tersenyum.

Seseorang di sampingnya itu hanya menghela nafas. Matanya menatap fokus pada papan tulis yang berisi tulisan. Makin lama dipandang makin pusing karena tulisannya yang terlalu kecil.

Seseorang yang bername tag Maudiryn Hermawan itu menggelengkan kepalanya tak habis fikir dengan gadis yang notabene adalah sahabatnya itu. Entah punya muka berapa sampai ia setebal itu menyukai pacar orang tanpa rasa malu. Iya, Nadiv Dirgantara, lelaki yang di sukai sahabatnya itu telah memiliki kekasih. Bahkan sahabatnya itu terang-terangan menunjukkan rasa sukanya di depan banyak orang. Seluruh siswa Grand Nusa pun tahu tentang hal itu. Bahkan sahabatnya itu suka melakukan hal gila hanya untuk menarik perhatian Nadiv.

Baiklah, gadis yang kerap disapa Maudi itu tidak masalah jika sahabatnya menyukai lelaki yang baik-baik. Dalam artian tidak urakan, tidak nakal, tidak kasar. Tapi ini Nadiv, seantero Grand Nusa pun tahu bagaimana reputasi buruk yang di sandang lelaki itu. Jika di sandingkan dengan sahabatnya, Nadiv tidak ada apa-apanya.

"Kapan istirahat sih," keluh gadis itu.

Maudi menoleh, kemudian memutar bola matanya jengah.

"Kenapa sih? Lo lesu gitu kayak gak dikasih makan setahun," ucap Maudi.

Gadis disampingnya itu menoleh, kemudian memasang wajah sesedih mungkin.

"Gue kangen sama Nadiv, tadi pagi gak ketemu soalnya," ucapnya pelan, wajahnya pias.

Maudi melotot mendengar ucapan sahabatnya itu. Rahangnya menganga, andai saja tidak kuat, bisa dipastikan rahangnya jatuh ke lantai. Namun ia urungkan untuk membalas ucapan sahabatnya. Karena ia sadar kalau sedari tadi tatapan bu Meta sudah mengarah padanya. Maudi yang merasa terintimidasi pun segera membungkam mulut dan kembali memfokuskan matanya ke depan.

Sementara sahabatnya itu, kini tengah menelungkupkan wajahnya di antara lipatan kedua tangannya di meja. Di depan kepalanya ia tegakkan benteng pertahanan dari buku paket agar bu Meta tidak mengetahuinya.

"Rallin Natasha, gue rasa lo udah gila," ucap Maudi pelan sambil terus menatap ke depan.

Rallin, gadis yang tengah menelungkupkan wajahnya itu hanya tersenyum tipis. Iya, dia akui dia memang sudah gila. Gila akan pesona Nadiv Dirgantara.

Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi. Bagi seorang pelajar, suara bel pulang dan bel istirahat adalah suara yang paling merdu dari suara apapun.

Rallin segera menegakkan kepalanya dengan semangat. Senyumnya tercetak lebar. Dengan gerakan cepat, ia memasukkan seluruh barangnya ke dalam tas. Lalu berdiri dan melangkah keluar. Ia lupa kalau ia meninggalkan sahabatnya, Maudi.

"Cuma karena mau ketemu Nadiv, lo sampe ninggalin gue?" tanya Maudi datar.

Rallin yang sampai di ambang pintu pun berbalik kemudian berjalan menghampiri Maudi. Memasang wajah tanpa dosa kemudian menggandeng tangan Maudi.

"Iya maaf, soalnya gue semangat banget mau ketemu Nadiv," ucap Rallin dengan ceria.

"Berhenti jadi pelakor Lin," ucap Maudi.

"Gue gak ngerasa jadi pelakor Di," bantah Rallin.

"Tapi lo deketin cowok yang udah punya pacar Lin,"

"Selagi janur kuning belum melengkung, Nadiv masih bisa dimiliki siapapun, termasuk gue," ucap Rallin

Maudi memilih diam. Jika sudah seperti ini ia memilih untuk mengalah. Karena ia tahu, berdebat dengan Rallin tidak akan ada ujungnya. Dan tetap saja Rallin yang menang. Ia kadang berfikir kalau ia dan Rallin itu seperti kakak adik. Dimana hukumnya adik selalu menang dan kakak selalu kalah. Bukankah kebanyakan seperti itu?

***

Suasana kantin di jam istirahat pertama memang ramai. Apalagi kantin kelas sepuluh dan sebelas itu jadi satu tempat. Sedangkan kantin kelas tiga berada di lantai tiga.

Disana, di meja paling pojok sudah terisi empat orang. Salah satu di antaranya adalah perempuan.

"Mau pesen apa?" tanya lelaki bername tag Nadiv Dirgantara H. pada gadis disampingnya.

Gadis itu terlalu sibuk dengan ponselnya sampai ia tak mendengar ucapan Nadiv.

"Adel?," panggil Nadiv.

Gadis itu menoleh menatap Nadiv.

"Apa?" Jawab Adelia.

"Mau pesen apa?" tanya Nadiv lagi.

"Samain aja," jawab Adelia kemudian sibuk lagi dengan ponselnya.

Nadiv mengangguk. Ia hendak beranjak pergi namun temannya berucap.

"Gue gak di pesenin sekalian?" tanya Rangga.

"Ya kali cuma Adel doang njir," tambah Didan.

"Ogah amat. Pesen aja sendiri," ucap Nadiv kemudian berjalan menuju stand.

Rangga dan Didan mendecak sebal. Kemudian Rangga menyusul Nadiv untuk memesan makanan untuknya dan Didan.

Satu hal yang Rangga dan Didan fikirkan tentang Nadiv. Nadiv mencintai orang yang salah. Kenapa seperti itu? Karena mereka tahu kalau Adelia tidak pernah mencintai Nadiv. Dua bulan yang lalu, tepat hari pertama Adelia dan Nadiv berpacaran, Didan tidak sengaja mendengar percakapan antara Adelia dan temannya di perpustakaan. Awalnya Didan tidak peduli, toh bukan urusannya juga. Namun langkahnya terhenti saat nama Nadiv disebut.

Dan yang membuat Didan marah adalah saat Adelia mengatakan kalau ia menerima Nadiv hanya karena kasian dan tidak ingin lelaki itu malu.

Jujur, Didan ingin menghajar gadis itu. Tapi ia masih waras untuk tidak menyerang seorang gadis. Hal itu pun hanya Didan dan Rangga yang tahu. Mereka tak ingin Nadiv tahu tentang hal ini. Jika tahu, Nadiv pasti akan hancur. Jadilah mereka memilih diam dan memantau perkembangan hubungan sahabatnya. Namun sejauh ini, Nadiv masih saja bertahan dengan sikap Adelia yang acuh kepadanya.

Nadiv dan Rangga sudah kembali membawa pesanan mereka. Belum sempat Rangga duduk, Didan sudah lebih dulu berdiri mengambil makanannya.

"Santai aja kali. Gak sabaran amat lo!" decak Rangga sambil menaruk mangkuk berisi bakso tanpa mie nya itu.

"Lo lemot soalnya," ucap Didan sambil melahan satu pentol siomay nya.

Didan menatap penuh binar melihat dua sosok yang baru datang dan berdiri di ambang pintu. Terlihat mata dua gadis itu menelisik mencari bangku yang kosong. Tanpa pikir panjang, Didan langsung memanggil dua gadis itu.

"Rallin! Maudi!" teriak Didan sambil melambaikan tangannya.

Nadiv yang mendengar nama Rallin, tiba-tiba terdiam. Selera makannya hilang. Ia mendadak kenyang.

Berbeda dengan Nadiv, Rallin tampak berbinar menatap Didan, ah ralat, lebih tepatnya ke arah Nadiv yang duduk memunggunginya. Meskipun dari belakang, Rallin bisa tahu kalau itu punggung Nadiv, jangankan punggungnya, jejak Nadiv pun Rallin bisa tahu.

Dengan cepat Rallin menarik tangan Maudi berjalan ke arah Didan. Beruntung disana masih tersisa dua kursi. Dewi fortuna sedang berpihak pada Rallin hari ini.

"Disini aja Lin," ucap Didan.

" iya Dan, aman. Ada moodbooster soalnya " ucap Rallin sambil tersenyum ke arah Nadiv tanpa peduli adanya Adelia disana.

Nadiv hanya diam sambil meminum jus mangganya. Sementara Adelia, dia bahkan terlihat biasa saja. Cemburu? Adelia bahkan tidak memiliki rasa cemburu sedikit pun ketika Nadiv di dekati banyak wanita. Karena pada dasarnya cemburu itu ada karena kita memiliki rasa cinta pada pasangan kita. Dan disini, Adelia tidak memiliki perasaan apapun untuk Nadiv. Jadi bagaimana bisa dia cemburu?

"Hari ini lo yang pesen ya Di," ucap Rallin sambil menyengir lebar.

"Tiap hari juga gue yang pesen Lin," dengus Maudi sambil berjalan menuju stand

"Besok gue Di, tenang aja!" teriak Rallin kemudian duduk di depan Nadiv.

Tangannya ia tekuk untuk menyangga dagunya. Matanya terfokus pada lelaki yang ada didepannya. Entahlah, dari sekian banyak orang yang men-cap Nadiv seseorang yang buruk, Rallin malah mengatakan kalau Nadiv yang terbaik. Cinta memang sebuta itu.

Lalu matanya beralih pada gadis yang duduk di sebelah Nadiv. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya. Rallin berdecih pelan. Pacarnya ada disamping sedangkan dia malah sibuk bermain ponsel? Kalau Rallin jadi Nadiv, pasti ia tidak akan segan-segan melempar ponsel itu. Tapi Rallin tak habis fikir, bagaimana bisa Nadiv lebih memilih gadis yang tidak mencintainya dan mengabaikan gadis seperti Rallin yang jelas-jelas sudah mengejarnya selama satu tahun terakhir ini?

Hei! Satu tahun mengejar cinta Nadiv itu bukanlah waktu singkat. Lalu dengan seenaknya Adelia datang di kehidupan Nadiv dan mengambil hati Nadiv bahkan saat Rallin belum bisa menggapainya. Ironis sekali.

Mata Rallin sontak membulat saat tangan Nadiv mendarat dipucuk kepala Adelia. Mengusapnya lembut syarat penuh kasih sayang.

"Udah? Aku anter ke kelas yuk," ucap Nadiv lembut.

Ya Tuhan! Kapan Nadiv bisa berkata selembut itu pada Rallin? Sungguh, Rallin sangat menunggu momen itu.

Rallin semakin panas saat Adelia hanya menganggukkan kepalanya saja dan berjalan duluan didepan Nadiv. Ingin rasanya Rallin menjambak rambut sebahu milik Adelia. Dengan sesuka hati dia mengabaikan orang yang sangat di cintainya? Tunggu saja saatnya, Rallin akan bertindak.

"Gue duluan," ucap Nadiv dingin kepada kedua sahabatnya.

Didan dan Rangga mengangguk saja. Toh, semenjak Nadiv berpacaran dengan Adelia, lelaki itu jarang sekali memiliki waktu untuk mereka. Dia lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya bersama Adelia. Ketika di kantin, yang biasanya hanya ada mereka bertiga, yang suka ngebacot sana-sini, kini harus ada Adelia. Hal itu tentu saja tidak memberikan pergerakan bebas untuk Didan dan Rangga.

"Gue gak suka sama Adelia," ucap Rallin tiba-tiba sambil menusuk bakso yang baru dibawa oleh Maudi dengan penuh tekanan, syarat menyalurkan emosinya yang terpendam sejak tadi.

"Seluruh Grand Nusa juga tau kalo lo gak suka sama Adelia," sahut Rangga.

"Semenjak Nadiv pacaran sama Adelia, dia lebih sering ngebucin. Mana ngebucinin orang yang salah lagi," tambah Didan.

"Dia terlalu buta sama cintanya, sama kayak lo Lin, terlalu buta sama cinta lo ke Nadiv." Tukas Maudi membuat Rallin menoleh cepat ke arahnya.

Rallin tidak bernafsu makan lagi. Ia jatuhkan kepalanya ke atas meja. Menghembuskan nafasnya berat. Seolah menyampaikan betapa banyak keresahan yang ada di dalam dirinya.

Namun tiba-tiba ia menegakkan kepalanya dan berdiri.

"GUE HERAN SAMA NADIV, TULANG RUSUK SECANTIK DAN SETULUS INI KENAPA SIH GAK MAU DILIRIK?!" teriaknya frustasi.

Membuat seluruh siswa yang berada di kantin menatapnya heran. Sementara Maudi, Didan, dan Rangga hanya bisa menundukkan kepalanya menahan malu dengan aksi heroik dari Rallin.

"Kalo gue bisa menghilang, gue udah menghilang dari tempat haram ini Lin, gila lo sumpah!" desis Maudi tajam.

Rallin hanya diam. Ia tak peduli. Yang ia fikirkan sekarang hanya Nadiv, Nadiv, dan Nadiv. Benar bukan kalau Rallin bisa melakukan hal gila hanya karena Nadiv?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Itsmepiaa
bagus dn menarik utk d simak trs berkarya sukses sllu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status