Selalu ada yang peduli meskipun ada banyak yang membenci. Percayalah, Tuhan memilihmu untuk merasakan sakit karena Dia yakin kau mampu bangkit
***
"Hai, sayang."
Akhirnya ia bersuara juga. Tapi tunggu, ini bukan suara Nadiv. Dia yakin karena dia sudah sangat hafal bagaimana suara lelaki yang di cintainya itu. Lagi pula mana mungkin Nadiv memanggilnya sayang? Ah mustahil sekali. Tapi suara ini sangat familiar di telinganya. Dengan penuh keberanian, Rallin mendongak. Matanya membulat saat tahu siapa pemilik suara itu.
"Henggar?!" pekik Rallin terkejut.
Sementara lelaki bernama Henggar itu hanya tersenyum manis. Dengan kesal, Rallin memukuli Henggar. Di bagian mana saja yang penting Henggar kena pukulannya. Apalagi saat Henggar menampilkan senyum tanpa bebannya itu benar-benar membuat Rallin menjadi berang. Ia seakan ingin menguliti lelaki di depannya itu. Harapan kalau itu adalah Nadiv hancur sudah. Ekspetasinya tak sesuai realita.
Sementara Henggar, lelaki itu hanya tertawa keras sambil sesekali menghindari pukulan gadis di depannya. Tak apa badannya sakit semua yang terpenting ia bisa melihat senyum kemenangan di bibir gadis itu saat berhasil membuatnya babak belur.
"Kenapa? Lo pasti berfikir kalo gue ini Nadiv? Pasti lo berharapnya kayak film-film romantis di tv yang sering lo tonton itu, iya kan?" ucap Henggar tepat mengenai sasaran.
Rallin menghentakkan kakinya sebal. Menyalurkan seluruh emosinya pada lantai tak berdosa itu. Henggar ini sudah seperti cenayang. Tahu saja apa yang di fikirkannya.
"Cenayang lo," sungut Rallin kesal. "Eh? Kok lo udah balik? Bukannya dua hari lagi?" Tanya Rallin.
Ya, Henggar adalah seseorang itu. Seseorang yang bisa mengerti dirinya lebih dari Maudi dan Sendi.
"Gak jadi, dipercepat sama gurunya," jawab Henggar. "Mau kemana? Ngapain belum pulang?" tanya Henggar.
"Ke perpus. Masalah olimpiade," jawab Rallin sekedarnya.Henggar menganggukkan kepalanya mengerti.
"Gue kangen sama lo," lirih Rallin.
Henggar menghela nafas pelan. Ia bisa menangkap tatapan sendu di mata gadis didepannya itu. Ia menangkup wajah mungil Rallin dengan tangannya. Menatap mata berwarna coklat terang itu dalam.
"Lo percaya gak kalo gue lebih dari sekedar kangen sama lo?" ucap Henggar lembut.
"Makanya lo harus-"
"Gue gak bisa," potong Henggar.
Ia tahu apa yang akan di ucapkan gadis itu. Permintaan yang sederhana namun sangat sulit di lakukannya.
"Kenapa?" tanya Rallin pelan.
"Nanti. Kalo waktunya udah tepat ya?"
"Kapan? Dari dulu gitu mulu. Dua tahun gue nungguin lo tau gak!" rengek Rallin manja.
Henggar terkekeh pelan melihat sifat manja milik Rallin. Ia mengusap kepala gadis itu lembut.
"Gue capek," lirih Rallin.
Suaranya benar-benar pelan dan terdengar putus asa dan lelah. Henggar mengerti. Ia paham. Tapi ia belum bisa berbuat apa-apa sekarang.
Henggar menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Menyalurkan kekuatan untuk gadis lemah ini. Menyalurkan rasa sayang dan terlindungi. Rallin membalas pelukan Henggar sama eratnya. Ia merindukan masa ini. Sangat.
"Gue sayang sama lo," ucap Rallin.
"Gue lebih dari sayang sama lo. Gue cinta sama lo."
Rallin tersenyum mendengar ucapan itu. Baginya itu adalah penenangnya.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata menatap mereka sinis.
Sok-sok an ngejar, tapi cinta-cintaan sama orang lain, cih!
***
Setelah sesi melepas rindu, Rallin berjalan menuju perpustakaan. Ia merutuki dirinya. Ia akan malu sekali jika membuat rekannya menunggu terlalu lama. Apalagi ia tidak tahu siapa orangnya. Iya kalau dia mengenalnya, kalau tidak? Berlipat sudah rasa malu Rallin.
Ia masuk ke dalam yang menurut anak nakal adalah ruangannya orang pintar. Hanya orang pintar yang akan menginjakkan kakinya disini. Rallin sempat bertanya kepada penjaga perpustakaan kapan Nadiv mengunjungi tempat ini, dan kalian tahu apa jawaban penjaga perpustakaan? Nadiv mengunjungi tempat ini adalah satu tahun yang lalu. Itu saja saat pengambilan kartu perpustakaan. Apa Nadiv begitu alergi dengan tempat ini? Oh jangan lupakan satu fakta, Nadiv itu anak urakan. Jadi wajar kalau ia alergi dengan tempat yang menurut Rallin adalah tempat tertenang.
Rallin mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Matanya menangkap siluet lelaki tengah duduk di meja pojok. Lelaki itu membelakanginya. Membuat Rallin berfikir keras. Malas menebak, lebih baik Rallin menyapanya langsung.
"Permisi kak," ucap Rallin sopan.
Lelaki itu berdiri dan membalikkan badannya. Rallin terkejut melihat lelaki di depannya. Ia mengenalnya.
"Kak Astan?" ucap Rallin kaget.
"Hai, bu wakil," sapa Astan sambil tersenyum manis.
Rallin terkekeh pelan. Ia mengenal Astan, sangat malah. Bagaimana tidak? Astan ini adalah ketua OSIS sedangkan dia adalah wakilnya.
"Jadi kakak rekan aku olimpiade nanti?" tanya Rallin sambil mendudukkan pantatnya disebelah Astan.
"Iya," jawab Astan sambil tertawa pelan.
"Ih, aku pikir siapa. Soalnya bu Sarah main rahasia sama aku," sungut Rallin kesal.
Ia memang terbiasa menggunakan aku - kamu jika bersama Astan. Biar lebih sopan.
"Biar kejutan kali," ucap Astan.
"Jadi apa yang mau di bahas kak?
" tanya Rallin yang kini sudah mengeluarkan beberapa buku tebalnya.Astan juga sudah mencari referensi buku olimpiade di perpustakaan. Terlihat dari banyaknya buku setebal kamus di atas meja.
"Kita bahas materi yang belum lo paham," jawab Astan.
Rallin mengangguk. Kemudian ia mengeluarkan beberapa buku tulis. Ia menunjukkan materi-materi yang kurang di pahaminya. Dan Astan pun menjelaskan juga mengajarinya dengan telaten.
Astan, lelaki ini adalah lelaki tertampan nomor wahid di SMA Grand Nusa. Dia adalah most wantednya Grand Nusa. Semua siswi disini mengagung-agungkan Astan. Tidak di pungkiri, Astan itu tampan. Astan pintar. Astan ramah. Astan baik. Siapa yang tidak tertarik dengan lelaki semacam Astan? Rallin saja sebenarnya tertarik. Tapi sayang, di hatinya hanya ada Nadiv seorang. Tidak ada yang bisa menggantikannya.
Banyak orang yang kerap menjodohkannya dengan Astan. Mereka bilang kalau dia dengan Astan akan menjadi pasangan yang serasi. Sama-sama pintar, ramah, dan paras yang menawan. Namun Rallin tak menanggapinya. Itu kan menurut pandangan mereka. Tapi menurut Rallin, ia hanya serasi dengan Nadiv. Bukan Astan, bukan yang lain. Hanya Nadiv.
***
Pukul lima lewat lima belas menit Rallin memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya. Ia diam sebentar sebelum mengeluarkan diri. Ia sedang mempersiapkan diri untuk menerima kejutan lagi.
Pelan tapi pasti, Rallin melangkahkan kakinya masui ke rumah yang kelam ini. Mata Rallin membelalak melihat pemandangan di depannya. Ini bukan sebuah pertengkaran yang setiap hari ia dengar, ia sudah tak kaget kalau itu. Ini lain, tiba-tiba emosinya memuncak di ubun-ubun. Jujur, ia belum pernah se emosi ini. Dan pemandangan di depannya ini benar-benar menyulut dirinya.
Rallin berjalan cepat menuju sofa ruang tamu. Disana, Ranti tengah berduaan dengan seorang lelaki. Dan parahnya lelaki itu bukan papanya. Rallin tidak masalah jika mama dan papanya bertengkar. Tapi ini sudah termasuk penyelewengan. Hal ini bisa saja membuat rumah tangga orang tua nya yang sudah hancur menjadi lebur. Rallin tidak ingin itu terjadi.
"Ma!" sentak Rallin keras.
Ranti melirik Rallin sekilas kemudian kembali bermesraan dengan lelaki bajingan di sampingnya.
"Mama!" sentak Rallin lagi.
Namun Ranti tetap mengacuhkannya. Muka Rallin memerah. Emosinya meninggi. Dan ia akan melampiaskannya pada lelaki bajingan itu.
Rallin berjalan mendekati Ranti. Kemudian menarik tangannya dengan kasar sampai Ranti bangkit dari duduknya. Ranti menatap Rallin kasar dan tajam.
"Lepas sialan!" umpat Ranti sambil berusaha melepas cengkramannya.
Rallin juga bingung darimana ia mendapat kekuatan ini. Itu tak di fikirkan. Yang jelas sekarang adalah mengusir lelaki bajingan didepannya.
Rallin menaikkan dagunya seolah menantang. Merubah sikap menjadi sewibawa mungkin.
"Anda sepertinya lelaki terhormat dilihat dari penampilannya, tapi kenapa kelakuan anda tidak sehormat penampilan anda?" ucap Rallin tenang.
"Tutup mulut mu!" desis Ranti masih tetap berusaha melepas cekalan tangan Rallin.
"Anda datang dikehidupan mama saya. Dan anda sadar? Anda sudah merusak rumah tangga orang. Apa anda tidak punya malu? Seharusnya orang seperti anda itu berwibawa dan bijaksana. Tapi kenapa kelakuan anda sebajingan ini?" ucap Rallin lagi.
"Anak sialan!" umpat Ranti.
Lelaki di depannya hanya diam mati kutu. Ucapan gadis kecil itu benar-benar menohok.
"Apa anda tidak punya pasangan sampai anda haus belaian lalu melampiaskannya pada mama saya?" Rallin tersenyum.
"Jika tidak ada keperluan lagi silahkan anda keluar. Dan jangan pernah kembali dikehidupan mama saya," ucap Rallin sambil menunjukkan pintu.
Lelaki itu langsung pergi begitu saja. Ranti menjadi berang. Sekali hentakkan, cekalan Rallin terlepas. Rallin kembali menjadi lemah.
Plak!
Rallin memejamkan matanya menahan perih yang menjalar dipipinya. Ia bisa pastikan kalau tangan Ranti pasti akan meninggalkan jejak merah dipipinya.
"Anak sialan! Apa maksud kamu hah?! Berani-berani nya kamu ikut campur urusan saya. Kamu pikir kamu siapa?!" teriak Ranti.
"Aku anak mama," ucap Rallin sambil memaksakan sebuah senyum manis. Bukannya manis malah lebih terkesan ke senyuman miris.
"Saya gak pernah memiliki anak seperti kamu. Saya tidak punya anak setelah kamu merenggut kebahagian saya!"
Rallin memejamkan matanya erat. Ranti kembali membuka luka lama. Membuat rasa penyesalan kembali naik ke permukaan.
" mama masih punya aku. Mama juga masih punya kak-"
"Saya tidak memiliki siapapun sekarang!"
"Mama punya tiga anak, mama ingat?"
"Anak saya cuma satu. Dan dia sudah pergi. Itu semua gara-gara kamu! Kamu itu pembunuh! Seharusnya kamu mati!" berang Ranti sambil terus menyerang Rallin.
Dia menjambak surai panjang ber-ombre ungu di ujungnya itu. Rallin meringis menahan sakit. Air mata sudah mengalir di ujung sudut matanya.
"Ma, sakit," lirih Rallin.
"Ini tidak sesakit apa yang saya rasakan selama ini. Ini tidak sesakit waktu saya kehilangan apa yang paling berharga bagi hidup saya. Sakit mu itu tidak ada apa-apa nya di bandingkan rasa sakit saya!" ucap Ranti tajam.
Rallin dapat melihat mata Ranti berkaca-kaca. Mungkin pikirannya kembali terlempar ke kejadian masa lalu itu.
"Mama bahagia kalo nyakitin aku kayak gini?" tanya Rallin.
Ranti sempat mengernyit heran mendengar pertanyaan itu namun kemudian senyuman sinis muncul di bibirnya. Ia menarik rambut Rallin semakin kuat. Gadis itu kembali meringis menahan sakit.
"Ya. Saya bahagia melihatmu menderita," jawab Ranti tersenyum sinis.
"Sakitin aku ma. Lakukan apapun yang mama mau. Aku gak papa. Asal mama bahagia," ucap Rallin. "Atau mama mau bunuh aku juga? Silahkan ma," lanjutnya kemudian memejamkan mata.
Ia rela jika harus tersakiti seperti ini. Ia tak peduli walau saat ini Ranti dengan berang menjambak, menampar, menendang, atau membunuhnya sekalipun. Yang terpenting Ranti bahagia. Rallin tersenyum. Seolah menikmati siksaan dari Ranti.
Saat Ranti menarik kasar surainya sampai ia mendongak, Rallin menganggap Ranti sedang mengusap surai itu. Saat Ranti menamparnya, Rallin menganggap Ranti sedang membelai pipinya. Kejam memang. Tapi Rallin tetap tersenyum walau air matanya sudah mengalir dengan deras.
"Berhenti!" teriak seseorang dari arah pintu.
Hidup ini tidak adil, jadi biasakanlah dirimu- Patrick Star-***"Berhenti!" teriak seseorang dari pintu.Ranti menghentikan aksinya. Ia menatap tajam orang yang sudah mengganggu kesenangannya. Rallin diam, ia tak cukup berdaya walau sekedar menoleh. Dengan kasar, Ranti mendorong tubuh Rallin sampai gadis itu terjerembab ke lantai. Kembali menciptakan luka fisik untuk gadis yang kini sudah menunduk terisak. Tanpa berniat melihat siapa yang sudah berani meneriaki Ranti."Mau apa kamu?" tanya Ranti sengit. Matanya menatap tajam orang yang sudah mengganggu aktivitasnya.Orang itu berjalan cepat menghampiri Ranti. Matanya menyiratkan amarah yang tertahan. Nafasnya memburu. Bahkan urat-urat lehernya
Aku suka caramu mengabaikan rasa sakit *** Rallin berjalan malas. Sudah dua hari ia berada di apartemen Maudi hanya untuk memulihkan lukanya. Kemarin Henggar sempat memaksanya untuk ke rumah sakit namun Rallin menolaknya. Rallin bersyukur masih ada yang mempedulikannya. Setidaknya mereka adalah alasan terkuat Rallin untuk bertahan dalam situasi ini. Ia mendudukkan dirinya di balkon kamar Maudi. Matanya menatap miris luka-luka di sekujur tubuhnya. Luka yang di dapat dari orang yang sangat di sayanginya. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir, yang jelas Rallin aku berusaha sekuat tenaga. Sampai menutup mata, jika diizinkan. Bibirnya tersenyum pilu. Mengingat hidupnya yang penuh dengan kekerasan. Kekerasan yang menyakiti batin maupun fisiknya. Set
Ironi cinta : wanita mencintai laki-laki yang menyakitinya, dan laki-laki menyakiti wanita yang mencintainya* * *Rallin terdiam duduk di balkon apartemen Maudi. Pemandangan di malam hari seperti ini tampak terlihat indah. Apalagi jika dilihat dari atas gedung apartemen ini. Hamparan kota di bawah sana nampak cantik dengan di hiasi lampu-lampu yang terang. Rallin Menikmati angin malam yang berhembus lembut menyapu seluruh wajahnya. Rallin menutup wajahnya dengan tangan sebentar lalu mengusapnya perlahan. Rambutnya yang terurai sedikit berantaka karena terkena sapuan angin. Tangan gadis itu terulur memegang besi pembatas. Matanya terpejam mencoba meresapi udara malam yang terasa menenangkan. Rallin menghembuskan nafasnya secara perlahan. Mencoba bersikap rileks.Hari ini ia sendiri. Maudi terpaksa harus pulang ke rumahny
Kadang kita hanya butuh diam, pura-pura tersenyum dan pura-pura terlihat biasa saja daripada harus menjelaskan apa yang terjadi karena tidak semua orang paham dengan apa yang kita rasakan***Matanya bergerak perlahan. Kemudian terbuka, lalu kembali tertutup. Silau dengan cahaya mentari yang menerobos masuk melalui jendela kaca. Lalu terbuka lagi. Sejenak ia terdiam. Matanya menerawang jauh ke langit-langit kamar. Lalu melihat sekeliling. Tiba-tiba rasa kaget menyeruak begitu saja. Ia memastikan penglihatannya sekali lagi. Namun tidak ada yang berubah. Ini adalah ruangan kamar Maudi. "Kok gue di kamar?" tanyanya sendiri. Seingatnya, semalam ia belum masuk ke kamar. Ia masih duduk santai di balkon. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba di kam
Kalau nanti kamu tidak ditakdirkan denganku, percayalah aku pernah begitu sungguh menginginkanmu***Bu Ida menoleh ke arah pintu, begitu juga semua siswa. Disana, di ambang pintu, berdirilah seorang siswa berpenampilan brandalan. Baju kusut tidak di masukan, dasi tidak ada, sepatu warna merah yang menyalahi aturan. Dan lebih parahnya lagi siswa itu terlambat.Bu Ida berjalan ke arah pintu dengan geram. Saat sampai, yang dilihat adalah tampang tak berdosa milik muridnya itu."Baju dimasukan!" ucap bu Ida sambil memukul pinggang Nadiv sedikit keras."Ini lagi dasi nya mana?" tanya bu Ida sambil menujuk le
Berjuang sampai jadi orang yang paling dia sayang***Nadiv berjalan dengan riang setelah mendapatkan dasi yang ia inginkan agar bisa masuk ke kelas. Ya meskipun tadi sempat mengalami kekesalan yang akut karena ulah Rallin. Beruntung, tidak ada Adelia atau setidaknya teman gadis itu. Kalau ada, bisa mati berdiri dia.Nadi mengetuk pintu sopan, seluruh perhatian murid teralihkan ke arahnya. Bu Ida memincingkan matanya menatap dasi yang melingkar rapi di lehernya."Nyolong dimana kamu?" tanya bu Ida tak pakai hati. Membuat seisi kelas menahan tawanya.Nadiv mendecih kemudian mengelus dadanya sabar. "Ya saya beli lah bu, masa iya nyolong," ucapnya berbohong. Masa iya harus jujur? Bisa-bisa semua penghuni kelas tertawa ngakak kalau tahu itu dasi milik Rallin. Gadis yang selalu dihindarinya.
Kadang yang memilih pergi bukan karena bosan, tapi karena terlalu lama diabaikan***"Lo kalo goblok kebangetan sih," ejek Sendi sambil merapikan anak rambut Rallin lalu menyelipkannya ke belakang telinga."Kan gue gak tega kalo misalnya Nadiv yang di hukum," ucap Rallin sambil mengerucutkan bibirnya."Dia udah biasa di hukum. Jadi gak masalah lah," kata Sendi lagi."Bodoamat lah ya yang penting kesayangan gue hari ini gak di hukum," kata Rallin dengan senyum berbinar. Setidaknya ia bisa sedikit berguna untuk Nadiv."Jangan terlalu bucin, Lin. Inget, dia udah ngebucinin orang lain." ucapan Sendi mampu membuat Rallin tertohok.Rallin reflek menolehkan kepalanya menatap Sendi garang. Dengan gerakan cepat ia memukul Sendi dengan beringas."
Aku pernah mencintai seseorang begitu dalam sampai akhirnya aku kepleset, jatuh, kejedot, dan nyungseb:)***Rallin membenarkan rambutnya yang berantakan di terpa angin. Matanya memandang jauh keramaian kota malam ini dari atas balkon kamarnya. Ia sendiri memutuskan untuk pulang meskipun Maudi sempat menahannya untuk tetap tinggal di apartemen. Bukannya ia tidak menghargai kebaikan Maudi. Hanya saja, ia masih ingin meluruskan apa yang salah dirumah ini.Rallin memegang erat teralis besi pembatas balkon. Menghela nafas berat lalu menghembuskannya dengan perlahan. Berharap beban yang selama ini dipikulnya sedikit luruh. Kemudian gadis berombre ungu itu menutup kelopak matanya yang sayu. Pikirannya kembali melayang tentang berhentinya ia memperjuangkan Nadiv, lelaki yang selama ini selalu diminta kepada Tuhan untuk menjadi jodohnya.