Share

Bab. 5

"Nadiv yang buruk buat lo," ucap seseorang yang berdiri diambang pintu. Semua mata tertuju ke sumber suara.

Pandangan Rallin menjadi kabur lantaran cairan bening itu kembali menggenang di pelupuk matanya. Gadis itu menangis lagi. Rangga dan Didan hanya bisa menghela nafas menghadapi orang yang sedang patah hati ini.

Orang yang tengah bersender di pintu pun berjalan mendekat ke Rallin. Memotong jarak yang membentang. Kemudian berjongkok di hadapan Rallin. Menatapnya sebentar kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Mengusap pelan kepala gadis itu. Ia bisa merasakan baju seragamnya mulai basah karena air mata gadis itu. Ia tak peduli. Yang penting gadis itu nyaman.

"Sakit Sen," lirih Rallin semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Sendi.

"Berapa kali gue bilang? Berhenti Lin. Tapi lo nya batu," ucap Sendi sambil mengusap kepala gadis itu. Punggungnya bergetar semakin hebat. Tangisnya semakin pecah.

Tiga lelaki yang ada disana hanya diam saling melempar pandang. Tak tahu harus berbuat apa. Membiarkan gadis itu menumpahkan segala rasa sakitnya.

Setelah di rasa Rallin cukup tenang, Sendi membantunya untuk berdiri. Memegang erat bahu gadis itu. Tampak kacau sekali penampilannya saat ini. Anak rambut yang basah karena keringat. Hidung yang memerah dan mata yang sembab. Sendi menatap gadis itu sebentar kemudian menaikkan pandangannya menatap Didan dan Rangga.

"Dan, lo bisa anterin dia balik?" Tanya Sendi.

Didan mengangguk. "Bisa kok," jawabnya.

"Gue masih ada urusan, gue titip Rallin," ucap Sendi kemudian menatap Rallin. Mengangkat dagu gadis itu karena sedari tadi menunduk. "Sama Didan gak papa kan? Gue gak bisa nganterin lo balik," tanya Sendi lembut. Gadis itu hanya mengangguk.

"Yaudah, gue duluan." Sendi pun langsung keluar dari kelasnya.

Begitu keluar, raut wajahnya berubah menjadi tegang. Matanya memerah menahan marah. Di keluarkannya ponsel dari saku baju. Membuka aplikasi W******p dan mencari kontak seseorang untuk dikiriminya pesan. Setelah menemukan kontaknya, langsung saja ia mengetik pesannya.

Sendi prasaja

Gue tunggu di taman kota. Gak dateng berarti lo cupu!

* * *

"Gak mampir dulu Div?" Tanya Adelia saat ia sudah turun dari motor sport milik Nadiv.

Nadiv terdiam sebentar. Menatap mata Adelia intens. Tatapannya penuh cinta. Adelia tahu itu, tapi entah kenapa ia tidak bisa membalas ketulusan cinta Nadiv. Nadiv itu tampan. Meskipun tidak setampan ketua OSIS Grand Nusa, tapi lelaki ini cukup populer karena terlalu sering keluar masuk ruang BK. Lumayan banyak siswa yang menyukai Nadiv, tapi tidak senekat Rallin.

Rallin natasha. Gadis itu sudah mengejar Nadiv selama setahun lebih. Satu hal yang perlu kalian tahu. Adelia sangat membenci Rallin. Karena suatu alasan. Belum saatnya kalian mengetahui alasannya. Itu lah mengapa saat ia tahu Rallin menyukai Nadiv, dengan senang hati Adelia menerima Nadiv yang saat itu menyatakan cinta padanya. Anggap saja itu cara Adelia untuk membalas dendamnya pada Rallin.

"Kamu gak marah kan soal dikelas tadi?" Tanya Nadiv pelan. Jujur, ia takut kalau Adelia marah dengannya. Ia benar-benar mencintai gadis itu. Ia tak mau kehilangan Adelia. Sungguh.

Adelia tampak tersenyum manis. Senyum yang mampu memikat hati seorang Nadiv. Senyum yang selalu menjadi candu untuk Nadiv. "Enggak kok. Aku gak marah," jawab Adelia lembut.

Nadiv menghela nafas lega. "Syukur deh kalo kamu gak marah. Aku takut kehilangan kamu," lirih Nadiv sambil menunduk.

Adelia tersenyum. Kali ini senyuman tulus terbit di bibirnya kala mendengar kalimat itu dari mulut Nadiv. Gadis mana sih yang tidak melayang saat ada lelaki dengan tulusnya mengatakan kalimat seperti itu?

Tapi sekali lagi maaf, Adelia tetap tidak bisa membalas cinta Nadiv. Hatinya sudah terisi seseorang yang sekarang entah dimana rimbanya.

"Yaudah, aku pulang dulu ya," pamit Nadiv. Adelia tersenyum sambil mengangguk menanggapinya.

Baru saja Nadiv ingin melajukan motornya. Sebuah notif pesan masuk di ponselnya. Nadiv menyempatkan untuk membaca pesan itu. Dibukanya aplikasi w******p dan mendapati pesan dari salah satu teman sekelasnya.

Sendi prasaja

Gue tunggu di taman kota. Gak dateng berarti lo cupu!

Nadiv mengernyitkan dahinya dalam. Tak mengerti dengan maksud ucapan Sendi. Seingatnya ia tidak pernah mencari masalah dengan teman sekelasnya itu. Lalu kenapa tiba-tiba Sendi mengajaknya bertemu? Dan isi pesan itu menyiratkan kalau Sendi tengah marah besar.

"Siapa?" Tanya Adelia penasaran saat melihat perubahan wajah Nadiv.

Nadiv tersadar dari pikirannya. Menatap Adelia lembut kemudian menggeleng. "Bukan siapa-siapa. Yaudah, aku pulang ya," pamitnya.

"Iya, hati-hati." Adelia melambaikan tangannya kala Nadiv mulai melaju meninggalkan area rumahnya. Setelah lelaki itu hilang dari pandangan, barulah ia masuk ke rumah.

* * *

Nadiv melangkahkan kakinya dengan santai. Ia tidak pulang ke rumah, melainkan menuju taman. Tempat dimana Sendi sudah menunggunya. Ia tidak tahu apa masalahnya dengan Sendi. Tapi ia tetap datang karena tidak mau dianggap cupu oleh teman sekelasnya itu.

Meskipun mereka sekelas, mereka jarang sekali terlibat komunikasi. Entahlah, Nadiv juga tidak mengerti. Tampaknya Sendi tidak menyukainya. Ia tahu itu karena Sendi selalu menatapnya sinis.

Nadiv melihat Sendi tengah duduk di bangku taman sambil memainkan ponsenya. Begitu menyadari ada kedatangan seseorang, Sendi mengalihkan perhatiannya. Tahu jika itu Nadiv, segera dimasukkannya ponselnya ke saku. Berdiri dari duduknya. Berhadapan dengan Nadiv. Menatap Nadiv tajam sedangkan Nadiv mengernyit heran.

"Kenapa, Sen?" Tanya Nadiv bersikap santai.

"Kalo lo gak bisa balas cintanya Rallin, setidaknya jangan pernah ngucapin kata kasar sama dia." Sendi mengatakan itu dengan penuh tekanan disetiap katanya.

Nadiv mengernyit. Jadi masalahnya tentang Rallin?

"Gue gak akan kasar kalo dia bisa tahu diri," balas Nadiv. Iyakan? Dia tidak salah. Kalau saja Rallin bisa tahu diri akan posisinya, pasti Nadiv tidak akan menyakitinya.

"Lo hanya tau cover tentang dia aja. Lo gak tau tentang kehidupan dia. Gue cuma minta sama lo, tolong baik sedikit sama dia. Seenggaknya itu bisa jadi alasan dia buat bahagia." Sendi mengucapkan itu dengan nada memohon.

"Kalo gue bersikap baik ke dia, yang ada dia bakal baper dan makin ngelunjak ngejar gue," ucap Nadiv. Ada benarnya juga. Ia tidak mau jika Rallin malah semakin baper karena dia bersikap baik pada gadis itu. Dihatinya hanya ada Adelia. Bukan yang lain.

Sendi menghela nafas panjang. Apa yang dikatakan Nadiv memang benar. Ia tahu Nadiv tidak menyukai Rallin. Tapi ia juga tidak tega kalau Rallin terus-terusan seperti ini. Ia tetangga Rallin. Ia tahu betul bagaimana kehidupan Rallin dirumah.

Yang ia tahu, alasan Rallin bahagia adalah Nadiv. Lelaki urakan didepannya ini benar-benar menyita semua perhatian Rallin. Jika Nadiv saja seperti ini, lalu apalagi yang bisa dijadikan alasan untuk Rallin bahagia?

* * *

Rallin turun dari motor sport Didan. Masih dengan mata sembabnya, ia melepaskan helm kemudian mengembalikannya kepada Didan.

"Gak usah nangis lagi. Gue gak suka liat lo cengeng gini," ucap Didan sambil menghapus air mata Rallin.

Rallin tersenyum tipis kemudian mengangguk. Didan memang selalu perhatian padanya. Terkadang yang ia harapkan adalah Nadiv yang bersikap seperti ini. Tapi, ah sudahlah.

"Gue balik, ya?" Pamit Didan.

Rallin mengangguk. "Iya, hati-hati. Makasih udah mau nganterin gue pulang," ucap Rallin.

"Santai aja kali," tukas Didan.

Kemudian lelaki itu berlalu dari hadapan Rallin. Rallin pun berbalik menatap pintu gerbang rumahnya. Rumah itu mewah diluar namun kelam didalam.

Gadis itu mulai berjalan menuju pintu utama. Menyiapkan mental dan hatinya jika sudah berada dirumah kelam ini. Rallin menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu. Matanya memejam. Kedua tangannya menutup erat telinganya.

Ia lelah. Lelah mendengar ini semua. Selalu seperti ini. Tidak ada keharmonisan di dalam rumah megah bergaya klasik Belanda. Yang ada hanya pertengkaran, pertikaian, dan caci maki yang keluar dari kedua mulut orang tuanya.

Di sana, di ruang tamu, terlihat kedua orang tuanya sedang bertengkar. Entah apa yang di bahas, Rallin tak ingin mendengar.

Ia muak melihat adegan seperti ini setiap harinya. Ia hanya ingin hidup tenang, sudah itu saja. Tapi kenapa rasanya sulit sekali?

Dua orang yang dulu yang sayang padanya kini berubah menjadi monster menyeramkan yang siap menerkamnya kapan pun. Dua orang yang dulu selalu memanjakannya kini berubah menjadi mengabaikannya. Bahkan membencinya. Dan itu semua terjadi setelah mereka kehilangan dia.

Rallin menghela nafas berat, seberat hidupnya. Ia berjalan perlahan. Langkahnya pelan menuju ruang tamu. Jarinya saling menaut seolah memberi kekuatan, kepalanya menunduk.

"Rallin pulang," ucap Rallin lirih.

Terlihat Ranti, mamanya menatap kasar ke arahnya.

"Mau kamu pulang atau tidak, saya tidak peduli." Setelah mengucapkan itu, Ranti lalu pergi begitu saja.

Rallin memejamkan matanya menahan sesak. Air mata mulai merembes keluar dari sudut matanya. Baru saja ia menangis, dan sekarang menangis lagi. Ia mengusapnya pelan, lalu menatap papanya yang duduk di sofa.

"Pa-"

"Kamu bukan anak saya. Jadi berhenti panggil saya papa," ucap Herman, papanya.

Rallin kembali memejamkan matanya, air matanya kali ini benar-benar meluncur deras. Ini menyakitkan. Rasa sakit ini benar-benar menggerogoti hatinya. Rallin berjalan mundur, kemudian berbalik. Ia berlari menuju mobilnya yang berada di garasi dengan uraian air mata. Di dalam mobil, tangisnya benar-benar pecah.

Ia meratapi hidupnya yang begitu berat. Dia pergi. Orang tuanya tak peduli. Nadiv masa bodoh. Lalu apa yang ia harapkan dari hidupnya jika semuanya setragis ini?

"Apa Tuhan memang membuat takdir gue seperti ini? Lalu untuk apa gue di beri hidup kalo cuma buat di sakitin?," lirih Rallin sambil memeluk dirinya sendiri, karena ia sadar, saat ini tidak ada yang mau memeluknya kecuali dirinya sendiri.

Tangannya bergerak membuka dashboard mobil. Di ambilnya sebuah foto yang tersimpan disana. Ia tersenyum nanar menatap foto itu, tangannya tergerak untuk mengusapnya.

"Hei, gue kangen."

* * *

Tangan mungil seorang gadis terulur mengusap sebuah batu nisan di depannya. Senyumnya terulas tipis. Sesekali ia mengusap air mata yang berjatuhan.

"Hei, gue kangen sama lo," ucap gadis itu tersenyum.

"Bisa gak ya gue minta Tuhan buat memutar ulang waktu?,"

"Gue cuma pengen menukar sesuatu,"

"Lo mau tau gak gue mau nuker apaan?"

"Gue mau nuker posisi lo sama gue. Posisinya gue disini," ucapnya sambil mengusap gundukkan tanah di depannya.

"Dan lo lagi kayak gini," lanjutnya sambil mengusap-ngusap batu nisan.

"Gue yakin kalo kayak gitu, pasti semuanya gak sekacau ini,"

"Karena gue tau, dari dulu mama sama papa itu sayangnya cuma sama lo. Bukan sama gue."

Gadis itu, Rallin, menahan isakannya. Disinilah tempat ia bisa menenangkan dirinya. Disini ia bisa mencurahkan segala beban hidupnya. Disini, dimakam dia.

Andai Rallin tahu kejadian masa depan, pasti waktu itu ia takkan melakukan hal yang membuat hidupnya menjadi sesuram ini. Pasti dia masih hidup sampai sekarang. Pasti orang tuanya masih menyayanginya meskipun orang tuanya lebih menyayangi dia.

Menyesal? Ia sangat menyesal, pastinya. Tapi ia bisa apa? Meminta Tuhan untuk mengembalikan dia? Rallin tertawa sumbang. Tatapannya kosong.

"Kalo gue bisa, udah gue lakuin dari dulu," gumamnya pelan.

"Gue pulang ya? Jangan kangen sama gue, doain gue biar gue kuat ngadepin semua ini" pamit Rallin kemudian berdiri.

Rallin menatap dirinya sendiri di samping kaca mobil. Rambut berantakan, seragam lusuh, wajah kusam. Rallin tersenyum miris. Dirinya selalu sekacau ini jika sudah menginjakkan kakinya di rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status