Rallin terhenyak. Hatinya nyeri seperti dihantam ribuan belati yang menyesakkan. Lidahnya kelu tak mampu berucap. Matanya menatap nyalang dua insan berbeda gender yang tengah bercumbu dibangku pojok tempat duduk Nadiv. Air mata perlahan turun membasahi pipi mulu gadis berombre ungu itu. Ia tahu, Rallin bukan siapa-siapa Nadiv, tapi jangan lupa kalau gadis itu begitu mencintai Nadiv. Melihat pemandangan itu benar-benar membuat hatinya hancur.
Nadiv dan Adelia sempat menoleh. Namun Nadiv menarik tengkuk gadis yang berada dipangkuannya itu dan kembali melanjutkan aksi ciuman mereka yang terhenti karena kedatangan Rallin.
"Udah liatkan? Mending sekarang lo pulang. Gue anterin," ucap Didan sambil menarik tangan Rallin. Namun segera ditepis oleh Rallin.
Rangga menghela nafas. "Masih mau liat? Mau tambah sakit lagi?" tanya Rangga lembut.
Jujur, Didan dan Rangga ingin sekali menghantam kepala Nadiv karena tidak tahu situasi. Mereka tahu kalau Nadiv dengan pacarnya. Tapi setidaknya hargai sedikit perasaan gadis yang kini tengah menangis pilu.
Rallin memejamkan matanya. Menghela nafas pelan kemudian menghapus kasar air mata itu. Dengan mantap, ia langkahkan kakinya menuju Nadiv. Lalu ditariknya baju Adelia hingga gadis itu bangkit dari pangkuan Nadiv dan terbentur meja yang ada dibelakangnya.
"Aduh!" pekik Adelia.
Lalu Rallin mendudukkan dirinya dipangkuan Nadiv. Ia tak peduli jika nanti di cap murahan. Ia memang sudah buta cinta. Ia memang sudah gila. Gila karena melakukan hal yang sama sekali belum pernah ia lakukan.
Nadiv terbelalak melihat itu. Ia hendak mendorong Rallin namun gadis itu malah menarik tengkuknya dan mencium bibir Nadiv. Semua orang yang ada disana jelas melebarkan matanya melihat perlakuan Rallin. Ini benar-benar mengagetkan. Terlebih Didan dan Rangga. Mereka menganga melihat Rallin mencium Nadiv. Karena yang mereka tahu, Rallin ini masih suci. Suci bibir dan keperawanannya. Berarti itu adalah ciuman pertamanya.
Adelia, gadis itu terdiam. Ia masih terlalu terkejut. Bahkan untuk berucap pun rasanya susah.
Sementara Nadiv, lelaki itu terdiam. Tak bisa dipungkiri kalau dia sedikit menikmati permainan bibir Rallin meskipun masih kaku. Rasanya ia terbuai dengan manisnya bibir itu.
Rallin menjauhkan bibirnya dari bibir Nadiv. Menatap dalam mata lelaki didepannya. Kemudian menangkup pipi Nadiv.
"Gue gak mau ada bekas cewek mana pun disini," ucapnya sambil mengusap pelan bibir Nadiv.
Seolah baru tersadar, Adelia menggeram marah. Meskipun ia tidak mencintai Nadiv, ia tidak suka kalau miliknya di ganggu. Adelia menarik rambut Rallin ke belakang membuat gadis itu meringis sakit.
"Dasar cabe-cabean! Murahan! Lo gak malu hah?! Kerjaannya godain cowok orang. Bahkan lo berani nyium dia didepan mata gue? Urat malu lo kemana anjing?!" bentak Adelia. Tampak sekali gadis itu tengah marah terlihat dari urat lehernya yang menonjol kala ia membentak Rallin.
Rallin tersenyum, ia melepaskan tangan Adelia yang menurutnya lemah dengan satu sentakan.
Kemudian ia mengusap rambutnya seolah tangan Adelia itu penuh kotoran. Kemudian menatap Adelia dengan senyum remeh."Apa lo bilang? Gue murahan? Ngomong gih sana sama kaca," ucap Rallin sambil memainkan kukunya. Meremehkan tatapan tajam dari Adelia.
Tangan Adelia sudah terangkat ingin menampar Rallin. Namun gerakannya terhenti saat tangannya beralih digenggam oleh Nadiv.
Nadiv menatap marah ke arah Rallin. Jika boleh jujur, dia sudah jengah dengan sikap Rallin yang terus mengejarnya. Peringatan yang sering ia beri untuk Rallin benar-benar tidak mempan. Ibaratnya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Gadis itu bebal sekali. Bahkan Nadiv sudah sering bersikap kasar padanya, tapi gadis itu malah makin berambisi untuk mendapatkan hatinya yang sudah jelas milik Adelia.
Dengan kasar Nadiv mengusap bibirnya kemudian mengecup singkat bibir Adelia. Dia menatap Rallin sambil tersenyum miring.
"Gue gak mau ada bekas lo dibibir gue," ucapnya kemudian menarik Adelia keluar. Tampak seringaian jahat keluar dari bibir Adelia. Rallin hanya terdiam sambil memasang senyum remeh.
Namun setelah Nadiv dan Adelia menghilang, senyum remeh itu berganti menjadi senyum sendu. Didan dan Rangga mendekati Rallin. Melihat drama seperti tadi membuat mereka berada diposisi sulit.
Mereka tidak ingin berpihak pada siapapun. Karena keduanya adalah teman dekat mereka. Nadiv adalah teman mereka sejak mereka masuk SMA, kecuali Didan. Lelaki itu sudah berteman dengan Nadiv sejak kecil. Dan Rangga adalah teman Didan saat mereka masih SMP. Itulah mengapa Nadiv dan Rangga bisa berada di satu lingkaran persahabatan.
Sedangkan Rallin, awalnya mereka hanya tahu namanya saja. Mereka tidak peduli dengan gadis yang dijuluki most wanted itu. Namun sejak Rallin mengatakan kalau menyukai Nadiv dan mengejar lelaki itu, perlahan nama Rallin sudah akrab di telinga mereka. Berteman dengan Rallin bukanlah hal yang buruk. Dia adalah gadis yang menyenangkan, friendly, dan tidak membosankan. Berbeda dengan Adelia, meskipun gadis itu kekasih sahabatnya. Tetap saja dia tidak semenyenangkan Rallin.
Rangga mengusap bahu Rallin yang bergetar. Iya, gadis itu sudah menangis sekarang.
"Apa yang Adelia punya dan gue gak punya?" tanyanya pelan. Sesekali ia menarik ingusnya.
"Lo itu perfect Lin," ucap Rangga sambil tersenyum.
Rallin mendongak. Menatap Rangga dan Didan secara bergantian. "Tapi kenapa dimata Nadiv gue imperfect?" Tanyanya lirih kemudian tubuhnya luruh ke lantai. Bersamaan dengan tumpahnya air mata yang perlahan semakin deras.
Bohong kalau dia tidak sakit hati dengan perkataan Nadiv yang selalu kasar. Bohong kalau ia tidak sakit saat melihat Nadiv mesra dengan Adelia. Apalagi berciuman seperti tadi. Bohong kalau Rallin tidak lelah mengejar Nadiv. Lelaki itu semakin dikejar semakin menjauh. Tapi setiap ia ingin menyerah, hatinya seolah berkata "ayolah, masa cuma segini perjuangan lo?"
Didan dan Rangga saling melempar pandang kemudian ikut duduk disisi Rallin. Mereka sebenarnya prihatin melihat Rallin yang seperti ini. Gadis itu bahkan bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Nadiv. Bahkan disekolah ini saja banyak yang mengantri untuk menjadi pacarnya. Yang tentunya cinta dengan gadis itu tulus. Tapi entah pesona apa yang dimiliki Nadiv sehingga membuat gadis itu menutup hati dan matanya. Seolah-olah semua yang ia lihat itu Nadiv. Apapun itu.
"Udah berapa kali gue bilang, Nadiv udah punya pacar. Dan lo seharusnya jangan ngerusak hubungan orang Lin. Gue yakin lo bisa dapatin orang yang cinta sama lo dengan tulus. Bukan kayak Nadiv yang selalu bersikap kasar sama lo," ucap Didan lembut. Tangannya terangkat mengelus bahu gadis itu. Berusaha menenangkan agar tangisnya mereda.
"Kita ngomong kayak gini karena kita peduli sama lo. Kita gak mau lo selalu makan hati. Kita gak mau lo kebanyakan nangis. Kita gak mau lo sedih terus," sambung Didan. Lelaki itu mengusap pelan kepala Rallin.
"Banyak yang cinta sama lo Lin. Contohnya Gandi. Dia suka sama lo udah lama. Dia lebih baik daripada Nadiv. Ya walaupun gesreknya sama aja, tapi yang jelas dia gak akan nyakitin lo Lin," ucap Rangga lagi.
"Tapi gue maunya Nadiv. Bukan yang lain. Bukan Gandi bukan siapapun. Cuma Nadiv!" kekeh Rallin sambil menghapus air matanya kasar.
"Tapi dia gak suka sama lo, buka mata lo! " bentak Didan. Rallin yang mendengar itu terdiam kemudian menangis lagi. Didan yang menyadari itu, segera melunakkan wajahnya. "Sorry, gue gak maksud buat bentak lo," lanjutnya pelan.
"Gue seburuk itu ya buat Nadiv?" tanya Rallin.
"Nadiv yang buruk buat lo," ucap seseorang yang berdiri diambang pintu. Semua mata tertuju ke sumber suara.
"Nadiv yang buruk buat lo," ucap seseorang yang berdiri diambang pintu. Semua mata tertuju ke sumber suara.Pandangan Rallin menjadi kabur lantaran cairan bening itu kembali menggenang di pelupuk matanya. Gadis itu menangis lagi. Rangga dan Didan hanya bisa menghela nafas menghadapi orang yang sedang patah hati ini.Orang yang tengah bersender di pintu pun berjalan mendekat ke Rallin. Memotong jarak yang membentang. Kemudian berjongkok di hadapan Rallin. Menatapnya sebentar kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Mengusap pelan kepala gadis itu. Ia bisa merasakan baju seragamnya mulai basah karena air mata gadis itu. Ia tak peduli. Yang penting gadis itu nyaman."Sakit Sen," lirih Rallin semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Sendi."Berapa kali gue bilang? Berhenti Lin. Tapi lo nya batu," ucap Sendi sambil mengusap kepala gadis itu. Punggungnya bergetar semakin hebat. Tangisnya semakin pecah.
Rallin berjalan malas menuruni tangga. Matanya melirik meja makan, hanya ada mamanya. Bisa dipastikan papanya sudah berangkat bekerja.Rallin berjalan pelan menuju salah satu kursi meja makan. Menariknya lalu duduk. Kepalanya setia tertunduk.Ranti menaikkan pandangannya. Menatap sinis ke arah Rallin. Selanjutnya ia menjatuhkan sendoknya sehingga menimbulkan dentingan yang cukup keras. Rallin tersentak kaget mendengarnya. "Nafsu makan saya hilang karena ada kamu," ketus Ranti lalu melenggang pergi menuju kamarnya.Mata Rallin terpejam erat. Kembali merasakan sesak di dadanya.Jangan sedih, lo udah biasa di kayak giniin. Kebal dong hati, ucapnya dalam hati.Rallin mencoba menaikkan kedua sudut bibirnya. Tangannya men
Setelah puas menangis di taman belakang, Rallin memutuskan kembali ke kelas. Jam istirahat akan tiba sepuluh menit lagi.Selama berjalan, Rallin menerawang. Pikirannya kalut. Ia bahkan sempat bertanya pada Tuhan, kenapa hidupnya harus serumit ini? Jika di tanya apakah Rallin lelah? Jawabannya lebih dari lelah. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan dari di benci oleh orang yang dia sayangi. Orang tuanya dan Nadiv. Mereka seolah kompak untuk membuat Rallin semakin rapuh.Rallin sudah cukup sesak menahan semua beban hidupnya. Selama ini tidak ada yang pernah memahaminya kecuali Maudi, Sendi dan seseorang yang saat ini sedang tidak ada di sekolah.Seseorang itu tengah menjalani pertukaran pelajar. Seseorang itu juga sahabat karibnya Nadiv. Bedanya diantara mereka berempat, hanya seseorang itu yang paling pintar. Maka dari itu dia di ajukan untuk pertukaran pelajar dengan SMA Dwingga. Kabarnya dua hari lagi, seseorang itu te
Selalu ada yang peduli meskipun ada banyak yang membenci. Percayalah, Tuhan memilihmu untuk merasakan sakit karena Dia yakin kau mampu bangkit***Rallin memegang kepalanya yang sakit karena terbentur dada bidang di depannya. Dalam hati ia berfikir siapa yang sudah di tabraknya ini. Apa dia Nadiv? Ya, itulah harapan Rallin. Sama seperti film percintaan yang setiap hari di tontonnya. Tiba-tiba Rallin merasakan jantungnya kembali berdegub kencang. Rallin tak berani menengadahkan kepalanya. Ia belum siap menatap mata Nadiv lagi. Tapi kenapa Nadiv tak bersuara sejak tadi? Biasanya lelaki itu akan mengumpatnya."Hai, sayang."Akhirnya ia bersuara juga. Tapi tunggu, ini bukan suara Nadiv. Dia yakin karena dia sudah sangat hafal bagaimana suara lelaki yang di cintainya itu. Lagi pula mana mung
Hidup ini tidak adil, jadi biasakanlah dirimu- Patrick Star-***"Berhenti!" teriak seseorang dari pintu.Ranti menghentikan aksinya. Ia menatap tajam orang yang sudah mengganggu kesenangannya. Rallin diam, ia tak cukup berdaya walau sekedar menoleh. Dengan kasar, Ranti mendorong tubuh Rallin sampai gadis itu terjerembab ke lantai. Kembali menciptakan luka fisik untuk gadis yang kini sudah menunduk terisak. Tanpa berniat melihat siapa yang sudah berani meneriaki Ranti."Mau apa kamu?" tanya Ranti sengit. Matanya menatap tajam orang yang sudah mengganggu aktivitasnya.Orang itu berjalan cepat menghampiri Ranti. Matanya menyiratkan amarah yang tertahan. Nafasnya memburu. Bahkan urat-urat lehernya
Aku suka caramu mengabaikan rasa sakit *** Rallin berjalan malas. Sudah dua hari ia berada di apartemen Maudi hanya untuk memulihkan lukanya. Kemarin Henggar sempat memaksanya untuk ke rumah sakit namun Rallin menolaknya. Rallin bersyukur masih ada yang mempedulikannya. Setidaknya mereka adalah alasan terkuat Rallin untuk bertahan dalam situasi ini. Ia mendudukkan dirinya di balkon kamar Maudi. Matanya menatap miris luka-luka di sekujur tubuhnya. Luka yang di dapat dari orang yang sangat di sayanginya. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir, yang jelas Rallin aku berusaha sekuat tenaga. Sampai menutup mata, jika diizinkan. Bibirnya tersenyum pilu. Mengingat hidupnya yang penuh dengan kekerasan. Kekerasan yang menyakiti batin maupun fisiknya. Set
Ironi cinta : wanita mencintai laki-laki yang menyakitinya, dan laki-laki menyakiti wanita yang mencintainya* * *Rallin terdiam duduk di balkon apartemen Maudi. Pemandangan di malam hari seperti ini tampak terlihat indah. Apalagi jika dilihat dari atas gedung apartemen ini. Hamparan kota di bawah sana nampak cantik dengan di hiasi lampu-lampu yang terang. Rallin Menikmati angin malam yang berhembus lembut menyapu seluruh wajahnya. Rallin menutup wajahnya dengan tangan sebentar lalu mengusapnya perlahan. Rambutnya yang terurai sedikit berantaka karena terkena sapuan angin. Tangan gadis itu terulur memegang besi pembatas. Matanya terpejam mencoba meresapi udara malam yang terasa menenangkan. Rallin menghembuskan nafasnya secara perlahan. Mencoba bersikap rileks.Hari ini ia sendiri. Maudi terpaksa harus pulang ke rumahny
Kadang kita hanya butuh diam, pura-pura tersenyum dan pura-pura terlihat biasa saja daripada harus menjelaskan apa yang terjadi karena tidak semua orang paham dengan apa yang kita rasakan***Matanya bergerak perlahan. Kemudian terbuka, lalu kembali tertutup. Silau dengan cahaya mentari yang menerobos masuk melalui jendela kaca. Lalu terbuka lagi. Sejenak ia terdiam. Matanya menerawang jauh ke langit-langit kamar. Lalu melihat sekeliling. Tiba-tiba rasa kaget menyeruak begitu saja. Ia memastikan penglihatannya sekali lagi. Namun tidak ada yang berubah. Ini adalah ruangan kamar Maudi. "Kok gue di kamar?" tanyanya sendiri. Seingatnya, semalam ia belum masuk ke kamar. Ia masih duduk santai di balkon. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba di kam